Kejadian tadi siang membuatku menjadi takut akan segala sesuatu yang bersangkutan dengan Kak Gevan. Sejak menginjak rumah, aku menjauh dari pandangan Kak Gevan yang tengah tertawa bersama Kak Citra. Aku tidak akan menjadi orang bodoh lagi seperti tadi siang. Cukup Badai yang tahu perasaan terlarangku ini.
Untuk masalah janji, aku belum yakin Badai merahasiakan perasaanku dari Kak Gevan. Bisa saja itu hanya ucapan sematanya. Dan ketika aku dalam keadaan lengah, Badai akan memberitahu semua orang bahwa aku gadis yang tidak normal. Gadis yang mencintai kakak kandungnya sendiri.
Tetapi ada rasa nyaman ketika Badai berada di sampingku. Setidaknya dia menjadi sosok yang berbeda dengan yang kemarin.
"Lika, ayo makan dulu! Kakak tunggu di bawah," suara Kak Gevan terdengar lembut di balik pintu kamarku.
Dengan langkah gontai, aku bergegas dari ranjang menuju pintu. Aku rasa Kak Gevan telah pergi ke ruang makan melihat tidak ada sosoknya di depan pintu. Segera kulangkahkan kakiku menuruni satu persatu anak tangga. Baru menginjak anak tangga yang keempat, pikiranku bergemuruh. Aku sedang menjauh dari Kak Gevan. Tidak mungkin kita akan menikmati makan siang berdua dengan diam-diaman. Tapi jika aku tidak ikut makan, Kak Gevan akan curiga padaku. Apalagi sejak masuk rumah tadi. Lagian perutku sudah keroncongan karena menangis beberapa jam yang lalu. Makan saja lah.
Setibaku di sana aku harus melihat dua lawan jenis yang tengah tertawa dan mengobrol ringan. Aku kira dia sudah pulang. Ternyata dia masih betah di sini. Atau lebih tepatnya masih betah di samping Kak Gevan.
"Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga," seru Kak Gevan sambil menghampiriku. Bagaimana mungkin aku melupakan perasaanku padanya jika setiap hari sosok itu mengulas senyum bak dewa yunani yang paling tampan.
"Sibuk telpon sama Badai ya? Sampai-sampai lupa makan siang." tangan Kak Gevan telah bertengger manis di bahuku. Menuntunku agar cepat sampai dikursi makan dan bergelut pada makanan yang telah dibuat Bi Ida.
"Lagi nggak mood makan," jawabku lemah.
Kak Gevan tertawa mendengar jawabanku. "Bertengkar lagi?"
Aku mendudukkan tubuhku disalah satu kursi makan tanpa mengubris pertanyaan Kak Gevan. Lebih baik aku segera makan dan cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum hidungku merah karena menahan tangis.
Menu makan siang kali ini cukup membuat nafsu makanku meningkat. Mungkin tidak semewah makanan di hotel bintang lima atau restoran jepang yang terkenal akan rasa lezatnya. Namun makanan Bi Ida masih tergolong makanan yang jauh dari kata tidak enak.
Kuambil piring dan menyajikan makanan yang aku inginkan. Tidak lebih dari satu menit piringku sudah penuh dengan nasi dan lauk pauk. Mulai dari sayur kangkung, ikan goreng, ayam bumbu merah, telur gulung, tahu rica-rica serta udang krispy telah berada dipiringku dan siap untuk kusantap.
"Tadi kamu bilang lagi nggak mood makan, mengapa piringmu sepenuh itu?" tanya Kak Gevan disela-sela aku menyantap makan siangku.
"Biasanya kalau lagi patah hati memang seperti itu, Van. Mulut dan hati akan berbicara yang berbeda," sahut Kak Citra sambil tersenyum.
Kutatap Kak Citra yang tengah tersenyum pada Kak Gevan. Senyum yang tulus. Dan senyum itu tidak memiliki keterpaksaan ataupun kebohongan. Tidak seperti senyumku. Senyum palsu yang mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Bahkan ketika aku dalam keadaan terpuruk pun aku tetap akan tersenyum meski senyum itu adalah senyum terpaksa.
"Nenek memberitahuku bahwa besok dia akan datang bersama kakek dan paman," ucapku setelah meneguk air putih. Akhirnya lapar yang sejak tadi hinggap diperutku hilang setelah aku menyelsaikan makan siangku.
"Mama sama papa tidak ikut pulang?" tanya Kak Gevan sambil menghentikan kegiatan makannya.
Aku menggeleng. "Bisnis yang ada di sana berkembang pesat hingga membuat mama dan papa harus bekerja ekstra. Nanti kalau sudah selesai dengan semuanya, mereka akan pulang," jawabku santai.
Kak Gevan mangut-mangut kemudian kembali pada makanannya.
"Aku duluan ya, Kak Citra. Ada tugas yang belum selesai," ujarku pada gadis yang tengah menikmati makan siangnya. Kak Citra hanya mengangguk dan tersenyum padaku.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang makan menuju kamar. Badanku terasa penat setelah melewati hari yang tidak menyenangkan ini. Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan akan tidur siang yang kali ini.
Seumur hidupku, aku baru merasakan tidur siang beberapa kali. Bahkan dapat dihitung dengan jari satu tangan. Aku memang sulit dalam urusan tidur. Apalagi tidur siang. Pertama kalinya aku tidur siang ketika aku kelas 1 SMP. Saat itu aku benar-benar lelah dan membuatku memejamkan mata hingga pagi hari. Jika kuingat kembali, itu semua salah Badai. Dia membuatku harus menjalani hukuman yang diberi kakak kelas. Lari mengelilingi sekolah 6 kali. Bayangkan saja bagaimana lelahnya aku saat itu.
Jika disuruh memilih, aku lebih memilih berlari mengelilingi lapangan lima puluh kali daripada mengelilingi sekolah enam putaran. Jika saja sekolahku tidak luas, itu tidak apa-apa. Masalahnya sekolahku menjadi sekolah terluas nomor satu di kota.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Ficção AdolescenteAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...