Api dan Panah

18.9K 3.1K 220
                                    

Malam ini langit sangat tenang. Tak ada badai, hanya gerimis salju.

Semua orang bisa tidur nyenyak di tenda masing-masing, kecuali Ardela. Dia duduk di depan api unggun, membaca binder Direktur Argus. Dia termenung saat menemukan cetak biru Graha, ada ruangan-ruangan di bawah tanah yang tak ia ketahui. El benar soal basement.

Di sebelahnya si pilot berambut pixie cut itu bersandar ke batang pohon, memegang radio. Tak henti mencoba menghubungi Graha sampai tak sadar salju mengotori rambutnya.

"Radio ini lebih baik dari transceiver," kata Sagita. "Tapi aku tetap tak bisa memanggil Graha."

"Sudahlah, lagipula ini hampir subuh, kau harus tidur."

Sagita menghela napas, masih memutar-mutar tombol. "Apa menurutmu kita akan terjebak di sini selamanya?"

Ardela menatap api yang berkobar kecil di depannya. "Mungkin."

"Ada apa denganmu? Biasanya kau selalu—"

Tiba-tiba sesuatu melesat cepat dari depan dan menancap di batang pohon, tepat lima senti di samping kepala Sagita. Saat menoleh, ia melihat panah, ujungnya menancap di batang. Tangkai panahnya kayu berbuntut bulu hitam. Benda itu sangat familiar.

"Oh tidak." Ardela melotot. "Penduduk asli."

Sedetik kemudian panah berdatangan dari segala arah, melesat cepat dari balik pepohonan di sekitar kemah. Bukan hanya itu, panah-panah api juga meluncur dari kegelapan lalu menancap di kain tenda hingga membakarnya.

"SERANGAN!" teriak Ardela, suaranya menyeruak ke seluruh kemah. "Semuanya bangun!"

Belasan panah berapi datang, dalam hitungan detik api jingga membakar seluruh tenda, perlahan merutuhkannya. Seketika orang-orang berlarian keluar dan berteriak. Sebagian berlari tak karuan di atas salju sambil melindungi kepala dari panah api yang berdatangan. Beberapa orang menghindari panah dengan berlari keluar kemah, memasuki pepohonan yang gelap gulita.

Ardela hendak meraih pisaunya di salju, tapi panah datang menggores tangannya dan menancap tepat di sebelah pisaunya. Dia mengejang saat panah lewat di atas pundaknya lalu satu panah berhasil menggores kakinya, ia pun jatuh terduduk.

"Del, kau tak apa?" Disty berlutut di sebelah Ardela, kacamatanya berembun terkena panas. "Dari mana api ini datang?!"

"Awas!" Dia mendorong Disty saat panah melesat ke arahnya. Mereka pun jatuh ke salju. Lalu ia membantu Disty berdiri dan menyerahkan pisaunya. "Larilah dan bawa ini!"

"Kau bagaima—"

"Kubilang lari!" Ardela pun mendorong Disty. Kemudian ia berlari ke Kalista yang duduk di salju, melamun ketakutan melihat kebakaran di sekelilingnya. Ia mendorong Kalista sebelum panah berapi mengenai rambut keritingnya. "Menjauhlah dari sini!"

"Kemana, Del?" Kalista terbatuk menghirup asap. "Di hutan gelap dan—"

Ardela menarik senter dari saku mantel dan menyerahkannya. "Jangan bawel dan larilah! Aku akan menyusul."

Dar! Di kejauhan terdengar tembakan berkali-kali, disusul suara laki-laki berteriak. Itu berasal dari tim jaga. El sedang berjaga. Degup jantung Ardela seketika menggedor-gedor rusuknya.

Perhatian Ardela teralih saat mendengar teriakan dari salah satu tenda yang terbakar. Itu suara Iren. Dia pun berlari ke sana sambil merunduk di bawah hujan panah. Iren menangis karena punggung sampai kakinya tertimpa runtuhan tenda hingga ia tak bisa bergerak. Parahnya, runtuhan itu terbakar.

"Bertahanlah!" Ardela mengangkat batang-batang kayu itu sampai urat di tangannya menyembul. Lalu ia menarik Iren menjauh dan membantunya berdiri. "Kau terluka?"

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang