Part 34 - HAK

1.4K 90 3
                                    


Ranjang Kak Gevan ditarik beberapa suster dengan berlari kecil. Apa keadaan Kak Gevan sangat parah? Aku hanya menangis disepanjang lorong rumah sakit menuju ruang UGD. Tanganku masih setia menggenggam erat tangan Kak Gevan. Aku sangat takut jika terjadi sesuatu dengannya.

"Lika?"

"Ayo kita akhiri hubungan ini. Sudah hampir lima belas menit," ucap Kak Gevan bergetar.

Apa? Akhiri? Apa begini hubungan sepasang kekasih?

Mata itu kembali menutup dengan sempurna. Kulihat mulut Kak Gevan yang sedikit terbuka mengeluarkan beberapa tetes cairan kental berwarna merah. Sangat sakit mendengar dua kalimat itu. Namun lebih sakit ketika melihat cairan itu membasahi dagunya. Ada apa dengannya?

"Adik tunggu di sini saja," ucap salah satu suster dengan ramah.

"Tapi Kak Gevan.."

"Kami akan melakukan yang terbaik untuknya. Adik tunggu di sini dan berdoalah. Minta jalan terbaik untuknya," ucap suster itu lagi. Sedetik kemudian pintu ruang UGD tertutup meninggalkan sosokku yang masih belum percaya dengan kejadian Kak Gevan.

Selama ini aku belum pernah melihat Kak Gevan kesakitan seperti tadi. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Kak Gevan terus mengerang kesakitan. Dia terus berteriak agar aku segera menghilangkan sakit yang menyerang tubuhnya. Miris ketika aku mendengar teriakannya tersebut. Ingin rasanya aku menggantikan posisinya. Namun, aku tidak bisa.

"Lika, apa yang terjadi dengan kakakmu?" suara Nenek terdengar pilu di hadapanku.

Segera kurengkuh tubuh Nenek dengan pelukanku. Aku menangis sejadinya di dalam pelukan wanita yang selama ini merawatku. Kurasakan telapak tangan Nenek membelai lembut puncak kepalaku. Lebih kutenggelamkan kepalaku ketika kudengar suara khas milik dokter sedang berbicara sesuatu pada Kakek. Aku tidak ingin mendengar penjelasan dokter mengenai penyakit Kak Gevan. Bukan aku tidak ingin tahu lebih jelas, melainkan aku takut. Sangat takut jika terjadi apa-apa dengan Kak Gevan. Lebih baik Kakek yang menjelaskannya padaku.

Percakapan pendek antara Kakek dan dokter yang menangani Kak Gevan terhenti ketika seorang suster berteriak memanggil sang dokter. Seketika kulepaskan pelukanku untuk mendekat ke arah pintu ruang UGD dimana Kak Gevan dirawat.

Mataku panas dan perih menyaksikan tubuh Kak Gevan mengejang beberapa saat dan mulutnya tak henti-henti berteriak kesakitan. Dalam keadaan tak sadar pun Kak Gevan masih sempat berteriak, apa itu artinya penyakit Kak Gevan tergolong penyakit ganas? Jika memang penyakit Kak Gevan parah mengapa tidak ada yang mengetahui?

Sesak melihat Kak Gevan tersiksa seperti itu. Tangisanku tidak seperti tadi yang mengerang dan terdengar isakannya. Saat ini aku terus meneteskan air mata tanpa menyuarakan isakanku. Biar hati ini yang menjerit dengan isakan memilukan.

"Nek, sebenarnya ada apa dengan Kak Gevan? Dia sakit apa?"

"Nenek belum tahu. Sebaiknya kita tunggu penjelasan dari kakek saja."

Ada yang berbeda dari tingkah laku Nenek ketika menjawab pertanyaanku. Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Apa ini menyangkut penyakit Kak Gevan? Mungkin saja. Tetapi untuk apa mereka menyembunyikna penyakit Kak Gevan jika tidak ada hubungannya dengan aku? Ada yang tidak beres.

Kutatap sekali lagi wajah Nenek. Sama. Wajahnya memerah dengan cucuran keringat yang membasahi pelipisnya. Jika saja aku tidak melihat bola matanya, aku akan menyimpulkan bahwa Nenek tengah cemas dengan keadaan Kak Gevan. Tetapi ini berbeda. Bola matanya bergerak seakan tengah gelisah, bukan cemas.

"Apa ada yang dirahasiakan dariku?"

"Tidak. Nenek tidak menyembunyikan apa-apa darimu. Ayo kita tanyakan saja pada kakekmu," ucap Nenek membuatku sedikit tenang. Aku mengangguk ringan dan berjalan ke tempat Kakek berdiri.

"Kek, ada apa dengan Kak Gevan?"

Kakek menatapku kebingungan dengan ulasan senyum terpaksa. "Kakakmu tidak apa-apa. Hanya kelelahan saja."

"Kelelahan? Aku tahu kakek sedang berbohong!" aku berseru sekencang mungkin hingga beberapa pengunjung rumah sakit menatapku heran. "Tidak mungkin hanya kelelahan. Dia kejang dan berteriak kesakitan. Apa itu karena kelelahan saja? Kakek jangan berbohong, beritahu aku apa yang SEBENARNYA TERJADI DENGAN KAK GEVAN!" teriakku lagi.

Kakek menatapku gusar. Dengan sekali gerakan dari tangan Kakek, aku sudah berada di pelukannya. Dapat kudengar isak tangis tertahan dari mulutnya Aku pun sama. Menangis dengan isakan yang terdengar pelan.

"Kakek sayang kan sama Lika? Kalau begitu, ayo beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi dengan Kak Gevan!"

"Kakakmu.."

"Kakakmu.."

"Ada apa dengannya?"

"Kakakmu memiliki penyakit ginjal cukup serius akibat donor beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya satu ginjal milik kakakmu sudah rusak sejak lahir, namun lebih parah ketika satu ginjalnya yang sehat harus didonorkan. Tak satupun dari keluarga kita mengetahui penyakit kakakmu. Kita baru tahu setelah operasi donor berhasil. Sebelumnya dokter telah mencegah tindakan kakakmu, tetapi dia sangat keras kepala," jelas Kakek.

Aku terperangah beberapa saat. Ginjal? Jadi beberapa tahun ini Kak Gevan hidup dengan satu ginjal?

"Siapa yang menerima ginjal itu, Kek? Siapa? Katakan padaku agar aku dapat memintanya kembali. Katakan siapa perebut ginjal Kak Gevan!"

"Tenanglah! Ini rumah sakit, banyak orang sedang beristirahat," sahut Nenek menepuk bahuku pelan.

"Iya aku tahu itu. Yang ingin aku tahu sekarang, siapa penerima ginjal milik Kak Gevan? SIAPA?"

Aku berusaha lepas dari pelukan Nenek yang cukup erat. Ingin rasanya tahu siapa yang rela mengambil ginjal Kak Gevan. Setelah mendegarnya, sebisa mungkin akan aku rebut kembali hak milik Kak Gevan.

"Kakakmu tidak ingin kamu tahu hal ini. Sebaiknya kamu tanyakan saja nanti ketika dia telah sadar," jawab Kakek parau.

"Sadar? Kapan? Kak Gevan akan sadar setelah mendapatkan kembali ginjalnya. Kakek katakan padaku sekarang juga atau aku akan berteriak membangunkan Kak Gevan?"

Nenek semakin panik dan mempererat pelukannya. "Kamu jangan seperti ini. Lebih baik kita berdoa agar Kak Gevan cepat sembuh," ucap Nenek lembut.

"Apa dengan berdoa saja Kak Gevan akan sembuh? Baiklah, jika kalian tidak ingin memberitahuku aku akan masuk dan membangunkan Kak Gevan," ancamku dengan melangkah cepat setelah lepas dari pelukan Nenek.

"Lika! Apa kamu tidak bisa bersabar?" Nenek mulai kesal dengan sikapku yang kekanak-kanankan ini.

"Satu ginjal milik Gevan berada di rongga perutmu," ucap Kakek tegas.

Jantungku seketika berhenti berdetak. Untuk beberapa detik aku menahan nafasku yang tercekat. Aku menelan ludahku susah payah demi mencerna satu kalimat singkat dari Kakek. Jadi selama ini aku penjahat yang tega merebut ginjal milik Kak Gevan? Jadi salah satu ginjal yang berada di rongga perutku ini milik Kak Gevan? Aku..Aku jahat!

Tanpa memperdulikan teriakan Nenek, aku berlari melewati lorong-lorong rumah sakit. Beberapa orang juga mengumpat kecil karena tabrakan bahuku dengan bahunya. Aku tidak peduli. Aku marah? Sangat. Dengan teganya Kakek atau Nenek menyembunyikan hal sebesar ini dariku. Apa aku meyesal? Itu jauh lebih banyak dari kata marahku. Seandainya aku tahu ginjal yang ada di rongga perutku ini milik Kak Gevan, aku akan mengembalikannya. Memang seharusnya aku mengembalikan yang bukan hakku.


TBC

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang