Part 16

1.5K 108 2
                                    


Aku berjalan ke arah Kak Gevan yang tengah menyantap sarapan paginya. Matanya berbinar dan bibirnya tak henti-henti tersenyum bahagia. Aku tahu apa penyebabnya. Bahkan satu nama itu selalu muncul dibenakku beberapa hari ini. Aku tidak merusak semua kebahagiaan Kak Gevan. Apa itu artinya aku harus merelakannya menjadi milik Kak Citra?

"Pagi Lika, ayo sarapan dulu!" ajak Kak Gevan tanpa berhenti mengunyah makanannya. Aku menarik kursi yang ada di depan Kak Gevan, lalu ikut menikmati sarapan yang telah disiapkan Bi Ida.

"Beberapa hari yang lalu kakak lihat kamu berdua sama Badai, udah ada hubungan serius?" tanya Kak Gevan memecahkan keheningan.

"Kak Gevan lihat?"

Jawaban untukku adalah sebuah anggukan santai Kak Gevan. "Kakak kebetulan ada di bioskop itu. Kak Gevan lihat Badai menggenggam tanganmu."

Raut mukaku berubah menjadi merah padam mendengar ucapan Kak Gevan. ini memalukan, sungguh.

"Kak Gevan sama Kak Citra ya? Kak Gevan cium kening Kak.."

"Kamu melihat? Kan udah kakak bilang, itu adegan sensor."

"Aku akan menghubungi mama sama papa nanti," ancamku.

"Kakak juga bisa mengadu pada kakek dan nenek kalau cucu mereka yang paling cantik sudah padai berpacaran dengan keluarga sebelah," ancam balik Kak Gevan.

Aku mendecak kesal.

Tling...Tling...Tlong...

"Pagi-pagi seperti ini, siapa yang datang kak?"

Kak Gevan hanya mengangkat bahunya berat sambil tersenyum penuh kebahagiaan. "Mungkin Kak Citra."

Aku tidak ingin nama itu kembali menyelinap di antara aku dan Kak Gevan. Aku ingin sekali saja egois, aku ingin memiliki Kak Gevan. Aku mencintainya, mengapa harus seperti ini jalan cerita hidupku? Mengapa aku harus adik kandungnya?

"Kamu kenapa? Cemburu?"

Aku membalas dengan tatapan sinis ke arah Kak Gevan. "Tidak. Untuk apa cemburu?"

Aku segera melangkah menuju pintu depan. Rasa takut mulai hadir dalam diriku. Sungguh, aku tidak berharap jika seseorang di balik pintu ini adalah Kak Citra. Jika benar itu dia, aku yakin akan ke sekolah naik taksi. Tidak, aku tidak menginginkan itu terjadi.

"Hai," sapa seseorang yang berdiri di hadapanku. Apa yang aku takutkan sejak tadi, sirna seketika. "Pagi, Lika-liku kehidupan.."

Dia lagi, dia lagi. "Untuk apa datang kerumahku? Oh, mau ikut sarapan? Atau mau mengantarku ke sekolah?" tanyaku sinis.

"Jawaban terakhir. Ayo," ucapnya kemudian. Sedetik setelah itu, tangannya menggenggam erat pergelangan tanganku.

"Lepas! Aku tahu ini jebakan gilamu kan? Aku berangkat bersama Kak Gevan, lebih nyaman dan lebih enak dipandang. Denganmu? Bisa-bisa aku harus turun di tengah jalan."

Dia terkikik pelan sambil melepas genggamannya. "Kak Gevan berangkat bersama Kak Citra. Kamu ingin jadi nyamuk di antara mereka berdua?"

"Kak Citra tidak datang ke sini. Itu artinya dia tidak berangkat dengan Kak Gevan." Aku menyudutkan Badai hingga dia terdiam beberapa detik.

Kikikan dari mulutnya makin terdengar keras. "Itu bukan Kak Citra?"

Mataku segera menatap apa yang Badai tunjukkan. Untuk beberapa saat aku harus menahan rasa sakit di hatiku. Entah aku yang tidak sadar atau hal lain, saat ini Kak Citra telah duduk manis di samping kursi pengemudi. Dan itu artinya Kak Citra duduk di samping Kak Gevan.

Ucapan Badai benar, aku akan menjadi nyamuk jika aku ikut mereka. Detik ini, aku berharap mataku tidak merespon apa yang sedang aku lihat saat ini. Aku tidak ingin menangis di depan Badai, tidak ingin.

"Kamu benar. Ayo!"

"Tidak perlu terburu-buru." Badai menghentikan langkahnya saat aku menarik lengannya.

"Kenapa berhenti? Aku berangkat denganmu, apa tidak boleh?"

"Kamu berangkat seperti itu?" ucapan Badai membuatku memandang diriku sendiri. Astaga!

Aku melupakan banyak hal. Sepatu yang seharusnya aku pakai untuk ke sekolah masih disingkirkan oleh kedudukan sandal keropi kesayanganku. Tas? Bahkan aku melupakan alat yang sangat penting itu. Penampilan? Jangan ditanyakan lagi, aku masih serba berantakan.

"Hm, aku masuk dulu. Kamu menunggu di teras atau berdiri menjadi patung penjaga kolam ikan?" aku terkikik pelan lalu berlari menuju kamar.

Ketika aku akan membuka pintu utama, Kak Gevan lebih dulu membukanya dan tersenyum manis ke arahku. Jantungku sulit untuk kukoordinasikan saat ini. Bahkan saraf pusat yang seharusnya bekerja dengan normal ikut merespon apa yang saat ini aku lihat. Kak Gevan sangat tampan meski aku tahu ketampannya tak melebihi pria yang masih berdiri di dekat kolam ikan sana.

"Kamu berangkat dengan Badai atau kakak?" tanya Kak Gevan lembut.

"Dengan Badai saja," jawabku ketus lalu berjalan melewatinya. Kurasakan Kak Gevan memandangku heran. Apa aku bersikap berlebihan? Biarlah karena itulah sifatku.



TBC

Voment ya

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang