Aku keluar dari ruangan UKS setelah sekolah benar-benar sepi. Tiara masih ada di sampingku. Dia benar-benar sahabat terbaik yang aku punya. Dia juga yang membuatku bebas dari pelajaran matematika setelah istirahat selesai.
Langkahku terhenti ketika mendapati sosok pria yang menyandarkan tubuhnya di dinding luar kelas. Aku benci pada sosok itu. Badai. Ya, dia berdiri sambil menatapku cemas. Seolah tatapan itu mengatakan maaf yang paling terdalam darinya. Tapi aku terlanjur marah dan sangat kecewa karena sikapnya. Seandainya dia tidak membeberkan rahasiaku, aku yakin aku tidak akan terpukul seperti saat ini. Apa yang dia harapkan dariku?
"Aku minta maaf," ucapnya sambil mendekatiku. Langkahnya berhenti tepat di hadapanku. Aku marah dan aku belum ingin memaafkannya. Pergilah, pergilah. Tatapanku seakan mengatakan itu padanya.
Aku masih menunduk dengan isakan tangis yang kutahan. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku kuat dan aku tegar dalam semua beban. Meski beban ini terlalu menyakitkan untukku.
"Kamu keterlaluan, Badai." Tiara mengucapkannya dengan nada ketus. Detik berikutnya aku telah melangkah pergi berkat tuntunan Tiara pada lengan kananku.
. Maaf karena belum bisa memaafkanmu. Sungguh ini terlalu menyakitkan, batinku.
**
Sejak memasuki rumah aku belum melihat Kak Gevan satu kalipun. Aku ingin berpikir bahwa Kak Gevan tidak tahu tentang hal itu. Tetapi sangat mustahil. Sudah jelas berita itu tersebar dalam hitungan menit. bagaimana mungkin Kak Gevan tidak tahu? Dia juga ada di sana. Kakek dan Nenek juga tidak terlihat. Sepertinya mereka sedang ada urusan dengan bisnis. Syukurlah, dengan begitu aku tidak perlu merasa takut jika Kakek dan Nenek tahu aku baru saja menangis.
Kutenggelamkan kepalaku di antara kedua lutut dan lengan tanganku. Berharap sebuah keajaiban datang membantuku. Atau jika ini hanya mimpi, bangunkan aku secepanya. Aku tidak ingin bermimpi seperti ini.
Suara ketukan pintu membuyarkan harapanku dengan tiba-tiba. Apakah di balik pintu itu Kak Gevan? Pasti. Bi Ida tidak mungkin mengetuk pintu. Beliau akan memanggil namaku sekedar mengingatkan untuk makan.
Aku membuka pintu perlahan setelah membaca beberapa doa agar terlidung dari marahan seseorang. Bisa jadi ketika aku membuka pintu, Kak Gevan segera menelan bulat-bulat karena malu memiliki adik gila sepertiku.
Bukankah semua murid di sekolahku mengganggap seperti itu?
Tepat ketika pintu kamarku terbuka aku dapat melihat siapa sosok pengetuk pintu tersebut. Kak Gevan. Pasti dia akan bertanya mengenai hal tadi siang. Mana mungkin Kak Gevan akan mengajakku jalan-jalan dan berbelanja sepuasnya.
"Apa kakak boleh masuk?"
Aku mengangguk pasrah.
"Ternyata kamarmu berubah dari lima tahun yang lalu. Apa karena ejekan Badai?" aku menggeleng pelan. Badai pernah menebak kamarku dengan gambar barbie. Memang salah jika aku menggemari tokoh barbie? Sebenarnya aku tidak suka dengan gambar seperti itu. Aku lebih suka desain yang lucu namun simple. Seperti kupu-kupu dengan bunga di sampingnya, kartun kecil dengan boneka lucu, pemandangan sawah ala kartun atau bila perlu mukaku dengan senyum lebar. Bukankah itu desain lucu yang simple?
"Lika!" ucap Kak Gevan ketika mengetahui kediamanku. "Apa benar dengan ucapan Badai?"
Aku memandangnya sendu lalu mengangguk. Tidak ada niatan sedikitpun untuk berbicara meski hanya satu katapun pada Kak Gevan.
Kak Gevan tersenyum ramah memandangku. "Kakak tidak marah dengan perasaanmu. Kakak hanya ingin kamu tidak melanjutkan perasaan itu terlalu jauh."
"Tapi aku mencintai Kak Gevan," sahutku cepat. Sepertinya niatku gagal karena sahutanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...