FRTR-34-He Won't Tell A Soul

12.9K 1.3K 89
                                    

Akhirnya bisa apdet😁

FRTR-34-He Won't Tell A Soul

Rain sedang berdiri di depan jendela, dengan tangan yang memegang secangkir cokelat panas untuk bisa sedikit menghangatkan dirinya, karena di luar sana sedang turun hujan. Ini adalah hari pertama, usai dia telah sukses menyandang nama keluarga lain di belakang namanya. Jika dulu, Rain pun sangat getol memimpikan nama belakangnya berubah jadi Harjosuwarno, maka sekarang, semuanya berbeda, karena pangeran impannya juga tidak sama. Pangeran Rain yang sudah memasangkan cincin kawin emas di jari manisnya adalah pria bertato; yang baru saja turun dari lantai dua sambil bersiul-siul.

"Rain! Ayo kita jalan-jalan ke luar!" Ron punya banyak rencana untuk membahagiakan istrinya di dalam kepalanya, yang satu-persatu akan dia wujudkan.

Ron sudah tampil lebih keren, menggunakan kemeja cokelat tua, yang dipadu celana jins kekinian. Dia sudah siap pergi sekali, sementara dilihatnya kalau pukul sepuluh pagi ini, Rain masih saja mengenakan pakaian yang sama seperti saat mereka sarapan pagi.

Rain menengok malas. "Hujan di luar. Ngapain?" katanya, lalu kembali melihat ke luar jendela.

"Lah? Perasaan tadi sebelum mandi, cuaca masih cerah," ujar Ron yang berkacak pinggang sambil mendekati istrinya.

Jika menganggap Ron akan kecewa, melihat istrinya tidak suka berdandan, atau apa pun itu, maka salah. Selama Rain nyaman, maka itu tak masalah kalau selama seharian, Rain berkeliaran di rumah dengan piyama Spongebob Squarepants. Hal itu malah, makin membuat Ron merasa gemas, dan ingin merengkuh wanita itu dari belakang. Namun dia sudah tahu, bahwa segala sesuatunya; step by step.

"Kakak tuh mandinya sejam, ya makanya liat-liat udah ujan aja," jawab Rain yang pindah posisi saat Ron sudah hampir mendekatinya.

Ia duduk di sofa ruang tengah, dan menyalakan televisi. "Kalo Kakak mau keluar, ya keluar aja. Nggak usah ajak Rain juga nggak apa. Rain lagi ogah ke mana-mana juga."

Bawaan baby, Rain yang biasanya doyan ke mana-mana, malah tidak ada bosannya tinggal di dalam rumah dan melakukan hal-hal yang monoton.

Mendadak Rain ingat satu hal, dia pun menoleh ke belakang, dan melihat Ron berdiri di jendela menggantikannya. "Emang Kak Ron nggak kerja? Ke kantor?"

Tanpa membalikkan badan, karena Ron sibuk memperhatikan sebagaimana derasnya hujan di luar, ia menyahut, "Enggak. Kan udah ada staff di sana. Aku kan udah nggak jualin properti sendirian, udah punya kaki tangan di mana-mana."

Ah, pengangguran tapi banyak duitnya.

Rain mengangguk-anggukkan kepala, Ron memang terlihat begitu terlalu santai menjalani hari-harinya. Dia bekerja, namun sudah bisa di belakang layar saja.

"Terus, Kak Ron kalo nggak ngantor. Seharian ngapain aja?" Rain mulai mengorek-korek kehidupan suaminya, ya, dia sedang mencoba memaksa dirinya untuk cepat-cepat beradaptasi.

Ron refleks tertawa kecil, saat dia menemukan jawaban atas pertanyaan dari istrinya. "Oh itu... main ke rumah ceweklah, apalagi...."

Rain mengulangi jawaban Ron di dalam kepalanya, begitu pula dengan pria itu, yang hanya mengikuti ke manakah alur perbincangan ini mengarah.

"Eh! Bu ... bukan gitu maksudnya...." Ron melihat Rain sudah tidak lagi menunjukkan wajah santainya, tapi senyum sinis segera terbit dari sana.

"Wah," Rain berdecak. "Antimainstream banget ya tempat mainnya, mainannya juga. Hebat." Ia bahkan sampai bertepuk tangan, tampang yang penuh dengan kesarkasan.

Rain kembali menonton televisi, dan dia menekan tombolnya dengan agak emosi. "Acaranya jelek banget! Mana nih yang bagus?!" Ia memang menggonta-ganti saluran televisinya dengan cepat, meluapkan kedongkolan yang langsung muncul saat mendengar jawaban spontan dari suaminya.

"Itu kan dulu Rain! Seriusan!" Ron melangkah menuju sofa yang Rain duduki, berniat membenahi tafsiran jelek yang kemungkinan Rain bentuk di dalam kepalanya.

Tapi saat Ron sudah ada di sebelahnya, wanita itu menggeser posisi duduknya, dan mengambil bantal untuk membuat pembatas antara dirinya serta Ron sekarang. "Siapa yang bisa jamin, Kak."

Ron menggapai tangan Rain. "Detik ini yang jamin. Kan aku milik kamu sekarang...."

Hanya saja, Rain sedang tidak mau dipegang tangannya dengan leluasa, bahkan oleh suaminya.

"Rain!" seru Ron yang ingin agar Rain mau melihat wajahnya, meski tangannya tak bisa dia dapat. "Liat sini dong. Aku tuh jujur, udah nggak sama siapa-siapa lagi, sejak aku sama kamu ngelakuin itu," tutur Ron, yang sudah jujur.

"Ya, Kakak juga udah pernah bilang kayak gitu," balas Rain, dia sudah berhenti menggonta-ganti saluran televisi semaunya.

"Nah itu. Inget," Ron rada lega. "Aku udah janji, sehidup semati kemarin, di depan semua orang, bahkan sama Tuhan, dan tentu aku mau berubah kok demi kamu, juga demi anak kita."

"Jadi percaya ya, percaya?" lanjut Ron dengan penuh permohonan.

Meski memang, mereka berdua telah mempunyai ikatan yang kuat. Tapi sungguh, sulit bagi Rain untuk menerima masa lalu suaminya, dengan wanita-wanita di luar sana. Bisa saja, mulut berkata; tidak lagi, tapi hati; mau aja lagi-lagi.

Rain tetap tidak mau tangannya diraih, tapi dia ingin bertanya lagi; "Then tell me. How many girls did you already sleep with?"

Jika sebelumnya adalah pertanyaan tingkat empat dari sepuluh, maka yang ini adalah tingkat kedua, dari pertanyaan mengerikan yang terlontar dari keingintahuan Arraine Harjosuwarno.

Ron terdiam. Lidahnya terasa kelu, dan ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya. Tangannya tak lagi mencari-cari tangan Rain, tapi sudah kembali ke tempat yang semestinya. Haruskah dia jawab, di saat rasa malu itu kembali datang; seperti menghantamnya dari belakang?

Rasa malu, dan bersalah karena telah sempat menjalani masa lalu kelam dengan penuh kesadaran dan kebanggaan, sehingga Ron tidak lagi mampu membalas tatapan Rain yang menantikan jawabannya.

Satu, dua, dan tiga. Ron masih saja membisu, dan sudah berapa kali hitungan yang Rain ucapkan di dalam hatinya.

Ron menoleh ke meja, dan dia menemukan kunci mobil di sana. "Maaf, aku baru ingat. Hari ini, ada klien yang harus aku temui sendiri, yang nggak bisa pakai staf."

Pria itu melarikan diri, dengan begitu banyak kekecewaan yang dia tinggalkan bersama Rain sekarang.

"Kenapa nggak ada acara yang bagus lagi!" pekik Rain, yang masih bisa Ron dengar, bahkan suara bantingan remot.

Ron belum bisa menceritakan segalanya, padahal dia berpikir, bahwa dalam sebuah pernikahan, kejujuran adalah pondasinya juga. Tapi untuk bisa jujur, ternyata sulit.

~•••~

😢😢😢

TAG [ 2 ] : From Rain To RonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang