FRTR-22-Melting

16.3K 1.5K 100
                                    

Selamat membaca♥

FRTR-22-Melting

Sudah pukul delapan malam, tidak terasa Rain jatuhnya betah di sini. Pertamanya dia memang mendumel, karena hujan yang turun, tidak kunjung reda. Tapi sekarang, rasa kantuk melandanya, hingga ia tak sadar jika rumah Ron tak kunjung ia tinggalkan. Ia tak merengek lagi minta pulang, ia diam, dan mulai meringkuk di sofa, seperti anak kucing yang menunggu tuan rumahnya kembali. Pemandangan ini, begitu meneduhkan hati Ron.

Pria itu sedang diam; menyangga kepalanya dengan tangan, dan sesekali ia tersenyum memandangi setiap perubahan ekspresi wanitanya. Kemudian, imajinasinya menjalar ke masa depan yang ia inginkan.

Rumah ini, rumah yang akan dihuni oleh mereka, bersama dua atau tiga anak cantik atau tampan, dan hidup bersama; bahagia selama-lamanya.

Andai semudah itu, sayangnya hidup ini tak semulus pipinya Lee Min Ho.

Ron bersandar nyaman di punggung sofa; matanya masih tak lepas dari Rain, dan wanita itu mulai merasa risih, saat ia kembali membuka matanya.

"Apa liat-liat?" katanya ketus, seraya mengucek-ucek kedua matanya.

Mengetahui kalau curi-curi pandangnya ketahuan, Ron berdeham grogi. "Siapa yang ngeliatin," jawabnya, bak cowok ABG yang kepergok jadi secret admirer.

Berdua dengan Rain, suasana di sekitar Ron, serasa berubah menjadi merah jambu semua.

Eh, sial. Kenapa Ron mesti malu-malu nista begini?

"Emang enggak boleh ngeliatin calon istrinya sendiri?" ralatnya, berharap pipi Rain akan merona, tapi nyatanya yang ia dapatkan adalah lemparan bantal ke arahnya.

"Auah gelap!" Rain, kapankah hatinya akan lumer seperti keju yang dipanaskan?

Apa perlu dipresto? Agar perasaannya segera melunak untuk Aaron Harjosuwarno?

Rain mengambil tas serta serta ponselnya. "Aku tidur di mana?"

Ron yang baru saja meneguk gelas kopi ketiganya, menunjuk ke lantai dua. "Kamu tidur di kamarkulah."

Saat Ron menyuruh Rain tidur di kamarnya, jantung wanita itu berdegup kencang.


"E ... a ... apa?" Gagapnya Rain tahu-tahu kambuh, karena rasa malu serta berdosa, kembali menyapanya.

Kamar; sebuah tempat yang memulai semua ini - bagaimana takdir membuatnya harus mengikat janji cuci sehidup semati, nantinya bersama lelaki di hadapannya ini.

"Kenapa?" Ron tidak peka dengan apa yang Rain pikirkan, pria itu berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Enggak jadi," ujar Rain, "Aku pulang aja."

Pulang?

Ron takkan membiarkannya pergi. Jadi, ia cekal tangan Rain, dan bertanya, "Kok tiba-tiba pulang? Bukannya tadi tanya tidur di mana?"

Ia sedikit mengeratkan cekalannya, dan memgembuskan napas lelah.

"Kenapa berubah lagi? Kamu takut sama aku?" tebak Ron.

Rain tidak menjawab, dan ia juga tidak mau melihat mata Ron, ia sibuk mengedarkan pandangannya asal-asalan.

Ron akhirnya melepaskan pegangannya. "Ada kamar tamu."

TAG [ 2 ] : From Rain To RonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang