Tidak ada yang seindah rumah.
Setelah melihat pemandangan menakjubkan di seluruh Belantara, bagi Ardela Brajakelana tetaplah yang terbaik. Bukan hanya karena cahaya matahari yang melimpah siang ini, tapi juga karena warganya. Beberapa orang datang memeluk Ardela, termasuk Kalista. Yang lainnya melambai sambil tersenyum dari jauh.
"Lihat nih, Brajakelana tidak runtuh dibawah komandoku." Kalista memegang kedua pundak Ardela. "Selamat datang kembali, Maharani."
"Terimakasih banyak ya, Penasihatku Tersayang." Ardela memeluk Kalista sejenak. "Kapan-kapan akan kuajak kau keliling Belantara. Keren banget."
Dia lelah tapi tidak tertarik untuk istriahat. Dia segera menyusuri Brajakelana menuju lapangan tempat para prajurit biasa berlatih. Sepanjang jalan dia senyum-senyum sendiri.
Laki-laki tinggi berkulit semulus porselen itu sedang berdiri melamuni lapangan kosong di depannya. Nampak menikmati semilir angin yang meniup rambut hitamnya sampai berantakan.
Ardela berjinjit, menutup mata El dari belakang dengan kedua tangan. "Tebak siapa."
El mengejang sedikit lalu terseyum. "Siapa ya? Aduh, sulit banget. Aku menyerah." Kemudian ia berbalik dan mengangkat Ardela sedikit, membuatnya tertawa. "Kau kemana saja?"
"Keliling dunia."
El menurunkan Ardela, masih tersenyum. "Kau nampak senang."
"Super senang! Kau harus tau, semua klan di Belantara sangat keren, apalagi Bahari. Adikara mengajak menginap di sana. Luar biasa." Lalu Ardela terdiam sejenak, ingat sesuatu. "Oh iya, umm... aku minta maaf tak mengajakmu ikut tur."
"Tak apa." Senyum El perlahan luntur. "Aku ngerti kau butuh waktu bareng Adikara."
"Tenanglah, aku dan Kevan hanya partner kerja." Ardela tersenyum tipis. "Kami harus... berteman agar aku tak merasa... kaku saat bekerja dengannya."
El mengangguk sambil mengangkat satu alis. "Oh, sekarang kau memanggilnya Kevan." Dia membuang muka. "Akrab ya."
Seakan ada bongkahan salju dilempar ke wajah Ardela. Dia pun terdiam sejenak. "Umm... apa maksudmu?"
"Aku bingung kenapa kau enggak mengajakku."
Ardela menghela napas. "Karena aku ingin kau di sini untuk menjaga Brajakelana, lagipula ada Jendral Guntur di tur kemarin. Aman kok."
"Kau yakin? Bukan karena kau takut aku bakal ganggu kau dan Kevan yang pengen bermalam di... klan lain?"
"Bukan, El," balas Ardela, tegas. "Kau... kau cemburu?"
"Jika aku bermalam dengan Visandra di klan yang... indah, apa kau enggak akan cemburu?"
Ardela memejam sejenak, menahan pusing. "El, aku dan Kevan hanya tur, tak lebih. Kau tak percaya padaku?"
El hanya mengangkat pundak.
Ardela menghela napas, berat. "Aku seorang Maharani, pasti akan sering bertugas dengan Kev—Adikara. Berhentilah cemburu begitu."
Bukannya marah, El hanya terdiam lalu mengangguk dengan ekspresi sedingin salju. Tanpa menatap Ardela, El melangkah pergi meninggalkannya terdiam di tengah kesunyian padang rumput.
***
Sejak matahari terbenam, Adikara berada di tenda Ardela, tepatnya di sofa ruang tamu. Mereka duduk di bawah cahaya lampu lilin, mengobrol soal masa kecil dan hal-hal bodoh yang pernah dilakukan waktu kecil. Sesekali mereka menertawai satu sama lain, rahang Ardela sampai pegal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Aventura(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...