Challenge Debut.
Syifa. 1123Paulls
Genre : Sad, Fantasy
Length : Ficlet
Simfoni Hitam
Malam ini salju turun lagi, membawa bayangan pria dengan rambut hitam pekat ke dalam bunga tidur Jessy. Dalam tidurnya, ia bergerak gelisah. Dahinya berkerut sangat jelas. Pelipisnya basah karena keringat dingin. Park Jimin, pria dalam mimpinya, lagi-lagi membuatnya seperti ini.
"Jess,"
"Jessie,"
Jessy tersentak dari tidurnya, nafasnya terengah. Ia mendengar seseorang memanggilnya dengan suara rendah. Remang-remang, Jessy melihat wajah pria yang tengah memegang keningnya.
"Kau demam, Jess. Kau bermimpi lagi?"
Jungkook, pria di hadapan Jessy, menatapnya khawatir.
Jessy meraih telapak tanganJungkook yang berada di keningnya. Kemudian, bangkit dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
Mulut Jessy terbuka. Samar-samar ia bersuara, "apa masih tidak ada kabar?"
Raut khawatir Jungkook berubah drastis. "Cukup, Jess. Hentikan!" geramnya.
Jessy mendongkak. Dalam diam, mata sayunya menatap manik mata Jungkook dengan tajam, cukup lama.
"Aku tahu kau menginginkan keabadianmu, tapi bukan seperti ini caranya."
Jessy menggeleng dan memutuskan tatapannya. "Aku harus mendapatkannya. Aku harus bertemu Jimin."
"Untuk apa? Siapa yang kau sebut Jimin?" tanya Jungkook sengit.
Jessy sedikit menggigit bibir bawahnya, telapak kakinya bergerak tak menentu di bawah selimut yang ia kenakan. Tangannya meremas ujung selimutnya. Klise, Jessy telah jatuh hati kepada pria bernama Park Jimin.
"Aku harus bertemu dengan Jimin," ulang Jessy.
Jungkook menghela nafas panjang. "Jessy Jane, berhentilah."
"Tidak. Tidak akan." Jessy kembali menatap Jungkook. "Aku harus mendapatkannya, Jeon."
Bersamaan dengan kalimatnya, alunan melodi tiba-tiba terdengar. Ia menegakkan tubuhnya dan mengedarkan pandangannya di sekeliling ruangan, berharap pria yang membuatnya lusuh itu muncul sekarang juga.
"Jessie," panggilJungkook, lagi-lagi dengan nada rendahnya.
Tanpa menghiraukan Jungkook, Jessy berkata dengan mata yang membulat, "kau dengar melodi itu? Itu, ... itu pasti Jimin. Di-dia, ... pasti memainkan simfoni itu lagi. Aku, ... aku harus bertemu dengan Jimin."
"Jessie! Kubilang cukup!" Tangan Jungkook menggenggam kuat pergelangan Jessy.
Jessy terpaku. Rahangnya mengeras. Matanya perlahan memerah. Ia menatap Jungkook jengah. "Tidak. Aku tidak akan pernah berhenti!" bantahnya.
Jessy hendak beranjak dari kasurnya, tapi genggaman Jungkook mengerat. "Kau tak akan pergi kemana pun, Jess."
Entah dari mana tenaga yang Jessy dapatkan, ia berhasil menyingkirkan tangan Jungkook, hingga tubuh Jungkook terhempas cukup jauh. "Tak perlu kau memperdulikanku lagi, Jeon!"
Dengan cepat, Jessy bergegas keluar, menuju istana di ujung hutan sana.
Tanpa memperdulikan gelapnya malam dan suara gagak yang saling bersautan, ia mempercepat langkahnya. Melodi itu terdengar kian jelas. Tak perlu waktu yang lama. Jessy telah berada di depan pintu istana megah itu.
"Jimin," lirihnya pelan. Ia melangkah semain jauh ke dalam istana.
Riuh piuh terdengar suara suara Jungkook dari belakang sana. "Jessie,hentikan! Kau bisa terbunuh!" sahutJungkook.
Namun Jessy tidak menggubrisnya. Ia terus melangkah. Tangannya kemudian mengepal dengan kuat, membuat semua pintu di menuju istana tertutu rapat.
"Tidak! Jessie! Arghhhh!" erang Jungkook terdengar cukup keras.
Jessy terhenti ketika matanya mendapati sebuah piano tua. "Ini piano yang selalu kau mainkan, bukan? Kemarilah, bermainlah untukku."
Belum sempat Jessy menggapai piano itu, lututnya sudah melemah, tak sanggup berdiri.
Jessy mulai terisak. "Kembalilah, kumohon."
Seketika, kalimat-kalimat mengenaskan itu kembali terngiang.
"Keyakinan konyol macam apa yang kau yakini bahwa pria bernama Jimin itu ada?!"
"Untuk apa? Sekalipun kau mendapatkan keabadianmu kau tidak akan bisa menggapainya."
"Cukup, Jess! Aku akan menyembuhkan delusimu."
"Sebesar apa pun usahamu, itu tidak akan membuat dia datang dan memelukmu."
"Jimin, dia tidak pernah ada."
Jessy menutup kedua telinganya.
"Jebal, Jimin, jebal. Aku ,... aku ... datanglah kepadaku ...
... Kenapa kau menghilang dalamwaktu semalam."
Dalam duduknya, Jessy bersimbah air mata. Tidak disangka, seorang wanita terkuat, sang perisai Heddalpha menangis terseduhanya karena seorang pria yang hilang.
Jessy mencoba untuk bangkit. Namun, tiba-tiba saja sebuah cahaya yang sangat terang muncul di hadapannya.
Matanya mengerjap perlahan. Di ujung cahaya sana, ia melihat dengan jelas seorang pria bermata sipit dengan rambut hitam pekat tersenyum ke arahnya. Wajahnya begitu tampan berseri. Dia, Tuan Park, atasan pasukan salamander yang selama ini bersarang dalam mimpinya dan ia rindukan.
"Ji-jimin,..." lirih Jessy.
Ia mulai berjalan mendekat. Pria yang ia panggil Jimin di ujung sana tidak berkata sedikit pun. "Aku sungguh merindukanmu."
Jessy hampir melangkah masuk melewati lingkar cahaya itu. Namun, seseorang menarik tangan kecilnya menjauh dan memeluknya erat, membuat Jessy meronta-ronta dengan lemah dalam pelukan itu.
"Kajima."(Janganpergi) Suara rendah itu mengalun bersama angin dingin yang berhembus. Layaknya sebuah mantra, kata itu menghentikan pergerakan Jessy meski isakannya masih terdengar.
"Jimin-mu, dia telah pergi. Lupakan dia."
"Katakan. Apa yang salah, Jeon?" Jessy masih terisak di pelukanJungkook.
"Tidak ada yang salah. Hanya saja kau jatuh di hati yang tidak tepat."
Jungkook semakin mengeratkan pelukannya. "Sekarang, biarkan dia pergi."
Jessy menggeleng pelan.
"Kumohon, Jess. Demi dirimu, demi Heddalpha, demi Jimin."
Hanya ini satu-satunya cara, merelakanJimin, agar Heddalpha tetap hidup. Perisai tidak boleh lemah. Bahkan semua harus percaya bahwa Jimin telah pergi.
"Hiduplah dengan normal, Jess."
Jungkook menepuk-nepuk pelan punggung Jessy. Tangisnya berangsur-angsur mereda. Pelukan di antara mereka melonggar.
"Apa sekedar merindukannya, aku tidak berhak?"putus asanya.
"Cukup, tinggalkan Jimin. Lihatlah aku. Aku akan membantumu."
Jika saja Jessy memiliki kesempatan, ia ingin memeluk pria bersurai hitam itu sekali lagi. Namun, ia ragu. Pria itutak akan kembali, hingga kapan pun, selamanya.
Park Jimin. Semua hal tentang delusinya yang tak ingin ia sembuhkan dan tak bisa ia raih. Jimin bagaikan simfoni hitamyang kelam.Begitu indah, tapi menghanyutkan dalam kepiluan.
"Ayo kita pulang. Malam semakin dingin."
Jessy mengangguk. Kemudian Jungkook membalut Jessy dengan mantel hitam berbahan bulu beruang yang sebelumnya ia kenakan.
Dalam hatinya Jessy bergumam sendu, "terimakasih, kaut elah mengikatku pada kehidupan yang telah kau tinggalkan, Park Jimin.Biarkan kuselesaikan rasa ini untukmu."
YOU ARE READING
Challenge Debut
RandomSemua kenangan indah, berawal dari satu cerita di awal pertemuan. Berikut ini adalah karya-karya dari member dan staff Fingers Writer untuk pertama kalinya di grup ini. Semoga dapat memuaskan pembaca setia Fingers Writer. Salam hangat, -Fingers Wri...