Saat ini Arjuna menghela napas. Sudah beberapa kali ia melakukan hal itu secara berulang-ulang. Tatapannya bosan tak lupa memasang wajah datar. Cowok itu sedang memandang jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Keputusannya menerima ajakan Abel jalan-jalan memang tidak efisien. Tapi hanya ini kesempatan Arjuna untuk membujuk Abel.
Di saat-saat seperti ini biasanya Abel gampang terbujuk. Arjuna sudah memikirkan ini matang-matang. Mungkin bisa saja perempuan yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka kecil itu yang akan membatalkan ikatan yang akan mereka jalani nanti. Dan kalau itu terjadi, bukan Arjuna yang menyakiti hati banyak orang tapi Abel. Katakan Arjuna picik, tapi tidak ada jalan lagi. Mengharapkan orangtuanya? Mereka bahkan sangat ingin Abel menjadi orang yang selalu ada di samping Arjuna. Jadi bagaimana bisa Arjuna minta tolong pada orangtuanya?
Perempuan itu belum juga selesai belanja. Arjuna juga harus membuang-buang waktunya di sini. Menunggu. Padahal Arjuna paling benci menunggu orang belanja seperti ini. Jika diajak keluar oleh Mamanya, Asahi, maka Arjuna akan menolak hal itu mentah-mentah.
Cuman Papanya saja, Aldrin yang betah menemani Asahi belanja atau bisa jadi adiknya, Aika. Bahkan mereka sering membicarakan gaya potongan rambut bersama atau menghabiskan waktu di restoran untuk makan. Adiknya itu memang luluh kalau sudah ditawari makan.
Arjuna akhirnya berjalan masuk ke dalam, tempat Abel sedang memilih baju. Perempuan itu baru saja mau membuka dompetnya dan membayar semua belanjaannya di kasir namun Arjuna lebih dulu memberikan kartu kreditnya pada pelayan yang sedang menatap keduanya bingung.
"Gak-gak Jun. Biar aku aja yang bayar."
Arjuna tidak menghiraukan itu. "Pake kartu kredit saya aja, Mbak."
"Gak Mbak. Pake kartu kredit saya aja."
Arjuna meliriknya namun ketika sadar itu lirikan tak suka ditolak membuat Abel akhirnya membiarkan Arjuna membayar semua belanjaannya. Mata Abel lalu tertuju pada dompet Arjuna yang laki-laki itu sedang pegang di atas lemari kaca yang menjadi sekat antara mereka dengan pegawai kasir itu.
Untuk sejenak Abel tercenung. Ada foto dua orang yang sedang berpakaian SMA di dompet Arjuna. Yang satunya laki-laki yang sudah pasti Arjuna, tinggi dengan wajah datar andalannya sementara di sebelahnya ada Poppy. Meski Arjuna terlihat hanya sekadar berfoto namun jelas dari raut mukanya. Laki-laki itu sedang senang bahkan Arjuna sudah berani merangkul Poppy padahal dulu, saat Abel melakukan itu. Arjuna selalu menghindarinya.
Menghindarinya bukan dengan cara yang kasar dan tidak hormat. Arjuna selalu berhasil menghindarinya dengan cara yang halus dan Abel pun tidak bisa mencegahnya. Itu sebabnya Abel tak pernah bisa marah padanya. Karena perasaan yang ada sejak mereka kecil.
"Jun?" Abel sengaja memancing ketika mereka keluar bersama. Arjuna hanya menoleh setengah minat. Cowok itu sudah gerah berjam-jam bersama Abel. Ingin rasanya pulang dan melakukan video call dengan pacarnya.
"Yang tadi di dompet kamu. Foto sama Poppy?" Abel memberanikan diri bertanya meski ia tahu yang terluka pasti dirinya sendiri nanti.
"Iya sama Poppy." Arjuna menjawab penuh keseriusan. "Kenapa?"
Abel menggeleng lemah. "Kamu sayang banget sama dia?"
"Sayang." Arjuna menjawab tanpa ragu. Tak memberi jeda untuk perkataan Abel tadi. Ia langsung menjawab tanpa berpikir. "Aku nggak pernah main-main sama dia."
"Jun? Buat aku bener-bener nggak ada ya?" tanya Abel. Sesak memenuhi hati mendengar orang yang ia sukai menyukai orang lain. Lebih menyakitkan ini daripada dicuekkan Arjuna. Selama ini Abel memang sabar. Kadang ia lepas kendali namun sekarang ia sadar kalau memaksakan berarti membuat salah satu dari mereka tersakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Handsome Boy
Teen Fiction[Sebagian cerita ini di private, follow dulu baru bisa baca] Masa putih abu-abu memang tidak akan pernah terlupakan. Apalagi bagi Arjuna dan Poppy yang menjalin hubungan layaknya muda-mudi yang saling tertarik satu sama lain. Poppy dengan segala yan...