Ketika langkahku sampai digerbang sekolah, aku menutup sambungan komunikasi dengan Kak Gevan. Sepertinya tidak mungkin Pak Ali menjemputku jam ini. Sambil menunggu Pak Ali datang, kukeluarkan kanvas beserta kuas dari dalam tasku.
Setelah itu mataku menerawang jauh mengingat masa itu. Dimana hanya ada aku dan dia menikmati indahnya malam dengan ditemani ribuan bintang bersinar. Tidak ada kata yang bermakna sedih ataupun menyakiti. Yang ada hanya senyum tulus dan tawa gembira membingkai malam. Aku terlalu mencintainya seperti aku mencintai malam. Namun itu semua tidak berlangsung lama ketika pagi mulai datang. Jika pagi hanya datang menemaniku menanti malam, aku akan sangat bahagia. Namun pagi itu mulai membuat jarak antara aku dengannya. Memberikan beberapa menit perbedaan antara aku dan malam.
Aku tidak akan pernah berhenti mencintai malam. Karena malamlah yang membuat bibit terlarang itu muncul. Bibit yang tidak bisa kutanam dengan mudah. Saat itulah aku mulai membuka hatiku untuk mencintai pagi.
Aku merasakan perasaan yang berbeda di antara dua waktu itu. Aku sangat mencintai malam tanpa sedikitpun rasa kebencian. Sedangkan pagi? Aku memang mencintainya karena dia yang membuatku melupakan cinta terlarang itu, namun aku memiliki rasa kebencian yang terkadang membuatku tertawa.
Jalan mana yang harus kutempuh di antara keduanya?
Bukankah cinta diartikan sayang dan benci? Apa itu artinya aku mencintai pagi?
"Woi! Mau jadi penjaga gerbang ya?" aku hanya menatap wajahnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Apa dia benar-benar pagi yang kupikirkan tadi?
"Lika-liku kehidupan! Kamu menungguku?" tanyanya masih tak kutanggapi.
Meskipun dia sering membuatku marah ataupun naik darah, aku masih bisa merasakan bahwa aku memiliki perasaan yang berbeda. Apa itu perasaan..
Kembali kutatap wajahnya yang tenang. "Kamu menyukaiku kan?"
Tanpa sadar kepalaku mengangguk pelan. Mulutnya menganga untuk beberapa saat. Matanya menatapku seolah tidak percaya.
"Bukankah itu maumu? Aku sudah mengatakan perasaanku. Jadi jangan pernah memaksaku untuk mengatakannya lagi," ucapku pelan. Segera kumasukkan kanvas yang memperlihatkan setengah lukisan. Kutatap beberapa detik sebelum benar-benar hilang dalam gelapnya tas punggungku.
"Hahaha. Kamu bercanda kan? Ini jebakan untukku kan?" suaranya terdengar bergetar namun dipaksakan tertawa.
Aku menggeleng. "Tidak, aku serius."
"Hari ini kamu benar-benar aneh. Kukatakan penjaga gerbang, kamu hanya diam. Ketika kutanya apa kamu menyukaiku, kamu mengangguk. Jadilah keturunan Wijaya seperti sebelumnya. Setidaknya itu tidak membuatku heran. Aku lebih terbiasa ketika kamu marah," ujarnya dengan gelisah.
Apa menurutnya aku sedang bercanda?
"Aku marah, kamu tidak suka. Aku mengalah kamu mengatakannya aneh. Apa maumu?" tanyaku sambil memandang manik matanya. Dia semakin mengerutkan keningnya.
"Kamu aneh."
Setelah dia mengucapkan dua kata tersebut, dia segera masuk ke mobilnya dan melaju kencang meninggalkanku yang masih menatapnya nanar.
Kakiku terasa sulit untuk menopang berat tubuhku. Kupeluk erat lututku sambil menyandarkan kepalaku pada gerbang hitam di sampingku.
"Jika kamu mengerti keadaanku, kamu pasti tahu bagaimana bimbangnya hatiku saat ini. Andaikan aku mengenalmu lebih dulu, aku tidak akan memiliki sikap acuh seperti kemarin atau lusa. Apa kamu tidak pernah merasakan sikapku untukmu berbeda dengan sikapku pada cowok lain? Ini caraku menyampaikan perasaanku. Berbeda dengan sosok sempurna itu. Sikapku tidak acuh seperti sikapku untukmu. Itulah perbedaan caraku menyampaikan perasaanku pada dua orang yang kucinta," lirihku sambil terisak.
Aku segera menghapus air mata yang masih tersisa di wajahku ketika ban mobil berhenti di hadapanku. Aku mendongak untuk melihat siapa pemilik mobil itu. Badai.
"Ayo!"
"Ke mana?" tanyaku berusaha menenggelamkan isakan tangisku.
"Pulang. Mau menunggu Pak Ali sampai besok pagi? Pak Ali minta aku menjemputmu karena ada urusan keluarga mendadak."
Belum sempat aku menjawab, tangannya telah menggenggam erat pergelangan tanganku. Lalu memaksaku masuk ke dalam mobilnya.
Angin dingin menerpa kulitku yang tidak tertutup kain. Dalam perjalanan yang hampir mencapai sepuluh menit ini, tidak satupun kata keluar dari mulutku atau mulut Badai. Kita berada di dunia pikiran masing-masing.
"Mau langsung pulang apa cari makan dulu?" tanyanya memecahkan keheningan.
"Terserah," jawabku pelan.
"Kamu tidak apa-apa keluar sampai malam?"
Kali ini aku menatapnya sambil menggeleng. "Yang penting jangan sampai malam."
Aku kembali memandang malam yang membawa kunang-kunang di langit. Katakan padanya aku tidak akan lama bersama Badai. Dia tetap menjadi yang terbaik. Bisa kan, Bintang? Batinku sambil menatap pemilik nama Badai tersebut.
**
Setelah kurang lebih satu jam menikmati gelapnya malam, akhirnya Badai mengantarku sampai di depan rumah.
"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum. Kubuka pintu mobilnya lalu membungkuk ramah sebelum aku berbalik membuka gerbang rumah.
"Lika!" suaranya terdengar parau. Aku kembali menatapnya dengan mengangkat sebelah alisku meminta penjelasan. Dia membuka pintu lalu turun dari mobil sport merahnya.
"Ada apa?"
"Kak Gevan pulang besok malam?" tanyanya balik.
Aku mengangguk. "Kak Gevan memberitahumu?" kini giliran Badai yang mengangguk.
"Badai, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih telah menjadi pagiku"
"Kamu salah minum obat ya?" punggung tangannya menyentuh dahiku yang masih tertutup sebelah poniku. Kemudian diselipkannya anak rambut yang menutupi pipiku ke belakang telinga. Lebih gilanya lagi, aku hanya diam memperhatikan gerakannya. "Aku telah mengantarmu pulang. Apa kamu tidak ingin menawariku mampir lebih dulu?"
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Untuk apa mampir? Berjalan kerumahmu tidak memakan waktu lebih dari 5 detik. Pulangah!" Badai mengerucutkan bibirnya sambil berjalan ke arah mobilnya.
Aku dan Badai bertetangga. Rumahnya berada tepat di samping rumahku. Jangan menebak rumahku dengan rumahnya seperti pada sinetron atau film di televisi yang biasanya memiliki balkon kamar bersebelahan. Rumahku dengannya tidak seperti itu.
Dua bangunan megah ini dibatasi tembok yang sangat tinggi. Atau lebih tepatnya dikunci oleh satu tembok. Pernah satu kali aku datang kerumahnya, dan aku tahu dia memang memiliki kamar dilantai dua. Aku pun seperti itu. Namun tetap saja aku tidak bisa melihat kamarnya dari balkon kamarku.
TBC
Maaf pendek
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Galatoma || #Wattys2019
Teen FictionAilika Wijaya harus sabar menghadapi sikap astral dan menyebalkan seorang Badai Galatoma. Lebih menyebalkan lagi ketika cowok most wanted itu mengetahui rahasia besar Ailika. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Kenapa harus mencin...