Part 37 - Keputusan Bodoh

1.3K 96 3
                                    

Kakek semakin terlihat cemas ketika sambungan komunikasi antara Badai dan ayahnya terputus. Benda berbentuk bujur sangkar tumpul tersebut segera kembali pada habitatnya. Lebih tepatnya saku jaket Badai. Aku dan Nenek yang duduk tak jauh dari mereka juga ikut cemas.

Keputusan antara Kakek dan Badai akhirnya berujung dengan keputusan Badai. Meski melewati adu bicara yang memakan waktu cukup lama, akhirnya Kakek memperbolehkan Badai mendonorkan ginjalnya dengan syarat meminta izin terlebih dulu pada keluarganya. Aku tahu apa alasan Kakek menyuruh Badai meminta izin pada keluarganya. Tentu saja agar terhindar dari pemikiran-pemikiran negatif.

Tepat ketika aku menumpukan kepalaku di bahu Nenek, Badai tersenyum ke arah Kakek. Mau tak mau aku kembali mengangkat kepalaku dan menghampiri mereka berdua.

"Papa setuju kok, Kek. Nenek dan kakek juga mengatakan hal yang sama. Jadi aku bisa ke ruang operasi saat ini kan?"

Kakek mengangguk ragu. "Apa sebaiknya kakek telpon orangtuamu?"

"Tidak perlu. Kakek dan nenek akan datang kemari setelah ini," jawab Badai sambil memperlihatkan senyumnya.

"Yasudah. Apa kamu benar-benar ingin mendonorkan ginjalmu untuk Gevan? Kakek masih belum percaya dengan kebaikanmu. Keluargamu memang orang baik-baik. Tentunya kamu, keturunan Galatoma yang paling muda." Pelukan ringan disuguhkan Kakek pada Badai. Sedangkan Badai menerimanya dengan senyum tulus dan anggukan kecil.

"Dokter!" teriak seorang suster yag baru saja masuk ke ruang Kak Gevan.

Sontak semua yang ada di sini segera berlari kecil menghampiri suster tersebut.

"Ada apa, Suster?" tanya Badai yang lebih dulu sampai di dekat Suster.

"Pasien yang ada di dalam kejang. Dan alat pendeteksi jantungnya juga berhenti," jawab suster itu gemetar.

"APA?" pekikku.

Aku tidak mungkin salah dengar. Pendeteksi..berhenti? Kak Gevan? Aku beringsut dari cengkraman Badai dan mencoba menerobos pintu kamar Kak Gevan. Namun sia-sia. Karena tenaga Badai lebih kuat daripada tenagaku. Bahkan cengkramannya berubah menjadi pelukan hangat.

"LEPAS! Aku ingin menemui Kak Gevan. Lepaskan aku!" teriakku semakin lantang ketika aku benar-benar menyaksikan layar pendeteksi jantung Kak Gevan menunjukkan garis lurus panjang.

TIDAK MUNGKIN! Kak Gevan tidak mungkin pergi. Itu salah, layar itu salah!

"Suster, katakan padaku bahwa alat itu rusak! KATAKAN!"

"Lika, tenanglah," ujar Nenek sambil menahan tangisnya.

Aku mengerang agar cengkraman Badai lepas. Namun dia tetap tidak bergeming. Kuhentakkan beberapa kali tanganku ke udara agar tangan Badai yang berada di pergelanganku terlepas begitu saja. Namun apa daya tenaga sosok lemah sepertiku? Yang ada, cengkaraman itu semakin erat.

Tak mau kalah aku mulai memukul dada Badai dengan sikuku. Dia hanya menggerang kecil dan segera merengkuh tubuhku dalam dada bidangnya. Cengkramannya terlepas begitu saja. Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk berlari. Namun aku terlanjur nyaman dalam pelukan Badai.

"Kumohon tenanglah. Dia tidak akan pergi hanya karena kekurangan satu ginjalnya," bisik Badai menenangkan.

Tangisku pecah begitu saja di dalam pelukan Badai.

"Tapi mengapa alat pendeteksi jantung Kak Gevan berhenti? Mengapa?" tanyaku disela-sela isak tangisku.

"Mungkin ada kesalahan dalam mesinnya. Kamu harus tenang. Dokter juga sedang memeriksanya."

Aku mengangguk meski dalam hatiku merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Perasaan apa ini? Mengapa hatiku terasa sangat pilu?

Beberapa menit atau hampir mencapai menit ke 60, dokter yang kita tunggu sejak tadi keluar dari ruangan Kak Gevan. Aku dan semua yang ada di sini segera mendekati dokter tersebut. Tak luput dengan kakek dan nenek Badai yang datang 20 menit lalu. Mereka juga memperlihatkan wajah kekhawatirannya untuk Kak Gevan.

"Bagaimana, Pak Dokter?" tanya Kakek cemas.

"Kami baru tahu jika pasien di dalam mengidap penyakit selain di ginjalnya. Kami telah berusaha menyelamatkan ginjalnya namun maaf, jantung pasien tidak dapat kami cegah untuk berhenti." Dokter tersebut menghela nafas sesaat. "Pasien mengidap penyakit lemah jantung akut. Dan pertolongan kami tidak memungkinkan karena belum ada persiapan sama sekali. Alat-alat alternatif tidak diterima oleh jantung pasien. Sekali lagi saya minta maaf."

Dokter tersebut segera melangkah meninggalkan isak tangis kami yang ada di sini.

"Kak Gevan..." Kakiku terlalu sulit untuk menopang berat badanku. Dengan isak tangis yang terdengar cukup keras, aku ambruk di lantai rumah sakit. Tidak. Tidak mungin Kak Gevan pergi. Dia sehat, dia tidak apa-apa. mataku semakin buram dengan cairan bening yang tertahan di pelupuk mataku.

'Jangan menangis, Lika. Dia memang harus pergi, ini memang waktunya. Dia akan tenang di sana,' batinku agar aku tetap bertahan. Aku tidak ingin pingsan. Karena itu akan membuat Kakek dan Nenek semakin panik.

Kutarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya pelan. Kulakukan hal itu berkali-kali hingga produksi air mataku berkurang sedikit demi sedikit. Meski air mata itu tidak mengalir lagi di pipiku, tetapi di dalam sana air mata itu menggenang semakin deras. Hancur. Sangat hancur mendengar kalimat bahwa Kak Gevan pergi. Apa masih bisa kukatakan bahwa kalimat itu hanya opini?

Mengapa Kak Gevan tidak pernah sedikitpun bercerita mengenai penyakitnya? Dia benar-benar tertutup sehingga semua orang bahkan aku yang dianggap sebagai adiknya saja tidak tahu menahu tentang penyakit yang merajai tubuhnya.

Belum jauh Dokter itu melangkah, Badai segera menahan lengannya. "Dokter jangan bohong! Dia baik-baik saja tadi sore. Jantungnya stabil dan tidak ada sama sekali gejala mengenai penyakit jatungnya. Dokter pasti berbohong. Katakan pada saya bahwa dia belum pergi!" Dokter tersebut hanya menunduk pasrah. "Ambil ginjal saya jika Dokter membutuhkannya!"

Aku terkejut mendengar ucapan Badai. Begitu juga dengan Kakek dan Nenek ataupun kakek dan nenek Badai. Mereka menatap Badai sedih.

"Ginjalnya masih berfungsi," jawab Doter itu.

"Kalau begitu ambil jantung saya!"

"BADAI!" jeritku pilu.

Sungguh, aku tidak tahan lagi mendengar ucapan Badai yang semakin lama semakin menjauh dari batas kesadaran. Gila, bodoh, stres dan umpatan lainnya memenuhi pikiranku yang kutunjukkan pada Badai. Aku saja yang lahir sebagai adik Kak Gevan masih sanggup menahan emosiku di depan Dokter. Sedangkan Badai? Dia bahkan bisa kusebut gila.

"Keluarga pasien bisa ikut saya ke ruangan. Ada banyak hal yang perlu saya sampaikan," kata pria bejubah putih tersebut.

Setelah itu Kakek dan Nenek melangkah pergi menuju ruang yang dimaksud Dokter. Tinggal aku, kakek dan nenek Badai serta Badai sendiri. Dia masih berdiri dengan sorot mata tajamnya.

"Nek, apa boleh aku membawa Badai pergi sebentar?" tanyaku pada wanita yang seringkali menjodohkanku dengan Badai.

"Boleh. Sekalian kami mau pamit karena sudah larut malam. Sampaikan salam untuk kakek dan nenekmu ya?" Aku mengangguk.

Dengan perasaan gusar kugamit lengan Badai dan membawanya ke taman rumah sakit.


TBC

Terimakasih untuk semua teman yang sering aku paksa buat nge vote, comment. dan buat kalian yang baca cerita ini.


Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang