Aku melangkah gontai menyusuri lorong sekolah. Tubuhku terasa berat meski hanya kugerakkan ke kanan-ke kiri. Ekstrakulikuler PMR yang menurut teman-temanku ringan menjadi hal terberat yang pernah kulakukan. Ini semua gara-gara pemimpin ekskul tidak datang. Dan karena posisiku menjadi wakil ketua PMR, aku yang harus mengurus semua kegiatan ekskul tadi. Dan lebih parahnya lagi, pemimpin ekstrakulikuler PMR adalah makhluk sinting gila miring itu. Siapa lagi kalau bukan Badai Galatoma.
Berbagai alasan selalu terlontar dari mulutnya ketika aku memaksa datang memimpin kegiatan. Ada latihan basket lah, ekstrakulikuler fotografi, mempersiapkan lomba jurnalistik lah, dan sebagainya. Yang membuatku heran, pembina PMR selalu tersenyum menanggapi alasan Badai. Sebenarnya jika aku tidak menjadi wakil ketua PMR, hal merugikan seperti itu tidak akan pernah terjadi. Namun fakta membuktikan lain.
"Lika!" panggil seseorang membuat langkahku terhenti. Dari ujung koridor terlihat gadis berambut panjang yang berlari mendekatiku.
Pemilik suara itu masih menatapku dengan nafas tersedat-sedat. Sesekali pipinya dia gelembungkan untuk mengurangi lelah yang menyerang tubuhnya. Aku terkekeh dalam hati melihatnya seperti ini.
Dia sahabat terbaik yang aku punya. Dia baik, bahkan sangat baik untukku. Selain baik dia juga lucu. Suka sekali mengocok perutku sampai sakit. Dan satu hal yang paling kubenci darinya adalah dia pelopor hubunganku dengan Badai. Ya, aku tahu itu hanya gurauannya. Namun tetap saja membuatku kesal.
Wajahnya cantik dan hampir mencapai kata sempurna. Banyak temanku mengatakan bahwa dia mirip dengan Chelsea Olivia. Salah satu yang membuktikannya adalah gigi, gigi kelinci miliknya. Terkadang aku iri dengan kecantikannya.
Namanya Tiara Kanan Witoma. Ketika awal aku tahu namanya, aku menyimpulkan bahwa Tiara juga bermarga seperti aku dan Badai. Ternyata salah. Tiara hanya kebetulan saja memiliki nama marga itu. Pernah sekali aku mendengar Tiara yang mengeluh, dia menginginkan keluarga besar yang bermarga.
"Nggak ekstra jurnalistik?"sambungnya setelah nafasnya kembali normal.
Aku menggeleng. Jurnalistik?
Itu adalah ekstrakulikuler paling kuminati. Selain suka menggambar, aku juga rajin membuat artikel mengenai bintang yang hasilnya mampu menarik daya minat warga sekolah. Namun semuanya musnah hanya karena satu hal. Satu hal yang menurutku tidak masuk akal. Bukan hanya aku yang merasa aneh, melainkan seluruh anggota jurnalistik selain makhluk luar angkasa itu. Badai.
Satu minggu yang lalu, aku ditendang dari ekskul jurnal hanya karena artikelku tidak sempurna. Banyak yang mengatakan artikelku menarik meskipun hanya memiliki satu tema. Namun tidak untuk Badai. Dia dengan santai mengeluarkan aku dari tim jurnal karena semua artikelku bersangkutan dengan malam. Hari itu aku dengan susah payah membujuk anggota lain agar mempertahankan aku di sana. Namun bagi mereka keputusan Badai lebih baik. Karena dia KETUA TIM. Bukankah itu tidak adil?
Dan saat itu juga aku marah pada sosok yang paling sempurna di mataku. Mengapa dulu pernah memberikan jabatan ketuanya pada makhluk luar angkasa seperti Badai. Alasan pertamaku ikut tim jurnal adalah keberadaan sosok sempurna itu. Dan akhirnya cowok yang diberikan pangkat penggantinya dengan mudah menendangku.
"Lika..Lika!"
Aku hampir terlonjak kaget mendengar suara gadis cantik di depanku. Oh..Aku baru ingat, aku melupakan gadis ini beberapa menit tadi.
"Eh..Kamu duluan aja, Tiara. Kamu mau ditendang sepertiku dari ekskul jurnal?" Tiara hanya menggeleng sambil melambaikan tangannya sebelum melangkah meninggalkanku.
"Aku duluan ya. Bye!" teriak Tiara dari kejauhan.
Aku akan melangkah pergi jika tidak ada dering dari handphoneku. Kak Gevan.
"Apa kak?" tanyaku sambil merapikan rokku dan melakukan aksiku yang sempat tertunda karena telpon dari Kak Gevan.
"Kamu udah pulang sekolah? Besok malam jemput kakak di bandara ya?"
"Beneran kak? Yee.. oleh-oleh untukku tidak lupa kan? Hmm..kalau boleh, sempatkan untuk mengambil gambar langit malam di sana untukku. Boleh kan?" tanyaku semangat.
Sepanjang koridor sekolah, aku tidak sama sekali menemukan murid yang setidaknya duduk atau berada di kelas. Kulirik arloji ungu di pergelangan tanganku. Pantas saja sudah sepi, batinku.
"Oke. Kamu tidak ingin mendengar bagaimana rancangan robot kakak?"
Aku mengerutkan keningku sebentar. Astaga!
Selama dua bulan Kak Gevan di negara Pissa itu, aku sama sekali tidak bertanya mengenai tugas atau bahkan cita-cita hidupnya. Mengapa aku bisa selupa ini?
"Bagaimana? Aku minta maaf karena melupakan hal itu," jawabku lemah. Semoga saja Kak Gevan tidak kecewa.
"Karena yang kamu pikirkan hanya oleh-oleh saja," sahut cepat Kak Gevan. Aku hanya mampu tersenyum malu sambil menahan semburat merah muda di pipiku.
"Hahaha. Kakak benar. Bagaimana dengan robot kakak? Berhasil?"
"Kakak harus belajar lebih banyak lagi," jawabnya pelan. Aku tahu tanpa harus dijelaskan.
Dari nada suara Kak Gevan yang beberapa detik lalu girang menjadi lemah, membuatku paham jika rancangan robot Kak Gevan gagal. Aku masih diam. Aku harus mengatakan apa?
"Eh..Kak Gevan tidak perlu sedih. Tahun de-depan kan masih ada kesempatan," ucapku sedikit gugup.
"Iya. Kakak harus rela jika rancangan kakak akan dibeli perancang internasional."
Hah?
"Maksud kakak, kakak berhasil?" tanyaku heran.
"Iya," seru Kak Gevan dengan nada yang girang. Tanpa kusadari, bibirku menggores senyum tulus ketika suara itu terdengar bahagia.
"Mengapa membohongiku? Aku sempat khawatir."
Dan berikutnya hanya ada percakapan ringan yang terkadang membuatku tertawa atau bahkan tersenyum miris.
Ketika langkahku sampaidigerbang sekolah, aku menutup sambungan komunikasi dengan Kak Gevan. Sepertinyatidak mungkin Pak Ali menjemputku jam ini.
TBC
Chapter selanjutkan akan sedikit membingungkan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...