Part 17 - High Fever

629 86 38
                                    

Keesokan paginya, Andre tampak sedikit terhuyung ketika keluar dari kamarnya dengan memakai jaket tipis dan celana basket. Wajahnya nampak pucat.

"Lo kenapa, Dre?" tanya Ari yang pertama menyadari kondisi Andre. Nayla juga sudah menyadari itu sejak cowok itu keluar dari kamar, tetapi dia memilih diam. Nayla sendiri heran mengapa dia jadi hobi mencari keberadaan Andre di manapun dia berada.

"Sakit, masuk angin," kata Felix menyeletuk. "Lo tau ga jam berapa dia masuk ke kamar? Jam tiga pagi. Gue sih ga heran, kalo sekarang dia kayak gini."

Andre tidak menggubris kata-kata Felix, dia mengambil minum dan duduk di bangku kosong di sebelah Nayla.

"Lo udah minum obat?" tanya Dimas. Andre tidak menjawab. Dimas menoleh ke Ari. "Ri, di sini ada persediaan obat ga?"

"Gue bawa obat kok," jawab Andre, segan tidak ingin merepotkan orang lain. "Udah minum semalem."

"Tadi pagi, maksud lo," kata Felix meralat.

"Hm..." Andre mengangguk.

Andre merasa kepalanya semakin berat, akhirnya dia memutuskan untuk membaringkan kepalanya di atas meja makan. Tangannya bersinggungan dengan lengan Nay.

Nay merasa kaget, ketika tangannya Andre menyentuh tangannya. Hawa tubuh Andre lebih hangat dari biasanya. Dia langsung menoleh pada Andre.

"Sorry!" kata Andre pelan. "Ga sengaja."

Nayla diam saja.

"Gue jalan duluan kali ya, kasihan Andre sakit. Dia butuh istirahat," kata Felix.

"Iya, bener," kata Dimas. "Jadi, jam berapa lo mau jalan?"

"Ya seberesnya kita aja," kata Felix. "Gue lihat barang-barangnya Andre juga udah siap."

"As always," gumam Dimas yang hafal betul tingkah Andre. Andre tidak pernah membiarkan barang-barangnya berantakan, terutama ketika sedang pergi menginap di tempat yang bukan rumahnya.

Beberapa jam kemudian, mereka pamit kepada Ari dan Sandra yang rencananya baru akan pulang setelah makan siang. Begitu masuk ke dalam mobil Felix, Andre tidak sanggup menahan kepalanya yang sakit. Dia langsung memejamkan mata saat mobil Felix melaju, membawa mereka kembali ke rumah masing-masing.

Bahkan Nayla pun tidak protes ketika kepala Andre jatuh di atas pundaknya. Beberapa saat Nayla hanya diam. Tapi rasa ingin tahunya membuat tangannya meraba dahi Andre. Nayla tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.

"Ini sih bukannya masuk angin," kata Nay. "Dia demam. Badannya panas banget."

"Gimana nih? Dia tinggal sendiri. Ga ada yang ngurusin," kata Felix.

"Biar gue aja yang nemenin dia." Nayla sendiri juga tidak tau apa yang membuatnya berkata demikian. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Mobil hening seketika mendengar kata-kata Nayla.

"Lo serius, Nay?" tanya Sisqa. Nayla memutar bola matanya, kesal dengan pertanyaan itu. Siapa lagi yang bisa ngurus dia kalo bukan gue? Kan kalian semuanya pacaran! Nayla membatin.

"Lo ga berniat ngeracunin Andre kan?" timbrung Felix.

"Oh, harus ya?" Nayla balik bertanya. Felix menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selain mendapatkan sindiran dari kata-kata Nayla barusan, dia juga harus menerima lirikan kesal dari Sisqa yang duduk di sebelahnya.

"Bukan gitu maksudnya Felix, Nay. Tapi ... ya lo tau sendiri kan hubungan lo sama Andre yang ... yang ... hm ... ga akur." Sisqa susah payah menyelesaikan kalimatnya dan memilih kata-kata yang tepat. Pacar selalu dibela terus, Nayla menghibur dirinya dalam hati.

Musikalisasi Rasa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang