Part 9 - Marga Tiara

1.9K 142 4
                                    

"Kamu tidak enak badan? Kulihat konsentrasimu agak terganggu. Aku antar ke UKS?"

Aku menatap pemilik suara lembut itu. Lalu kepalaku menggeleng pelan dan bibirku mengukir senyum palsu. Tiara dengan cekatan menempelkan punggung tangannya dan tersenyum tipis ketika tidak merasakan panas pada dahiku.

"Kamu kenapa sih? Daritadi diam dan senyum-senyum aneh gitu," tanya Tiara untuk ketiga kalinya. Sebenarnya aku mendengar ucapannya, namun aku malas menjawabnya. "Kamu mikirin Badai?"

"Iya." Aku segera sadar dan membungkam mulutku. Apa yang aku katakan?

"Wah jadi selama ini atau dua jam ini kamu mikirin Badai ter.." Aku segera membungkam mulut Tiara dengan telapak tanganku.

Suara Tiara memancing beberapa temanku yang tengah asyik bergurau atau menggosip dengan teman lainnya. Mereka secara tidak langsung menatapku dengan pandangan aneh. Apa sebegitu anehnya jika aku memikirkan Badai? Mengapa aku bertanya seperti ini? Bodoh.

"Jadi daritadi kamu mikirin aku? Aku terharu." suara bass seorang cowok membuatku mengalihkan pandanganku dari Tiara. Badai. Aku melupakan satu hal.

BADAI DUDUK DI DEPANKU!

"Kata Lika tadi sih gitu," jawab Tiara polos. Aku semakin menundukkan kepalaku. Mulutku dan mulut Tiara memang tidak bisa diajak kerja sama. Bagaimana ini?

"Kanan, aku dengar kamu ingin memiliki nama marga. Apakah itu benar?" tanya Badai pelan.

"Namaku bukan Kanan. Jangan seenaknya mengganti namaku," sergah Tiara.

"Itu kan nama tengahmu. Apakah benar kamu ingin memiliki nama marga?" tanya Badai lagi.

Dari ekor mataku, dapat kulihat Tiara mengangguk. "Aku bisa kasih kamu dua marga sekaligus. Tapi dengan satu syarat," sahut Badai.

Dua marga? Dia kira membuat nama marga semudah membuat tempe goreng? Satu saja susah, apalagi dua.

"Dua marga sekaligus? Benarkah? Apa syaratnya?" rentetan pertanyaan keluar dari bibir mungil Tiara. Meskipun bibirnya tergolong mungil, bibir itu mampu membuat isi sekolah seringkali menegurnya karena menganggu. Sangat cempreng dan melengking.

Aku yang masih mengingat beberapa tingkah laku Tiara segera sadar karena syarat dari Badai. "Kamu duduk di sini, dan aku duduk di samping Lika. Mudah kan? Hanya satu minggu. Ingat, dua marga."

Aku menatap tak percaya ke arah Badai. "Aku tidak ingin duduk denganmu. Tiara, jangan pindah,"sahutku menatap Badai sebentar lalu menatap Tiara.

"Aku tidak berbicara denganmu. Dan ini bukan hakmu. Itu tempat duduk Tiara, dia mau pindah ke mana itu terserahnya. Bagaimana Tiara?"

Tiara mengangguk menyetujui syarat Badai. "Tiara..," lirihku memelas. Meskipun dia hanya pindah di depanku, namun aku benar-benar tidak ingin duduk bersebalahan dengan Badai.

"Aku pindahnya nggak jauh kok. Minggu depan juga duduk lagi sama kamu. Bukankah kamu senang jika aku memiliki marga sepertimu. Aku iri dengan kalian yang memiliki marga, sedangkan aku? Tidak."

"Mulai sekarang tanpa mengubah akte, kamu memiliki dua nama marga."

Mimik wajah Tiara berubah menjadi girang. "Apa nama margaku? Tidak mungkin 'kanan' kan?"

"Kamu kan sahabat Lika, dan juga teman dekatku. Jadi jika seseorang bertanya apa kamu memiliki nama marga, jawab saja dengan kata iya. WITOMA."

"Witoma? Banyak teman-teman mengatakan itu salah satu dari sekian banyak nama marga, tapi apa artinya? Bukankah setiap marga memiliki arti?" tanya Tiara.

"Wijaya dan Galatoma. Bagus kan? Kamu beruntung memiliki gabungan nama marga itu. Keluarga Wijaya yang terkenal akan kecerdasannya dan keluarga Galatoma yang sungguh tidak bisa diungkapan dengan kata-ka..." Aku menyela ucapan Badai.

"Karena wajah buruk rupanya kan? Aku sudah tahu."

"Aku belum selesai berbicara. Dan aku tidak berbicara dengamu, benar kan Kanan..eh Tiara?"sahut Badai ketus.

Tiara mengangguk.

"Terserah. Aku mengatakan apa adanya. Tanpa mengurangi dan tanpa melebihkan."

Badai mendengus kesal dan kembali menatap Tiara untuk melanjutkan pembicaraan aneh tersebut. Wijaya dan Galatoma?

Terkadang aku menginginkan nama itu melebur menjadi satu tanpa meninggalkan keistimewaannya. Ketika nama itu bersatu, tidak akan ada lagi cinta terlarang. Beberapa fakta telah membuatku sampai di jalan bercabang yang tak pernah kuharapkan. Aku tidak mungkin berdiam diri seperti orang bodoh yang berharap dua jalan itu menjadi satu agar aku bisa meneruskan jalanku.

Aku harus tetap berjalan meski hanya perlahan. Itu artinya aku harus memilih, aku tidak mungkin memilih jalan yang membuatku tersesat tanpa bisa kembali lagi. Apa jalan yang benar itu adalah Badai?


TBC

Vote & Comment

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang