03. Sebuah foto

70 16 0
                                    

Hiroto membuka pintu rumah dan melangkah masuk. Rumah sangat gelap, tak ada satupun lampu di hidupkan. Tidak biasanya rumah gelap gulita. Biasanya setiap ia pulang, beberapa lampu didalam rumah sudah dihidupkan. Apa Arata lupa menghidupkan lampu?

Setelah menghidupkan lampu, Hiroto menuju kamar Arata yang juga masih gelap. Hiroto menekan saklar yang ada didekat pintu. Seketika seisi kamar terlihat dengan jelas saat lampu ia hidupkan. Tapi ia tak mendapati Arata ada didalam kamar. Pandangan Hiroto beralih ke arlogi hitam yang melingkar ditangannya. sudah jam 8 malam tapi Arata tidak ada dirumah.

Hiroto meletakkan tasnya di meja lalu mengambil ponselnya dan segera menghubungi Arata. Tak biasanya jam segini Arata belum pulang. Apa terjadi sesuatu pada Arata? Hiroto jadi khawatir.

Tuuttt.. Tuuuuttt..

'Nomor yang anda tuju tidak menjawab, silahkan hubungi beberapa saat lagi'

Hiroto mencobanya lagi, tapi tetap tidak dijawab oleh Arata. "Arata, kemana kamu?" gumam Hiroto khawatir.

Hiroto tidak tau harus menghubungi siapa. Ia tidak punya kontak teman-teman Arata. Kesekolahan pun pasti gerbang sekolah sudah tertutup. Apa mungkin Arata menginap dirumah temannya? Tak biasanya Arata pergi tanpa mengabarinya.

<==>

Arata membuka matanya yang sejak semalam terpejam erat. Ia mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Melihat-lihat ruangan yang terasa sangat asing baginya. Dahi Arata mengernyit, yang dia ingat dia pingsan di pinggir jalan, tapi kenapa sekarang ia ada didalam kamar? Dan itu bukan kamarnya.

Arata menyibakkan selimutnya dan hendak duduk, tapi tubuhnya terasa sangat sakit. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan juga pegal-pegal. Bibirnya juga terasa perih saat ia mencoba membukanya lebar-lebar. Efek pukulan Shori pada tubuhnya baru terasa pagi ini. Ia memegangi wajahnya yang sudah tidak memar seperti saat pertama kali dipukuli Shori. Tapi, sudut bibirnya masih meninggalkan jejak luka.

cklek...

Arata mengarahkan pandangannya ke pintu saat mendengar pintu terbuka. Ia terkejut melihat gadis yang mengenakan seragam sekolah yang kini berjalan menghampirinya.

Alina duduk di tepi ranjang. "Syukurlah kamu sudah sadar" ucap Alina tersenyum tipis. "Bagaimana lukamu? Apa masih sakit?" tanyanya.

"Daijoubu da! (Aku tidak papa!) Bagaimana aku bisa ada disini?" tanya Arata.

"Papa menemukanmu pingsan dijalan saat pulang kerja. Dia melihat seragammu sama denganku, dia berpikir aku mengenalmu jadi dia membawamu kemari." jelas Alina.

Arata mengalihkan pandangannya. Ia mengambil jas dan juga tasnya yang berada tak jauh dari ranjang. Lalu ia melangkahkan kedua kakinya.

"Kamu mau kemana?" tanya Alina.

"Apa aku harus menjawabnya? Aku rasa kamu tau aku mau kemana." jawab Arata sembari memakai jasnya.

Ponsel Arata berdering. Arata membuka tasnya dan menjawab telepon dari Hiroto.

"Aku dirumah teman, Aniki. Aniki tidak perlu khawatir. Nanti aku akan pulang." ucap Arata lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Bukan apa-apa. Ia tak mau Hiroto menanyakan banyak hal.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Alina berjalan mendekati Arata.

Arata menatap Alina dengan wajah yang datar. Ia tidak mengiyakan atau pun menolak perkataan Alina. Hanya diam.

"Kenapa kamu sampai babak belur? Apa ini ada hubungannya dengan perkelahianmu kemarin?" Tanya Alina dengan wajah serius.

"Aku berterimakasih, karna ayahmu mau menolongku. Tapi.... Kenapa aku seperti ini, aku rasa kamu tidak perlu tau." jawab Arata jutek.

Di Bawah Langit Berwarna SakuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang