Part 17 - Aku, Badai dan Vespa

1.6K 114 3
                                    


Setelah beberapa menit aku berkutat di dalam kamar, akhirnya aku keluar dengan penampilan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Badai masih berdiri di dekat kolam ikan sambil memberi makan yang telah disediakan di sana.

"Ayo berangkat sekarang!" ajakku dengan berat hati.

Mobil Kak Gevan masih terpakir di garasi. Sepertinya setelah ini Kak Gevan akan berangkat mengetahui derum mobilnya terdengar.

"Kenapa menatap Kak Gevan dan Kak Citra seperti itu?" tanya Badai membuatku segera memalingkan muka ke arah lain. Jangan sampai Badai curiga dengan sikapku. Jika itu terjadi, hubunganku dengan Kak Gevan akan renggang karena mulut embernya.

"Kamu pakai pelembab muka terburu-buru ya? Jangan-jangan kamu nggak sabar mau berangkat denganku, benar kan?" tanya Badai lagi.

"GR."

Aku berjalan mendahuluinya sampai digerbang rumahku. Mataku berkeliling mencari mobil merah kesayangan Badai yang biasanya terpakir tepat di depan gerbang rumah. Nihil. Apa mungkin Badai mengajakku ke rumahnya terlebih dulu untuk mengambil mobilnya?

Jangan sampai itu terjadi. Aku belum siap bertemu neneknya. Cukup beberapa hari yang lalu saja.

"Mobilmu mana? Kita tidak mungkin jalan kaki kan?"

"Jalan kaki? Itu," sahut Badai menunjuk kendaraan beroda dua yang sangat unik. Untuk beberapa saat aku tercengang mendengar penuturan Badai yang bagiku sangat mustahil. Vespa?

Kutatap Badai yang berdiri tepat di sampingku. "Maksudmu kita naik vespa?" Badai mengangguk mengiyakan.

Semburat senyum kulepas begitu saja mengetahui jika hari ini aku akan menikmati indahnya pagi dengan vespa. Menurutku vespa tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan mobil sport milik Badai. Unik dan mengesankan.

Kendaraan ini memiliki satu arti bagi hidupku. Untuk pertama kalinya aku harus naik vespa karena Mama sakit mendadak. Dan untuk pertama kalinya juga, aku tahu Kak Gevan membenci vespa. Berbanding terbalik denganku.

Dan hari ini aku akan kembali merasakan bagaimana uniknya kendaraan ini meskipun bersama Badai. Itu tidak masalah.

"Berhubung masih pagi, keliling kota dulu ya?" aku mengangguk semangat.

"Kamu suka vespa? Kukira kamu benci sama seperti Kak Gevan." Kali ini aku menggeleng menolak pendapatnya yang aku rasa masuk akal. Biasanya kakak adik saling berhubungan dengan hal yang disukai atau tidak sukai. Tapi nyatanya tidak semua seperti itu.

"Aku suka. Ayo keliling kota!" Badai hanya menatapku dengan senyum yang sulit kuartikan.

Setelah aku mengenakan helm dan duduk tenang di jok belakang vespa, Badai segera melajukan kendaraan ini dengan kecepatan normal.

Suasana pagi ini begitu indah. Langit ditemani mentari tersenyum manis di atas sana. Angin bertiup sepoi-sepoi mengibaskan rambut hitamku. Burung-burung pun berkicau riang menandakan pagi yang harus dilewati dengan penuh keceriaan. Jalanan yang kini aku dan Badai lewati, juga mendukung indahnya pagi ini. Tidak ramai juga tidak sepi. Kendaraan bersimpang siur rapi di tengah jalan. Trotoar pun masih sepi pedagang maupun pejalan kaki. Hanya satu dua orang yang terlihat. Jam berapa ini? Mengapa pejalan kaki tidak tampak? Bukankah biasanya trotoar penuh dengan pejalan kaki?

Aku menatap wajah Badai yang tengah serius mengendarai vespa lewat kaca spion. Ingin rasanya aku memuji bahwa Badai benar-benar tampan. Namun aku memang super gengsi apalagi mengatakan hal yang memalukan seperti itu. Terlebih pada Badai. Bisa-bisa penyakit percaya dirinya kambuh.

"Badai, aku berdiri tidak apa-apa kan?" aku memperkeras volume suaraku agar Badai mendengarnya. Meskipun keadaan tidak terlalu ramai, belum tentu ucapanku terdengar jelas oleh Badai.

Badai mengernyitkan keningnya sebentar. "Terserahmu. Tapi hati-hati. Kalau kamu jatuh, aku juga yang repot."

Mendengar persetujuannya, aku segera berdiri sambil merentangkan tangan menikmati angin pagi ini. Sungguh menyamankan.

"Badai hati-hati...," teriakku ketika vespa yang dikendarai Badai mulai tidak seimbang. "BADAI! uaa..."

"Badai!" jeritku beberapa kali.

Aku memegang bahu Badai sebagai tumpuan jika tiba-tiba vespa ini jatuh atau oleng. Badai tertawa mendengar teriakan protesku.

"Hahaha. Kamu takut? Tidak apa-apa. Kamu nikmati saja apa yang kamu inginkan."

"Bagaimana bisa aku menikmati jika kamu mengendarainya seperti ini. Kamu kira biaya rumah sakit tidak mahal?" protesku dengan teriakan yang bertambah.

"Tidak akan jatuh. Aku mahir kok mirip Valentino Rossi," sahutnya dengan volume suara yang keras.

Valentino Rossi? Seperti dia?

"Mana ada Valentino Rossi naik vespa," komentarku.

"Ini Valentino Rossi versi terbaru. Bosen lah kalau naik motor gede terus. Sesekali naik vespa juga tidak apa-a.. Aaaa."

"Baaa..dai..," pekikku ketika vespa yang kutumpangi hampir menabrak pembatas jalan. "Tahan REM nya..."

"Lika pegangan!"

Bugh.

Kupejamkan mataku agar tidak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut. Tubuhku terasa kaku dan bergetar hebat ketika aku mendengar gesekan antara ban sepeda dan pembatas jalan. Kak Gevan tolong aku, batinku.

Apa tubuhu kaku seperti ini arti bahwa aku telah meninggalkan dunia? Aku belum siap.

"Buka matamu. Kita tidak apa-apa," perintah Badai sambil menggoyangkan puncak lenganku.

Perlahan aku menuruti perintah Badai. Sepercik cahaya mulai hinggap melewati lensa mataku. Dari buram hingga menjadi sangat jelas. Kupandangi sekitarku.

"Kita belum meninggal kan?"

"Hahaha. Meninggal? Kita tidak apa-apa. Sudah kubilang, aku jago dalam mengendarai vespa," jawab Badai sambil memperlihatkan senyumnya.

Aku semakin heran dengan suara yang kukira gesekan antara ban sepeda dengan pembatas jalan tadi. "Aku mendengar suara gesekan antara ban sepeda dengan pembatas jalan. Kukira itu suara dari ban vespa yang kita tumpangi."

"Bukan. Suara itu," tunjuk Badai pada sebuah sepeda yang tengah disandarkan pada tiang listrik.

Buah kelapa jatuh? Astagfirullah. Tidak jauh dari aku berada, seorang pria paruh baya tengah memungut satu persatu buah kelapa yang sempat menggelinding dipinggiran jalan raya. Aku menghembuskan nafas lega.

"Sudah tenang?"

"Sudah. Ayo jalan. Aku berdiri lagi tidak apa-apa kan?"

Badai mengangguk sambil mengacungkan dua ibu jarinya. Kupandangi wajahnya yang masih tersenyum ramah padaku. Manis. Tampan. Keren.

"Hmm, pagi yang luar biasa."

Aku kembali merentangkan tangan sambil menghirup udara pagi hari. Untung saja kotaku bukan termasuk kota metropolitan. Setidaknya polusi udara masih dalam rata-rata. Dengan begitu, udara yang kuhirup saat ini belum termasuk udara tercemar.

Sesekali kupegang bahu Badai jika kecepatan vespa semakin bertambah. "Badai pelan-pelan!" bisikku tepat di telinganya. Aku lelah meski hanya berteriak.


TBC ..

Voment serta kritik dan sarannya kawan

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang