Udara malam ini membuatku mengeratkan jaket yang melekat hangat di tubuhku. Semilir angin meniup helaian rambutku yang kubiarkan tergerai di punggung. Keadaan di taman rumah sakit cukup ramai dengan pengunjung. Sepertinya mereka adalah keluarga pasien rumah sakit ini. Itu pasti. Siapa lagi?
"Apa kamu tidak berniat melihat kakakmu yang sudah sadar?"
Suara seseorang membuatku mendongak. Seketika mataku menatap tak percaya siapa yang saat ini berada di hadapanku. Badai.
"Pergilah!" usirku datar.
Aku harus pandai menahan emosi yang sejak tadi membuncah di dalam hatiku. Jangan sampai pria tampan di hadapanku ini kujadikan pelampiasan emosiku. Dia bahkan tidak tahu apa-apa. Tetapi mengapa dia ada di sini jika dia tidak tahu apa-apa? Atau nenek yang menyuruhnya kemari?
"Aku tahu kamu sedang sedih. Tapi kumohon masuklah, udara malam ini tidak baik untuk kesehatanmu," ujarnya halus.
"Pergi! Aku sedang ingin sendiri. Apa kamu belum sadar telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku? Kamu membongkar kotak yang selama ini kujaga rapat-rapat. Apa itu belum cukup untuk menyakitiku? Pergilah, sebelum aku berkata lebih kasar padamu."
"Aku tahu. Maaf," jawabnya lirih.
"Apa dengan kata maaf semua akan kembali?"
Aku menghembuskan nafas kesal. "Tidak bisa kan? Lebih baik kamu pergi. Aku ingin sendiri," ucapku kembali menundukkan kepalaku.
"Aku memang tidak tahu apa-apa. Tapi dengarkan ucapanku, jangan pernah menganggap semua kejadian itu berasal darimu."
**
Kakiku menyusuri trotoar yang cukup ramai. Kuacuhkan teriakan pedagang asongan yang memaksaku membeli barang dagangannya. Mataku hanya menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan keadaan sekitarku.
Perkataan Badai dua jam yang lalu membuatku semakin takut. Memang ucapannya terdengar sederhana bagi telinga orang lain, kecuali telingaku. Bagiku kalimat itu sangat menakutkan. Dia mengatakan hal itu apa karena dia tahu aku sedang menyalahkan diriku sendiri? Lagi-lagi semua harus berakhir seperti ini.
Langkah kakiku semakin melambat ketika aku menyadari daerah yang saat ini kuinjak. Sepertinya aku berada jauh dari rumah sakit tempat Kak Gevan dirawat. Pikiranku kembali melayang pada sosok Kakek dan Nenek. Pasti mereka sedang mengkhawatirkan keberadaanku. Bagaimanapun mereka sangat menyayangiku. Tidak mungkin hanya karena Kak Gevan, mereka dengan tega melupakan salah satu dari cucunya.
Aku segera mencari kendaraan yang bisa mengantarku kembali ke rumah sakit. Malam-malam begini mana ada angkutan umum. Jalan ini juga jauh dari lintas taksi kota. Ojek yang biasanya mangkal di pertigaan jalanpun tidak ada sama sekali. Apa karena hari ini malam jum'at kliwon?
Tujuan terakhirku adalah halte bus. Setidaknya ini masih jam sembilan. Pasti masih ada bus yang lewat meskipun kemungkinannya sangat kecil.
"Aku lelah mencarimu. Untung saja aku lewat jalan ini. Ayo, kembali ke rumah sakit!" seseorang menarik lenganku lembut dengan rengekan kecil. Tiara. "Kakek dan nenekmu menyuruhku mencarimu. Beberapa saat yang lalu, Kak Gevan sadar. Dan apa kamu tahu? Badai juga ada di sana. Dia menjaga Kak Gevan dengan sepenuh hati ketika kakek dan nenekmu mencari keberadaanmu. Ayo!"
"Apa kamu tahu penyakit Kak Gevan?"
Tiara menggeleng pelan. Keningnya berkerut dengan tatapan meminta penjelasan padaku.
"Tiga tahun ini Kak Gevan hidup dengan satu ginjalnya. Ginjal yang lain dia donorkan pada seseorang. Tidak! Bukan Kak Gevan yang memberinya, melainkan orang itu yang telah merebut hak milik Kak Gevan," jelasku pelan. Kutenggelamkan isakan yang mungkin akan terdengar jika tidak segera kucegah.
"Sepertinya tidak seperti itu. Meskipun aku tidak tahu apa-apa, tetapi aku yakin jika orang itu tidak merebut ginjal kakakmu. Kak Gevan memang baik. Kemungkinan itu memang inisiatifnya. Apa kamu tahu siapa penerima ginjal itu?" tanya Tiara.
Kuanggukan kepalaku.
"Tahu. Aku ingin sekali merebut ginjal milik Kak Gevan darinya. Apa kamu bisa membantuku?"
"Jangan seperti ini, Lika!" nasihat Tiara menahan emosinya. "Aku tahu kamu tidak terima dengan orang itu. Tapi jangan bertindak seperti orang bodoh," sambung Tiara sambil tersenyum tulus.
"Kamu hanya perlu membantuku. Antarkan aku ke ruang operasi setelah ini! Bukankah itu sangat mudah?"
Dapat kulihat Tiara menyatukan kedua alisnya cukup lama. Matanya kembali menatapku heran. Setelah bergulat dengan pemikirannya, aku yakin dia telah menemukan penjelasan dari ucapanku.
"Maksudmu? Tidak mungkin orang itu kamu kan?"
"Itulah kenyataannya. Aku adalah adik yang sangat kejam. Bahkan, aku dengan entengnya merebut ginjal yang menjadi jalan hidup Kak Gevan. Ayo, antarkan aku ke ruang operasi!" kataku dengan keras.
Tiara segera memelukku dengan tangisan kecil dari bibirnya. Matanya terus saja mengeluarkan cairan bening yang membasahi kedua pipi tirusnya. Ini yang tidak kusuka dari Tiara. Wajahnya saat dia menangis membuatku seakan ingin menangis juga. Padahal sudah berapa kali dalam hari ini aku menangis lantaran Kak Gevan.
Mengingat Kak Gevan, bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia baik-baik saja seperti yang diucapkan Tiara?
"Tiara, aku tidak pernah meminta apapun darimu. Sekali saja untuk kali ini. Antarkan aku ke rumah sakit. Ak.."
"Kamu gila? Kamu kira mendonorkan ginjal seperti memberikan air untuk seseorang? Kak Gevan akan sedih melihatmu seperti saat ini. Bahkan, penyakitnya bisa saja lebih parah ketika dia tahu adik kesayangannya berbuat senekat ini. Percayalah, Kak Gevan pasti bisa melanjutkan hidup dengan satu ginjalnya. Dia kan pria yang kuat dengan segala beban?" sela Tiara bersemangat.
"Tidak. Kak Gevan sedang membutuhkan ginjal ini untuk kehidupannya. Dan aku akan mengembalikan ginjal yang bukan milikku sesungguhnya. Kak Gevan saja sanggup hidup dengan satu ginjalnya, mengapa aku tidak? Aku pasti bisa melewati hidupku meski hanya beberapa tahun lagi. Setidaknya aku pergi tanpa berhutang apapun pada Kak Gevan," ucapku bergetar.
Tiara masih setia memelukku dengan gelengan kecilnya. Aku tahu dia tidak akan setuju dengan apa yang ingin aku lakukan. Tetapi, di sisi lain aku harus menyadari ada seseorang tengah berjuang melawan penyakitnya hanya demi aku. Dia berjuang dengan tangan kosong. Karena satu senjata yang sanggup mengalahkan penyakit itu telah berada di tanganku.
Apa aku masih bisa disebut adik Kak Gevan?
Sepertinya tidak. Kejadian beberapa hari yang lalu saja telah membuat hidupku dihantui rasa bersalah pada Kak Gevan karena aku mencintainya. Dan semua teman atau kakak kelasku menjadikan kejadian ini sebagai ajang perlombaan gosip terhangat. Itu saja telah membuatku seakan mati rasa, apa lagi nanti ketika semua orang tahu bahwa ginjal di rongga perutku ini milik Kak Gevan. Aku akan menjadi adik tergila, terkejam, terjahat yang pernah ada di dunia.
Kuhela nafasku yang masih tersenggal karena isakan. Setelah itu, punggung tanganku mengusap kasar air mata yang masih saja mengalir. Apa yang harus kulakukan?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...