Happy reading, kutunggu Vommentnya😚
Bau-bau pengantin baru ya....😜
FRTR-32-Last Longer
Acara nikahan yang digarap mendadak, untung saja khidmat, sederhana, namun membekas di ingatan keluarga keduanya; akhirnya sudah selesai. Sekarang pun, sudah bisa ditebak Rain akan diboyong ke mana oleh Aaron - suami sahnya.
S-A-H
L-E-G-A-L
H-A-L-A-L
Uuh, Ron senang sekali.
Arraine Anindya Asthama, resmi menjadi Nyonya Aaron Dean Harjosuwarno.
Rain sudah berganti dengan gaun biasa, dan sepatu flat kesayangannya. Ia sedang dipeluk oleh Miranda yang masih berat hati untuk melepas anaknya, guna mengikuti di manakah suaminya akan tinggal.
Pamit sama keluarganya Ron udahan, sekarang lagi sesi sedih-sedihan sama keluarga pihak perempuan.
"Nggak kerasa ya, akhirnya hari ini datang juga," ucap Miranda, entah mengapa, bayangan saat-saat Rain kecil, melintas begitu saja di benaknya.
Esok hari, anggota keluarga yang ikut sarapan pagi, harus berkurang satu.
Arya mengangguk, dia berdiri tak jauh dari mereka, dengan satu tangan ada di kantong celana. "Arya juga. Nggak nyangka aku dilangkahin."
Rain tersenyum tipis menanggapi sindiran kakaknya itu, di saat Tama masih saja menatap Ron dengan ketegasannya.
"Jaga anak saya, awas saja kalo dia sampai kenapa-kenapa," katanya penuh keseriusan. "Habis kamu di tangan saya."
Mendengar itu, Miranda langsung menimpali, "Hush! Pah! Udah pasti Ron bakal jagain anak kita."
Ron yang berkemeja abu-abu mengangguk kaku. "Iya, O... Om... Pah, saya pasti jagain Rain."
"Siapa suruh kamu panggil saya pake 'Pah'?" Ini ayah mertua, jelas belum sreg sama mantunya, sampai-sampai nyali Ron menciut untuk bersalaman dengannya nanti.
"Pah!" Miranda mendelik. "Ron udah jadi anggota keluarga kita. Menantu kamu masa kamu-"
"Saya belum siap dipanggil 'Pah', kalo 'kakek' mah nggak usah ditanya," potong Tama, yang bersikukuh bahwa; belum saatnya dia mau untuk dipanggil 'Papah' oleh Ron, atau panggilan sejenis lainnya.
"I ... iya." Ron bisa apa? Selain menerima semuanya dengan lapang dada?
Setelah Miranda melepaskan pelukannya dengan Rain, mereka pun berpamitan, salaman, cipika-cipiki, dan akhirnya mobil Ron sudah mulai meninggalkan rumah berlantai dua itu.
Rain sudah memiliki kehidupan baru, yang mau tidak mau, harus dia jalani.
Lalu saat di dalam mobil, keadaan hening menyergap. Rain tidak ada topik apa pun untuk dibahas, sementara Ron hanya sedang menahan senyumnya, setiap kali dia melihat cincin emas itu melingkar di jari manis istrinya. Tidak ada kebahagiaan yang bisa disetarakan dengan hari ini. Rasa-rasanya, Ron pun mulai ingin menggenggam tangan itu dan mengecup punggungnya, perlahan dia memberanikan diri untuk melihat pemandangan lainnya yang tak kalah istimewanya.
"Capek?" tanya Ron.
Rain mengangguk.
"Laper?" Ron lagi yang bersuara.
Rain menggeleng.
"Emang tadi kamu udah makan? Perasaan dari tadi aku nggak liat kamu makan deh," kata Ron sambil mengingat-ingat.
Dia merutuki kebodohannya. Kenapa dia tidak memberikan makanan saat tahu jika sang istri habya banyak minum saja?
"Udah kok. Udah tadi, makan ati," jawab Rain yang tidak menoleh sama sekali.
"Lah? Perasaan aku nggak pesan katering yang ada atinya." Ron lagi oon mode on.
Maksud Rain adalah, dia makan ati dengan takdir dari Tuhan yang tidak dia inginkan sama sekali.
"Ini baru jam sembilan, pasti masih ada restoran yang buka. Kamu mau makan lagi nggak? Ibu hamil butuh banyak gizi," kata Ron, yang semangat sekali untuk menjalani hari-hari sebagai calon ayah.
Rain mendesis. "Kak Ron nyetir aja yang bener. Cepet sampe rumah, terus aku mau tidur. Ngantuk nih!"
Kayak rada membentak, Rain sama galaknya seperti Tama, jadi Ron menghela napas. "Ngomong yang pelan bisa nggak sih? Aku itu nggak tuli Rain. Kalo kamu tidur, ya tidur aja, nanti aku tinggal gendong kamu ke kamar. Jangan anggap remeh suami kamu ya."
"Yakin kuat?" Rain melirik. "Aku mulai gendut tau. Nanti apalagi pas perutnya tambah gede. Gendut, jelek, terus kalo di rumah makan tidur doang, ada jerawat, nggak dandan. Istri Kak Ron nanti kayak gitu."
Maunya Rain adalah, setidaknya Ron itu illfeel setelah mendengarkan penjelasannya. "Nggak pa-pa, mau gendut, jelek, yang penting dia mau aku cintai."
Barulah Rain menengok sepenuhnya. "Cintai apa sukai? Keduanya beda loh. Suka itu cuma sebentar, kalo cinta... Kak Ron yakin bisa?"
Tangan kanan Ron terulur untuk memegang puncak kepala Rain, dan mengelusnya dengan lembut. "Apa salahnya mencoba?"
Kemudian, tangan Ron berpindah untuk mengenggam tangan kiri Rain, sambil matanya tetap tertuju ke arah jalan raya.
Rain mendelik, merasakan usapan di puncak kepalanya, yang berhasil membuatnya ingin marah, namun tetap tak ada sepatah kata pun yang terucap. Bukan marah, lebih tepatnya seperti ingin menangis, hanya saja, tak ada setetes air mata yang mampu dia keluarkan. Perasaan yang dia rasakan, sulit untuk digambarkan, tapi tak yakin kalau dia bisa lupakan.
"Jadi kamu nantang aku soal cinta-cintaan?" Ron menggenggam tangan Rain lagi. "Mulai hari ini, aku menantangmu untuk mulai saling mencintai satu sama lain. Entah saat pagi hari, malam hari, cuaca yang cerah, atau saat hujan turun dengan derasnya. Aku ingin jadi payungmu, dan kamu jadi selimutku. Dengar itu, tantangan, serta janjiku untukmu."
"Bohong nggak nih? Nanti kalo Kak Ron bohong, aku laporin Papah, biar Kak Ron dipecat jadi calon ayah dari cucunya," timpal Rain, sungguh sulit sekali untuk meyakinkan wanita ini.
Ron menarik tangan Rain, dan akhirnya keinginan Ron terlaksana juga; dia berhasil mengecupnya. "Kalo aku bohong, kamu bisa batalin rencanamu buat balik mencintaiku. Rain."
Satu hal yang tidak jadi Rain katakan kepada Ron, yang hanya dia simpan di dalam hati. Rasa suka itu hanya sesaat saja, tapi rasa cinta, it will stay last longer.
"Oke. Aku terima tantangannya." Jangan tarik kata-katamu, Rain.
~•••~
KAMU SEDANG MEMBACA
TAG [ 2 ] : From Rain To Ron
RomanceBukan cerita dewasa, tapi tetap saja cerita anjuran untuk 17+ #87 Roman Gimana sih rasanya jadi seorang cewek yang patah hati karena cinta pertamanya; diincar selama genap delapan tahun, tahu-tahu menghamili cewek lain? Sakit? Gak usah ditanya! Ter...