Langkahku terus menyusuri koridor sekolah yang terlihat padat karena para murid sedang berhamburan menuju kantin di sudut sekolah. Beberapa menit yang lalu, bunyi bel istirahat mengingatkan seluruh warga sekolah untuk berhenti bergelut dengan buku-buku tebal. Karena Tiara harus menghadiri rapat OSIS, aku harus ke perpustakaan sendiri. Sedih rasanya ketika melihat beberapa temanku tengah bergandengan tangan dengan kekasihnya menuju kantin atau taman sekolah.
Saat tubuhku akan masuk sepenuhnya ke dalam perpustakaan, aku menangkap bayangan Kak Gevan bersama seorang gadis sedang berjalan ke arah kantin. Apa gadis itu yang dimaksud Kak Gevan?
Mungkin benar. Kak Gevan tidak pernah dekat dengan gadis manapun selain dia, itu yang aku tahu. Kak Citra. Salah satu model sekolah.
Sesak. Itu yang aku rasakan detik ini. Aku ingin menangis, aku ingin berteriak, namun aku takut. Aku takut jika tangisanku membuat Kak Gevan semakin menjauhiku. Aku tidak menginginkan itu terjadi.
Dugaanku menebak mereka akan pergi ke kantin salah, salah besar. Mereka berjalan ke arahku. Bagaimana ini? Aku semakin panik ketika Kak Gevan mempercepat langkahnya sambil menggenggam erat tangan Kak Citra. Ternyata kenyataan lebih menyakitkan daripada sebuah cerita. Bagiku cerita Kak Gevan tadi pagi adalah cerita mengenaskan yang pernah aku dengar, ternyata saat ini ada hal yang semakin membuatku terluka. Aku mohon pada siapapun, bantu aku pergi dari sini.
Grep. Rangkulan lengan seseorang di bahuku membuatku terkejut bukan main. Pemilik lengan itu membalikan badanku dan membawaku ke taman sekolah. Aku bebas dari Kak Gevan dan Kak Citra.
"Huh." Aku menghembuskan nafas lega sambil menatap seseorang yang berada di hadapanku. "Terim.. Badai?"
"Hai, mengapa menatapku seperti itu? Tambah tampan atau kangen? Kangen kan? Mana mungkin tidak kangen dengan wajahku yang wow seperti ini. Iya kan?" rentetan ucapannya hanya mampu masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiriku. Aku masih terkejut menyadari jika seseorang yang bisa kusebut pahlawan tadi adalah Badai, makhluk luar angkasa.
"Tutup mulutmu agar lalat tidak masuk. Kamu terkejut ya? Terkejut kenapa? Apa karena aku sempat merangkul bahumu? Mau lagi?"
Aku segera menutup mulutku yang beberapa detik lalu menganga tercengang. Bagaimana bisa aku tidak terkejut jika seseorang yang membawaku pergi dari hal paling menyakitkan tadi adalah Badai. Apa aku harus berterima kasih padanya atau aku akan diam seolah aku tidak merasakan hal terluka itu?
"Kamu memikirkan cara berterima kasih padaku kan? Aku ikhlas kok. Tidak perlu seperti itu. Memang ada hal yang penting ya sampai kamu ingin berterima kasih padaku?" tanya Badai santai.
"Ikhlas tidak seperti itu. Aku juga tidak ingin berterima kasih padamu," jawabku pelan.
"Benarkah seperti itu? Apa jangan-jangan kamu sama Kak Gevan..."
Mendengar nama Kak Gevan disangkutkan, membuatku menatapnya sejenak. "Ada apa? Aku tidak ada apa-apa dengan Kak Gevan kok."
Badai mengerutkan dahinya sambil menatapku tajam. "Kamu sama Kak Gevan...bertengkar ya?"
"Bertengkar? Kamu kira hubunganku dengan Kak Gevan seperti Tom And Jerry?" balasku sambil terkekeh.
"Aku kan hanya menebak. Kak Gevan pacaran sama Kak Citra?"
Aku mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaannya. Mengapa Badai menyimpulkan hal yang tidak ingin kudengar? Apa kak Gevan seolah memberi kode untukku siapa gadis yang disukainya?
"Bukan urusanmu. Kuharap kamu tidak mencampuri urusan orang lain. Apalagi orang itu tidak ada kaitannya dengamu," jawabku menyindir.
"Tidak ada kaitannya denganku? Tentu saja ada. Kak Citra itu adalah salah satu dari beribu-ribu penggemarku, jadi mana boleh Kak Gevan merebutnya. Sebagai tokoh idolanya yang paling tampan, aku tidak setuju jika mereka berpacaran."
Seketika tawaku pecah mendengar Badai menyelesaikan ucapan bangganya. "Hahaha. Kamu melarangnya? Jika aku salah satu dari beribu-ribu penggemar itu, apa kamu juga akan melarangku berhubungan dengan cowok? Itu sangat tidak masuk akal."
"Kamu salah satu dari mereka? Aku sangat terkejut mendengarnya. Hmm, aku tidak akan melarang kamu berhubungan dengan cowok itu karena cowok itu adalah aku. Bukankah begitu?" godanya sambil melihatkan senyuman yang bagiku sangat tidak mena..tidak-tidak-tidak.
Senyuman itu sangat menarik. Senyuman yang terkadang mampu membuatku lemah seketika. Senyuman yang aku tahu sebatas senyuman bercanda. Namun senyuman itu seakan menyimpan banyak cerita. Apa dia benar-benar seorang pagi yang selalu membawa mentari tersenyum?
Jika memang begitu, mengapa malam lebih indah dibandingkan dengan pagi? Atau karena malam menggandeng ribuan bintang? Aku tahu semakin bertambahnya menit di suatu hari, mentari semakin menyiksa tubuh kita dengan sengatan cahayanya. Berbeda dengan malam yang akan mengantarkan kita pada keindahan bintang di setiap bertambahnya menit. Apa itu perbedaan antara pagi dan malam?
Apakah akan ada kebahagiaan tersendiri di antara keduanya?
"Aku sedang berbicara denganmu. Apa kamu tidak menganggapku ada?"
"Tidak. Bukankah makhluk luar angkasa memang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan manusia normal?"
Kulihat Badai hanya mengerucutkan bibirnya sambil mengumpat beberapa kali.
"Lupakan hal itu. Aku ingin mengatakan salam dari nenekku," kata Badai sambil duduk disalah satu kursi taman. Aku mengikuti apa yang Badai lakukan.
"Salam apa?" tanyaku tidak menatap cowok di sampingku ini.
"Nenek kangen sama kamu. Dia ingin bertemu dengan calon cucu menantunya."
"Benarkah itu salam dari nenekmu? Jangan-jangan itu kamu yang mengarangnya. Aku tidak percaya,"sahutku kesal.
Dia berdiri dari kursi yang baru disanggahinya beberapa detik yang lalu, dan berlalu dari hadapanku.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...