Aku dan Badai menginjak ruang tamu yang terkesan mewah ini. Di sana tiga orang yang tidak asing lagi bagiku, tengah mengobrol ringan tanpa menyadari kehadiranku. Kakek, nenek dan mama Badai tengah berbincang masalah bisnis mereka dengan sela-sela gurau tawa.
Melihat nenek Badai tidak tahu akan kedatanganku membuat rasa senang tumbuh di hatiku. Setidaknya aku bebas dari rayuan manjanya yang semakin membuatku tersipu. Seperti saat itu, dimana aku dipaksa berkencan dengan Badai. Bisa lebih gawat kalau hari ini aku bernasib seperti dulu.
Baru akan mengelus dada untuk beryukur, suara nenek Badai terdengar.
"Lika? Wah, cantik sekali," suara nenek membuatku gelagapan setengah mati. Sia-sia perjuanganku mengendap-endap agar tidak ketahuan oleh nenek Badai. "Kok tidak memberitahu nenek kalau akan datang? Apa tadi kalian akan memberi kejutan untuk nenek?"
Aku memberi gelengan kikuk pada nenek Badai. Kuulas senyum untuk nenek, kakek dan mama Badai sembari mencium punggung tangan mereka. Wanita cantik sebaya dengan Mama ini tersenyum ramah padaku. Dia sangat cantik meskipun perlahan-lahan usia memakan kulit halusnya. Wanita itu tetap terlihat rapi meski berada di sekitar rumah. Pakaian yang dikenakan sangat elegan dan pas pada tubuhnya. Mama Badai memang cantik. Aku memanggilnya Tante Sari.
Beliau adalah sahabat karib Mama sejak sekolah dasar. Menurut cerita Mama, beliau sangat baik. Sampai sekarangpun Mama masih berhubungan baik dengannya. Apalagi keluarga Wijaya dan Galatoma memang menjalin hubungan kerabat paling dekat.
"Lika?"
Aku berjingkat kaget mendengar suara nenek Badai yang berada di hadapanku.
"Iya?"
"Kok malah diam? Kalian ada kencan mendadak atau belajar bersama?" kakek Badai yang sejak tadi diam, ikut menyahuti.
Aku melirik ke arah Badai yang berdiri tenang. Bagaimana mungkin dia hanya diam saaat keadaan genting seperti ini. Genting?
"Aku akan makan malam dengannya," sahut Badai ringan.
Memang cukup ringan untuk mulutnya, namun tidak bagi telinga-telinga yang medengarnya. Tante Sari dan nenek Badai terkesiap mendengar penuturan Badai. Begitu pun denganku.
Sudah kuduga sebelumnya kalau nenek Badai akan girang mendengar berita ini. Lihat saja bagaimana tingkah saat ini! Beliau meloncat-loncat kegirangan. Kulayangkan tatapan membunuh pada pria yang berada di sebelahku.
"Nenek senang kan? Mungkin akan lebih senang jika aku melaksanakannya sekarang. Sampai jumpa," kata Badai seraya menggenggam pergelangan tanganku.
Dia membawaku melewati anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dan lantai dua. Di lantai dua rumahnya, hanya ada dua ruangan dan balkon yang cukup luas. Satu ruangan untuk kamar Badai dan satu ruang musik. Itu yang dapat kulihat ketika Badai membawaku menuju balkon rumahnya. Tatanan lantai dua ini sangat apik untuk dipandang. Dekorasi yang cukup simpel namun terlihat mewah. Tentu saja, karena barang-barang yang diperlihatkan ini berbau mahal semua.
"Aku mau cuci muka sekalian ambil laptop dulu. Kamu mau menunggu di balkon atau di sini?" tanya Badai saat di depan pintu kamarnya.
"Di sini saja," jawabku pelan.
"Masuklah, sepertinya tidak pantas jika seorang gadis berdiri di depan pintu kamar seorang pria," tandas Badai sambil membuka pintunya lebar.
Bukankah lebih tidak sopan jika seorang gadis masuk ke kamar seorang pria, ya?
Mataku mengedar ke segala penjuru kamar Badai. Beberapa lukisan terpampang nyata di dinding kamar Badai. Ranjang berukuran king size juga tertata rapi dengan balutan sprei soft biru. Nakas di samping ranjang juga menambah kesan mewah kamar ini. Kamar yang didominasi warna abu-abu ini terlihat elegan. Bukan hanya elegan, namun juga rapi dan wangi. Benar kata Badai saat itu, kamarnya jauh lebih baik dari kamarku. Baru menginjak kamarnya beberapa detik saja, indra penciumanku telah menangkap aroma apel di sekeliling ruangan ini.
"Duduklah di sana, aku ke kamar mandi sebentar," ucap badai menunjuk meja belajar.
Aku mendekati meja belajar tersebut. Menarik pelan kursi yang berada di hadapanku dan mulai hanyut pada benda-benda yang ada di atas meja belajar. Mataku menelisik satu per satu benda yang ada di sana. Dan mataku menemukan sesuatu yang cukup menarik, buku harian kecil berwarna hitam pekat milik Badai.
Badai yang tampan
Dia benar-benar narsis, pikirku ketika membaca satu baris kalimat yang ada disampul buku harian Badai. Perlahan kubuka buku tersebut. Halaman pertama menampilkan foto Badai yang sedang tersenyum dengan menunjukkan gigi rapinya. Ini foto Badai beberapa tahun yang lalu. Kubalik buka halaman selanjutnya.
Dia benar-benar cantik. Bahkan bidadari yang ada di langit tidak dapat menandinginya. Sayang sekali, dia menyebalkan dan juga cerewet.
Ternyata Badai yang kukenal dingin itu juga berlebihan atau dapat dikatakan 'lebay'. Baru saja tanganku akan membuka halaman berikutnya, Badai telah menyahut buku tersebut.
"Tanganmu tidak bisa diam, ya?" ketus Badai sambil mengembalikan buku tersebut pada tempatnya semula.
"Mana aku tahu kalau itu buku harianmu," jawabku tanpa rasa bersalah. "Wah, ternyata Badai Galatoma juga sosok yang puitis. Dan juga.. dapat jatuh cinta. Siapa wanita yang kamu maksud di dalam buku itu? Sepertinya orang itu sangat istimewa untukmu. Biar kutebak, ya?"
"Tidak perlu. Yang pasti orang itu bukan kamu," sahutnya kesal.
Aku terkikik mendengar jawabannya. "Aku pun tahu kalau gadis itu bukan aku. Mana mungkin kamu mau menyukaiku."
"Jangan membahas hal itu."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Genç KurguAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...