Tangan dan penaku menari di atas kertas berukuran mini dengan senyum yang kuulas tanpa sebab. Beberapa menit setelah merangkai beberapa kalimat yang menurutku indah aku segera merapikan pena ke dalam tasku.
Kugenggam erat kertas itu dengan melipat menjadi bujur sangkar yang lebih kecil. Aku akan berbalik menuju kelas sebelum tangan seseorang merebut kertas itu dan berlari meninggalkanku. Aku memekik kaget melihat siapa yang mengambil kertas itu.
Badai.
Aku berlari kencang mengejar Badai yang membawa kertas kecil milikku. Kertas yang sangat penting bagiku. Badai semakin menjauh. Tidak, aku harus segera mengambil kertas itu sebelum bencana besar menimpaku.
"Kembalikan, Badai! " teriakku dengan terengah-engah. Kali ini perutku tidak sesakit dengan tiga tahun yang lalu. Bahkan hanya terasa seperti digigit semut ukuran paling mini.
Sementara Badai masih dengan lari kecil memutar-mutar kertas itu tanpa berniat mengembalikannya padaku.
"Mengapa kamu begitu takut? Apa ini surat cinta?" ejek Badai.
"Itu bukan urusanmu. Sekarang kembalikan kertasku! Kalau tidak aku akan.."
"Apa?" sahut Badai cepat. "Kamu akan apa? Ingat Lika, nyawamu berada di tanganku sekarang. Bagaimana mungkin kamu masih bisa mengancamku dalam keadaan seperti ini?"
Badai melangkah dengan santai sambil mengibas-ngibaskan kertas milikku. Aku harus menahan amarahku. Bisa-bisa Badai nekat membuka satu rahasia terbesarku. Aku melangkah mengikuti Badai dari belakang. Waspada saja apabila Badai tiba-tiba membaca atau memberikan pada tokoh utama dalam kertas itu.
Badai menghentikan langkahnya lalu menatapku. "Bagaimana kalau aku bacakan saja rangkaian kalimat dalam kertas ini di depan kakak kelas tiga? Kurasa akan sangat menyenangkan."
Aku baru menyadari jika saat ini aku berada di koridor milik kelas tiga. Salah satu di antara jejeran kelas ini ada kelas milik Kak Gevan. Gawat!
"Kubacakan sekarang ya?"
"Kumohon jangan.." Aku menggeleng kuat dan berlari ke arah Badai. Secepat kilat Badai menaikkan kertas itu di atas kepalanya.
Aksiku dan Badai menjadi konsumsi gratis para murid yang berseliweran menuju kantin ataupun perpustakaan mengingat sekarang adalah waktu istirahat. Terlebih kakak kelas yang tengah duduk santai di depan kelas.
Mataku kian memanas saat Badai mulai membuka kertas tersebut.
"Wah, ternyata kamu menyukai Kak Gevan? Kakak kandungmu?"
Hatiku seperti dihantam ribuan bahkan jutaan kilo batu yang sangat besar. Semua terbongkar karena Badai. Ingin rasanya aku berteriak seakan itu hanya bercanda, namun lidahku terasa kelu meski mengatakan itu tidak benar.
Aku dapat merasakan semua pasang mata memandangku dengan heran. Mataku menunduk ketika siluet bayangan sosok pria yang disebutkan Badai ada di antara puluhan kakak kelas tersebut. Kak Gevan ada di sana.
Beberapa saat kemudian dapat kurasakan Tiara datang mendekatiku. Dia segera membawaku pergi dari tatapan-tatapan menakutkan milik kakak kelas. Aku ingin menahan tangisku, namun gagal. Mataku dengan cepat mengeluarkan buliran air mata yang membasahi pipiku.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku pada Tiara dalam isak tangisku.
Tiara menggeleng sambil menatapku miris. "Apa benar kamu menyukai Kak Gevan? Katakan itu tidak benar," pinta Tiara dengan gelisah.
Tangisku pecah mendengar permintaannya. "Aku benar-benar ... menyukainya. Aku takut, aku takut, aku harus apa?"
Tiara memelukku erat. Mengapa Badai setega ini? Apa ini arti ucapannya kemarin?
"Mengapa kamu harus menyukai Kak Gevan? Banyak pria yang masih bisa kamu cintai. Tidak harus Kak Gevan. Apa kalian saudara tiri? Tidak kan?"
"Aku bodoh. Sangat bodoh. Pergilah, jangan mendekati gadis bodoh sepertiku. Pergilah, aku yakin kamu malu memiliki teman sebodoh aku. Jangan pernah mendekatiku lagi. Aku takut kamu akan ikut bodoh sepertiku. Pergilah.."
Isakanku kian terdengar keras saat mengatakan kalimat itu. Saat ini toilet yang kutempati ramai dengan siswi yang penasaran akan ucapan Badai. Dapat kudengar bisik-bisik dari mereka yang mulai menebak apakah perasaanku itu benar atau tidak.
"Dia benar-benar gila mencintai kakak kandungnya sendiri."
"Bahkan lebih gila. Otak cerdasnya tidak mendukung perasaan hatinya."
"Kak Gevan pasti malu memiliki adik sepertinya."
Bisik-bisik itu membuatku ingin sekali memukul atau mencakar mulut sok tau mereka.
"Jangan berpendapat yang tidak-tidak. Apa kalian percaya dengan mulut Badai?" teriak Tiara memecahkan keramaian yang terjadi di toilet ini. Aku semakin membenamkan wajahku di pelukan Tiara.
"Kita percaya. Bagaimana mungkin penyumbang dana terbesar sekolah ini berbohong? Dia juga tampan. Tidak mungkin mulut tampannya itu berbohong," sahut salah satu sisiwi yang kuduga kelas tiga.
Tiara mengumpat pelan. Nafasnya memburu tidak beraturan. "Apa begitu cara mempercayai seseorang? Apa dilihat dari kaya dan tampannya?"
"Sudah, Tiara. Aku memang mencintai Kak Gevan. Aku memang gila. Kak Gevan pasti malu memiliki adik sepertiku. Ucapan mereka benar. Aku gila. Aku tidak normal. Mengapa tidak masuk ke klinik kejiwaan saja? Aku benar-benar gila."
"Diamlah. Kalian pergi dari sini. Aku mohon dengan hormat, bisa tinggalkan kami berdua?"
Beberapa dari mereka mencibir ucapan Tiara dan berlalu dari toilet. Sungguh, bukan ini yang aku inginkan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...