FRTR-37-It Hurts

12.2K 1.3K 44
                                    

Updatenya nggak sempet cek typo, semoga nggak ada sih😂

Happy reading😚

Oh iya jangan lupa komen, awas kalo kagak, ngaret lagi nih😳😳 *ceritanya sok ngambek unyu² nista🙋

FRTR-37-It Hurts

Tidak ada hal yang lebih mengejutkan saat Ron tidak menemukan istrinya di rumah, apalagi saat dia tahu jika Rain sama sekali tidak mengiriminya pesan apa pun; ke mana dia pergi dan untuk apa. Ya, untuk apa gunanya dia sebagai suami? Entahlah, tadinya Ron pulang dengan berpuluh-puluh kali senyuman di wajahnya, sambil membawa makanan kesukaan Rain yang dia hafal sejak kecil, blackforest, tapi saat dia melihat bahwa rumah mereka dalam keadaan kosong, Ron langsung melajukan mobilnya kencang tanpa peduli jika kue manis itu disemuti di meja kalau ditinggal terlalu lama. Ron lebih peduli soal hubungannya dengan Rain, jika mereka marahan terlalu lama, apa kabar pernikahan yang baru berlangsung kemarin itu?

Ron memukul setir mobilnya. "Nggak dijawab lagi," katanya yang sedang mencoba mengubungi ponsel Rain, tapi bagaimana mau dijawab, ponsel itu ditaruh di nakas, di kamar perempuannya, di rumah orang tuanya.

Rain akan lari ke mana? Kalau bukan pergi ke tempat yang membuatnya merasa lebih diterima? Bukan tempat yang asing, yang membuatnya merasa cuma sendirian di sana.

Rain memutuskan untuk lebih asyik membantu Miranda membuat donat, karena dia juga yang minta, sekaligus sebagai alasan palsu mengapa Rain tahu-tahu kembali ke sini, ketimbang memikirkan Ron sedang berbuat apa dengan siapa pula.

Kembali kepada Ron, dia baru sadar kalau dirinya tidak memiliki kontak teman-teman kuliah Rain, berhubung mereka juga tidak tahu soal pernikahannya. Ron memukul setirnya lagi dengan kebingungan yang melanda. Tolong, tambahkan, Rain lagi hamil, pergi malam-malam sendirian, dan biarpun dia sudah dewasa, tetap saja wanita itu sedang mengandung anaknya!

"Ya Tuhan!" Ron tiba-tiba menepikan mobilnya saja, ketimbang dia menyetir dalam keadaan emosi.

Kenapa sih, cuma dirinya yang harus bersabar? Ketika Rain tidak punya sifat itu; untuk menunggunya membuka diri, karena membagi sesuatu yang buruk itu tidaklah mudah. Seperti mengerok kulit yang bertato dengan benda tajam, atau menyembur seseorang yang sedang kesurupan menggunakan air doa.

Buang dan lepaskan, Ron tidak boleh emosi lebih panjang, dia ingat bahwa ini semua adalah keputusannya juga, menanti agar Rain mau berpaling kepadanya lagi. Dia tahu, ini karma baginya, karena saat dahulu, dialah yang seakan telah membuang wanita itu.

Anak kecil itu.

Di saat hujan turun melanda Jakarta, seperti saat ini. Ron menengok ke luar kaca jendela, gerimisnya semakin deras, dan kecemasannya pun semakin bangkit dengan membara.

"Ah, rumah?" Ron baru saja menenangkan pikirannya, maka dia punya dugaan lain, di manakah istrinya berada sekarang.

Ron nyalakan lagi mesin mobilnya. "Please ada di rumah, jangan bikin aku geledah semua penjuru Jakarta cuma buat menemukan kamu, Rain," katanya, serius.

Dia sayang calon anaknya, dan dia juga mencintai istrinya. Apa yang paling susah di dunia ini selain mendapatkan lotre berhadiah milyaran? Yaitu ketika kamu ingin dicintai oleh orang yang bahkan sudah berkata bahwa dia tidak mencintaimu. Itu sulit, amat sulit.

~°°~

"Baru aja semalem mamah mimpiin kamu yang dulu lari-lari di rumah nggak pake popok," kata Miranda sambil mengaduk-aduk adonan bagiannya.

Rain tertawa. "Kenapa harus mimpi yang itu sih, Mah? Mimpiin Rain yang udah gede kenapa sih...."

"Kan bagi mamah, kamu tuh kecil terus, kayak anak kecil yang dikit-dikit; mah... Rain ini... Rain itu...," tutur Miranda, "Nanti juga pas kamu punya anak, kamu bakal ngerasain apa yang mamah rasain."

Di sinilah, Rain memelankan tawanya yang mulai berganti dengan seulas senyum tipis. "Iya... aku bentar lagi punya anak." Dan saat Miranda mendengarnya, dia mengangguk.

Sejujurnya, dia tidak sedang membuat pernyataan, tapi sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Waktu terasa bergulir terlalu cepat, banyak hal yang masih dia ingin lakukan, tapi tidak ada seorang pun yang bakal tahu; apa yang akan terjadi esok hari, kecuali orang itu punya indera keenam.

"Udah siapin nama belum sama suamimu?" tanya Miranda, dan dia telah membuat Rain kembali ke kenyataan, dari dalamnya pemikiran tentang penyelasan.

Kayak orang linglung, Rain menyahut, "Hah? Nama?"

"Iya nama, nama baby kalian," kata Miranda, "Oh iya, dan jangan lupa nanti kalo mau USG, fotonya kasih liat mamah, biar tau, cucu mamah itu cowok apa cewek."

Di dapur hanya ada mereka berdua, tapi rasanya saat membahas tentang masalah bayi dan pernikahan, hanya Miranda yang semangat sendirian. Namun Miranda tak ambil pusing, dia berpikir jika Rain lelah saja, mungkin, sehingga nadanya datar-datar saja saat diajak bicara. Namanya juga ibu hamil, kan suka muntah-muntah.

"Belum sih, Mah...," jawab Rain yang melirih, "Bisa nanti, kan? Mak ... maksudku kita belum tentu tahu dia bakal lahir apa enggak." Rain tertawa garing.

Tadinya Miranda akan semangat lagi, karena dia punya beberapa nama yang muncul di otaknya, tapi saat dia mendengar ucapan anaknya tadi, dia segera berhenti mengaduk adonan. "Sebentar. Kamu bilang apa tadi?"

Rain juga, dia tidak lagi membuat bolongan di adonan yang sudah jadi dan dia bentuk bulat-bulat. "Ya kan ... sembilan bulan itu lama loh, Mah. Banyak hal yang terjadi-"

"Diam mulut kamu, Rain," kata Miranda dengan tegas. "Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu tentang anak kamu sendiri?!"

"Mah .... Mah? Rain kan cuma ngomong dan ... aku juga nggak ada maksud apa-apa," jawab Rain, yang tahu apa arti sorot mata Miranda sekarang-marah, jelas!

Ucapan Rain barusan ambigu sekali. Dia seperti tidak punya minat agar anak yang sedang dia kandung, tidak akan lahir ke dunia ini. Ibu macam apa dia? Dan....

Istri macam apa dia?! Pantaskah dia berbicara seperti itu, di saat, di luar sana banyak pasangan yang baru bisa mempunyai anak setelah bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai tidak bisa memilikinya?

Lalu, tadinya, saat Ron sampai di rumah ini, dia hendak membujuk Rain untuk mengajaknya berbicara dari hati ke hati tentang hal-hal jelek apa saja yang pernah Ron lakukan sebelum dia beristri. Tapi tidak ada yang lebih mengerikan daripada bahasan Rain dengan Miranda yang tifak sengaja di dengarnya. Dia ada di dekat pintu masuk menuju dapur.

Ron memegangi dadanya. "Ini ya yang namanya sakit, tapi nggak berdarah," katanya, yang tidak tahu, harus dia apakan Rain setelah ini.

"Apa kamu masih belum bisa menerima Ron, Rain?" tebak Miranda, dengan instingnya sebagai ibu. "Sebagai suami?"

Rain menundukkan kepala, merasa tidaklah mudah untuk menjawab semua pertanyaan dan menanggapi perkataan-perkataan ibunya. "Maybe, Mah. Di rumah ... baru sebentar aja, saat nebak-nebak, dia nggak ngabarin aku sampe sore, bahkan malam ini, dan dia nggak tau lagi ngapain atau sama cewek yang mana...."

Rain mendongakkan kepalanya. "Aku ngerasa... sakit yang ... yang berdarahnya di dalam, dan enggak tahu karena apa."

"Aku ... ini kenapa sih, Mah?" Giliran Rain yang memegangi dadanya sendiri.

Miranda mengedipkan matanya sekilas. "Kamu terlalu lupa banyak hal Rain. Kamu ... kamu nginap aja di sini ya? Maaf, tadi mamah kayak bentak kamu, maaf," ucap Miranda yang mendekati Rain dan membawa anaknya masuk ke dalam pelukannya.

Ron yang belum beranjak dari tempatnya, mendadak melupakan ungkapan rasa sakit yang sama seperti Rain. "Nginap?"

Lelaki itu membuat rencana yang mungkin berguna bagi kelangsungan perasaan dan tantangan; mencoba mencintai Ron dari Rain.

~•••~

TAG [ 2 ] : From Rain To RonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang