Part 44 - Dinner Pertama

1.2K 85 0
                                    


Tepat pukul tujuh malam, aku sudah bersiap di depan cermin. Kupandangi bayangan yang ada dicermin tersebut. Cukup cantik. Dengan tubuh mungil dan kulit putih bersih tengah tersenyum dalam balutan dress cantik berwarna biru muda selutut. Wajahnya dipoles make up tipis namun memperlihatkan kecantikan alaminya. Jangan lupakan rambutnya yang tergerai sempurna menambah kesan cantikannya. Gadis itu benar-benar cantik.

Apakah bayangan itu aku?

Mengapa terlihat begitu berbeda dengan Lika yang sebelumnya? Lika yang sering berantakan dalam segala hal. Dan dia melakukan hal ini hanya untuk makan malam bersama Badai, pria yang paling membuatnya jengkel.

"Kamu mau ke mana berpenampilan seperti itu? Cucu nenek cantik sekali." Suara seorang wanita lanjut usia terdengar di ambang pintu dengan senyuman yang terhias di bibirnya. "Apa ada pesta?"

"Tidak, Nek," jawabku sambil menghampirinya dan memeluknya manja.

Nenek melepaskan pelukanku. "Lalu?"

"Badai mengajakku makan malam," jawabku malas. Ingin sekali aku berbohong. Namun melihat Nenek berbinar seperti ini, rasanya aku tidak tega.

Habis sudah riwayatku saat ini. Lihat saja bagaimana ekspresi Nenek ketika aku menyebutkan nama Badai beberapa detik yang lalu. Dia terperangah dengan senyumannya yang lebar.

Tanpa kuketahui, tangan Nenek sudah menyentil hidungku pelan. "Rupanya cucu nenek sudah berani jatuh cinta pada keluarga sebelah. Seingat nenek, kamu belum pernah berdandan secantik ini untuk bertemu seseorang. Apa.." Nenek semakin gencar menggodaku.

Aku hanya tersenyum sekilas.

"Kalau begitu aku berangkat, Nek."

Nenek mengangguk girang dan menuntunku keluar rumah. Untung saja Kakek, Mama dan Papa sedang keluar untuk bertemu dengan rekan kerjanya. Jika mereka ada di rumah mungkin saja aku sudah jadi bahan tertawaan.

**

Badai berdiri di depan gerbang rumah dengan kedua tangan bersedekap di depan dadanya. Tubuhnya disandarkan didinding samping gerbang. Tepat ketika aku membuka gerbang Badai hanya melirikku sekilas dengan wajah murungnya.

"Apa kamu tahu aku menunggumu sudah lebih dari sepuluh menit?"

Badai beranjak dari posisinya lalu berjalan mendahuluiku.

"Baru sepuluh menit kan?" gumamku ketika sudah berada di sampingnya.

"Sepuluh menit itu berharga untukku. Ngomong-ngomong penampilanmu hari ini aneh sekali," tandas Badai singkat.

Aneh?

Secantik ini dia katakan aneh? Sabar, Lika. Bahkan dia tidak tahu perjuanganku berpenampilan seperti ini. Nenek saja mengatakan bahwa aku cantik, mengapa baginya terlihat aneh?

"Apa kamu bilang? Aneh? Hei, aku tidak akan berpenampilan seperti ini jika tidak makan malam bersamamu. Aku tahu apa resikonya jika aku memakai pakaian biasa. Kamu akan marah dan menyuruhku kembali ke rumah. Ini juga makan malam pertamaku denganmu."

"Jadi kamu berusaha secantik mungkin untuk makan malam denganku?"

Skak Mat.

Aku kalah telak di depan Badai saat ini. Mulutku benar-benar susah diajak kompromi. Bagaimana mungkin aku mengatakan kalimat yang akhirnya menjatuhkanku sendiri?

Sial, sial, sial.

"Ka-kamu bilang ingin makan malam, mengapa kita menuju rumahmu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Badai malah menatapku sambil tersenyum kecil. Bisa kupastikan dia tahu tentang kegugupanku saat ini. Wajahku yang memerah seperti ini mana mungkin tidak dapat ditebak. Uh, menyebalkan sekali malam ini. Seandainya nama Kak Gevan tidak disebut dalam acara ini, aku juga tidak akan datang. Ini kulakukan untuk mengetahui segala rahasia Kak Gevan.

Sudah kukatakan sebelumnya bahwa Badai menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk menjebakku.

"Jika bukan untuk Kak Gevan, aku tidak akan mau makan malam denganmu," sungutku masih dengan langkah pelan.

"Pulang saja kalau begitu."

Badai berjalan cepat meninggalkanku yang menatapnya kesal.

"Huh, dasar makhluk luar angkasa," geramku pada punggung yang mulai menjauh dari pandangan mataku.

Baru kusadari jika saat ini aku sudah berada di halaman rumah keluarga Galatoma. Kutatap sekelilingku. Hanya suara jangkrik yang terdengar memenuhi telingaku. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri ketika mengingat cerita-cerita Badai tentang halaman rumahnya yang..

"Aaa..."

Bruk.

Aku sudah berlari sekencang mungkin menjauhi halaman rumah Badai sebelum tubuhku menabrak tubuh seseorang. Aku merasakan tubuhku terhuyung bebas hingga jatuh tersungkur di halaman rumah Badai.

"Sakit," keluhku pelan.

"Dan aku lebih sakit," ucap seseorang di dekatku. Aku mencari asal suara tersebut. Belum sampai satu menit mataku menemukan sosok tampan tengah berdiri sambil membenarkan posisi kemejanya.

Aku hanya meringis menahan sikuku yang terbentur batu. "Maaf."

"Lupakan. Ayo!"

Aku terkesiap melihat tangan Badai menggenggam tanganku. Ini bukan kali pertama Badai melakukannya. Lagi-lagi rasa nyaman menghinggapi relung hatiku.

Sepertinya aku mulai mencintai pagi sepenuhnya. Meskipun hatiku masih terkunci oleh malam yang sudah meninggalkanku.


TBC

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang