Part 24 - On the Stage (2)

505 66 45
                                    

London, satu bulan yang lalu.

"Ma, Mika pulang ya semester break kali ini," ujar Mika pada mamanya via Skype. "Mika kangen."

Pikiran Mika melayang ke mana-mana saat mengatakan itu. Dia memang rindu pada tanah kelahirannya, walaupun dia sama sekali tidak menolak apabila dia harus menetap di London untuk seterusnya. Namun, sejak dia melihat status baru Nayla sebagai pacar Andre di Facebook, dia merasa harus mengeceknya sendiri. Itu juga yang membuat Mika langsung mengonfirmasi tanggal open ticket-nya untuk kembali ke Indonesia. Lagipula, udara musim dingin di London terlalu menusuk tulang, tidak banyak aktivitas yang bisa dia lakukan di luar ruangan.

"Ya sudah, nanti Mama minta Pak Rano jemput kamu di bandara ya. Jangan lupa kirim detail flight kamu ke Mama ya. Akhirnya, kita bisa liburan bareng setelah sekian tahun."

"Ya, Ma. Sudah dulu ya, Ma. Mika ada kelas," tutup Mika.

"Take care, Ka!"

Mika mematikan sambungan jaringan. Lalu menutup laptopnya. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Keputusannya untuk pulang kali ini cukup impulsif. Biasanya, Mika lebih sering meminta orangtuanya untuk bertemu di salah satu negara tetangga. Jalan-jalan dan sekalian temu kangen dengan orangtuanya dan Gaby, adiknya.

***

Mika menatap rintik hujan yang bersisa di kaca pesawat ketika pesawatnya landing di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mika menyukai hujan. Walaupun hujan membuat hidup menjadi lebih sulit karena harus menggunakan payung atau jas hujan, tetap saja Mika menyukai suasananya tenang di balik hujan itu.

Mika mengamati sekelilingnya yang mulai gerasak-gerusuk karena pesawat sudah mendekati lapangan parkirnya. Beberapa malah sudah ada yang berdiri dan membuka cabin di atas tempat duduk mereka. Mika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Pada akhirnya toh semua orang akan turun dari pesawat, buat apa berlomba-lomba siap turun dari pesawat bahkan sebelum pesawat berhenti dengan sempurna? Mika tidak mau ambil pusing, dia kembali melihat rintik-rintik hujan yang memukul ringan kaca pesawat. Saat pesawat sudah mulai kosong, barulah Mika bangun dan mengambil tasnya dengan leluasa di cabin. Lalu turun dari pesawat.

Mika langsung membuka jaketnya begitu dia turun dari pesawat. Walaupun turun hujan dan suhu udara menurun, tetapi saja kelembaban udara Indonesia membuatnya gerah. Dia menyampirkan jaketnya di lengan kirinya dan kembali berjalan menuju imigrasi.

Setelah mengantri beberapa lama, akhirnya Mika bisa berjalan dengan cepat untuk segera keluar dari bandara dan mencari Pak Rano, supirnya. Dia memang tidak membawa bagasi yang berisi baju dan keperluan pribadinya. Koper cabin size-nya pun hanya berisi beberapa oleh-oleh dan titipan keluarganya. Mika melirik jam yang melingkar di tangannya.

Udah jam 2 pagi jam London, pantes gue ngantuk banget, batin Mika.

Mika melambai pada Pak Rano yang langsung menyambutnya dengan sigap. Pak Rano membawanya ke sebuah mobil yang biasa dia bawa ketika masih SMA dulu. Mika langsung masuk dan menyandarkan dirinya dengan nyaman di bangku penumpang. Belum juga Pak Rano memasuki mobil itu, Mika sudah terlebih dahulu memejamkan matanya. Kantuknya sudah tidak bisa dia tahan lagi.

***

Gaby mengguncang-guncangkan badan Mika dengan liar. Sedari tadi, dia mencoba membangunkan Mika dengan berbagai cara, tetapi kakaknya yang hanya terpaut dua tahun lebih tua itu masih saja terlelap dengan damainya. Mika memang sangat sulit menyesuaikan jam tidurnya ketika dia kembali ke Indonesia yang enam jam lebih cepat dari London. Ini pula terjadi ketika Mika baru saja tiba di London. Sering kali dia kena tegur karena mengantuk di dalam kelas di awal-awal kuliahnya dulu. Sekarang, ketika dia sedang berlibur ke Indonesia, Mika dihadapkan dengan situasi yang sama. Tentu saja, karena dia akan kembali ke London, Mika tidak mau repot-repot menyesuaikan diri dengan jam Indonesia.

Musikalisasi Rasa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang