FRTR-25-Killing Time

14.3K 1.5K 115
                                    

FRTR-25-Killing Time

Bagi Ron, ia tak peduli seberapa mahal biaya pernikahannya nanti, karena acara seperti ini hanya ingin ia lakukan sekali dalam seumur hidup. Jangan, jangan berdoa agar sebuah pernikahan bisa langgeng sampai kakek-nenek, tapi yang benar adalah sampai maut memisahkan. Karena jika hanya sampai kakek dan nenek saja, ada kemungkinan lewat doa itu, sepasang suami istri bisa bercerai. Amit-amit kalau Ron akan mengalami hal seperti itu. Kini pria itu membawa sebuah paper bag kue cokelat. Melalui makanan manis itu, ia bermaksud meminta maaf karena tidak bisa membuatkan makanan yang enak untuk Rain pagi tadi, dan juga karena harus meninggalkan Rain di rumah sendirian, demi gaun pernikahan.

Ron menutup mobilnya, ia berjalan seraya bersiul-siul senang, dan kini ia sudah membuka pintu rumahnya. Ia menorehkan senyum di wajahnya, kala ia melihat Rain sedang duduk di sofa, menonton televisi.

"Hai," sapanya, dan Rain langsung menoleh ke sumber suara berat itu.

Seperti kaget melihat hantu, itulah ekspresi Rain saat melihat wajah semringah Ron.

"Kak Ron! Ngagetin!" seru Rain, yang jantung jadi berdebar kencang.

"Kamu ngelamun ya?" Ron menertawai ekspresi wanitanya yang terkesan menggelitik baginya.

"Enggak," Rain menunjuk layar televisi yang menampilkan FTV, "Aku lagi nonton berita."

Ron mengikuti ke mana telunjuk Rain terarah, seiring langkahnya yang hendak bergabung bersama Rain di sofa cokelat tua. "Itu FTV Tukang Terong vs Tukang Cabe, bukan berita ih...."

Kedua kelopak mata Rain berkedip cepat berbarengan, dan menengok ke tontonan itu, dan ia baru sadar, kalau ia sudah menunjukkan kebodohannya. "Ya ... itu udah ganti berarti."

Ron sudah sampai di sofa, ia duduk di sebelah Rain dan meletakkan sekotak brownies itu, sekaligus dompet serta ponsel pintarnya.

"Ih kue," ucap Rain, yang berbinar-binar melihat makanan manis tersebut.

"Kamu suka? Makan gih, yang banyak, aku mau ke atas dulu, ambil tab," balas Ron, yang bisa dengan santainya mengelus puncak kepala Rain sekilas, tanpa perlu pusing-pusing memikirkan persetujuan pemiliknya.

"Ngap-" Rain bersiap mencak-mencak, karena sentuhan Ron yang mendadak, tapi tidak jadi ia lakukan, usai mengulangi perkataan Ron di kepalanya.

Tab?

Tab?!

Di dalam tab itu, ada banyak foto dirinya, yang ia sendiri tidak tahu diambilnya kapan.

Ron sudah meninggalkan Rain sendirian di ruang tengah, dan mata Rain tertarik dengan ponsel calon suaminya. Pikiran untuk mengorek tentang Ron, hadir lagi, atau lebih patut disebut pemikiran buruk akan kelakuan Aaron Harjosuwarno. Di tab memang hanya diisi fotonya, dan juga foto-foto rumah yang berhubungan dengan pekerjaan, kalau di ponsel Ron, kira-kira ada apa saja?

Ponsel Ron terlihat seperti memanggil-manggilnya untuk diperiksa, dan tangan Rain sudah sangat ingin melakukannya. Ia sempat beberapa kali menengok ke belakang, takut-takut Ron muncul dan malah menuduhnya menganggu privasinya.

Shit. Terserah!

Rain sudah memegang ponsel Ron, bagaikan memegang sebuah benda yang rapuh, yang harus ia lindungi dengan nyawanya.

Amat disayangkan, saat ia tekan tombol volumenya agar layarnya menyala, ponsel Ron harus dibuka menggunakan kode angka.

Baiklah, selain Rain ingin melempar masa lalu percintaannya yang buruk itu, sekarang dia ingin melempar ponsel Ron jauh-jauh, entah mengapa dia kecewa.

Lockscreen wallpapernya adalah foto selfie Ron sendiri, bukan dirinya.

"Narsis," gumam Rain, ia kembalikan ponsel Ron ke atas meja.

Namun, sepertinya Rain memegang ponsel Ron untuk kedua kalinya, saat ada panggilan masuk, yang harus dijawab.

Kenapa harus? Karena di situ, tertera nama seorang perempuan.

Rain mendelik.

"Ini bukan ganggu privasi kan?" Tangan Rain sedikit lagi akan mengenggamnya.

Sangat disayangkan, ia keduluan tangan Ron yang lebih gesit mengangkatnya. "Halo?"

~°°~


Di dalam mobil, senyum Ron tak kunjung menghilang sepanjang perjalanan. Seusai Ron menjawab telepon tadi Ron langsung menyuruh Rain berkemas karena ia akan mengantarnya pulang, ia pun dengan sengaja menelepon agak jauh dari tempat Rain berada. Rain tak tahu siapakah penelepon itu, karena ia terlampau gengsi untuk bertanya.

"Kak Ron obatnya abis ya?" Rain sedang menyindir, karena dia gerah, demi otaknya Patrick yang sempat tertukar, dia tidak suka senyum Ron saat ini.

"Obat apaan?" Ron hanya menengok sekilas.

"Gak jadi." Rain tampak ngambek, dia bersandar ke kursi, dan bersedekap dada.

Benar. Benar ada wanita lain, selain dirinya. Rain tersenyum getir, Ron dan Leon sama saja, keduanya sama-sama brengsek. Leon menghamili seorang wanita, dan Ron, apakah hanya Rain saja yang dia hamili?

"Kak, masih suka dugem?" Tiba-tiba Rain mempertanyakan hal itu.

Ron menjawab apa adanya. "Kadang, kalo suntuk. Tapi, aku usahain enggak lagi-lagi kalo diajak."

"Emang ada yang ngajak? Siapa?" tanya Rain lagi, dengan pandangan yang menatap jendela mobil, ia melihat Ron dari pantulan saja.

"Klien, teman, kenalan, iseng," jawab Ron sambil menerawang, siapa sajakah yang biasa mengajaknya keluar untuk minum-minum.

"Waktu ... yang malam itu, Kak Ron sama siapa?" Rain mengingat, malam sialan itu.

Malam di mana untuk pertama kalinya Rain menjejakkan kakinya di diskotik, dan sebentar lagi akan melangkahkan kakinya ke jenjang pernikahan.

"Sendiri, buat senang-senang aja," sahut Ron lancar.

Mobil hitam itu berhenti di lampu merah..

"Oh, berarti, aku ... juga bagian dari waktu bersenang-senang itu ya, Kak?" ucap Rain, yang merasakan jika dadanya serasa diremas saat ia mempertanyakan hal itu.

Buat senang-senang saja, yang artinya tak berarti lebih dari pengisi waktu luang saja.

Tadinya Ron sedang menggumamkan lagu, tapi ia berhenti seketika.

"Tadinya," jawabnya, dengan nada dingin.

Jawaban yang semakin menghancurkan kesiapan mental Rain untuk menikah, jawaban yang membuatnya menyesal karena berani bertanya tentang alasan Ron sering mendatangi klub-klub malam.

Suasana jadi hening, Ron kembali konsentrasi menjalankan mobil.

"Makasih, udah buat aku terbang, dan jatuh lagi," kata Rain, yang membuang pandang; tak lagi mencermati bayangan Ron yang ada di kaca.

"Harusnya aku yang makasih, karena kamu ada di diskotik waktu itu, bukan wanita lain," timpal Ron, sebelum menepikan mobilnya.

Ron melepas sabuk pengamannya, dan Rain hanya mampu memperhatikan seraya menelaah kalimat Ron barusan.

"Aku mau turun di sini, kamu nyupir sendiri sampai rumah," kata Ron, tanpa mau memandangi Rain, sambil tangannya mengantongi dompetnya.

"Kak Ron ... mau ke mana?" tanya Rain, usai memberanikan diri untuk menegur Ron, sebelum pria itu benar-benar pergi.

"Cari makan, karena aku tau. Berjuang sendirian, juga butuh tenaga," Ron tersenyum tipis, kemudian ia meninggalkan Rain yang terdiam - sendirian.

~•••~

Huahaha....huahaha....hahaha...huahaha.... *buang ingus pake jaketnya Ron*

Komen? 😢

Maybe, dua part lagi, baru ada adegan nikah😏

TAG [ 2 ] : From Rain To RonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang