Siang Pertama

15.4K 2.7K 121
                                    

Kalista melompat-lompat di atas kasur. Ardela menyuruh turun, tapi ia malah dilempar bantal bersarung hijau.

Ya, mereka berdua satu kamar bersama enam gadis lainnya. Kamar ini luas berdinding dan berlantai kayu, tungku-tungku kecil berisi lilin nampak menggantung di atap. Ada tiga tempat tidur tingkat yang bersebrangan dan satu queen size. Di depan setiap tempat tidurnya berdiri peti kayu berisi setumpuk pakaian dan sepatu bot.

Di sebelah tempat tidur ada dua pintu berhadapan, itu kamar mandi. Ardela tadi sampai sejam di sana. Menggosok kulit dan mengeramas rambutnya berkali-kali dengan air hangat. Sekarang ia sudah segar, mengenakan tunik putih berlengan kembung, celana katun dan sepatu bot coklat.

Gadis-gadis tim HOPE terlihat berbeda mengenakan baju dari Astana. Mini dress, tunik, cape, rok—tak ada jeans, kaos dan mantel. Mereka juga nampak segar, pipi bersemu dan bibir berwarna merah muda.

Keseruan tidak berakhir di situ. Saat tengah hari, mereka diajak ke balai Astana—ruangan super luas berdinding kayu mengkilap berhias lukisan pemandangan. Terdapat empat meja panjang, di atasnya tertata mangkuk-mangkuk besar berisi makanan—nasi, rendang, salad, puding dan makanan lainnya yang mereka tidak tau. Ada pula teko-teko kaca berisi air hangat.

Cahaya matahari yang bersinar dari jendela membuat hidangan itu seakan berkilau. Anggota tim HOPE nampak terkagum dan bergantian berkata wah!

Ardela menyuruh teman-teman yang lain masuk duluan. Dia belum menemukan orang yang ia cari.

Tiba-tiba tangan seseorang muncul di sampingnya, menggenggam setangkai mawar putih. Saat ia berbalik, ada El berdiri di hadapannya, begitu dekat sampai ia bisa menghirup wangi khas itu—mint yang menyegarkan. El terlihat keren mengenakan blus putih, jeans dan sepatu bot kulit.

Wajahnya mempesona seperti biasa—tulang pipi tegas dan kulit putih porselen. Kali ini ditambah semburat merah muda yang menggemaskan. Bibir tipis El melengkung begitu sempurna, membentuk senyuman yang membuat Ardela lupa kalau di dalam balai Astana ada makanan berkilauan.

"Kau terlihat..." Dia mengerjap, menahan matanya yang ingin memandangi wajah El terus. "Segar."

"Kau terlihat manis, seperti biasa." Lalu El mengangkat mawar putih itu ke depan bibirnya. "Aku punya hadiah untukmu."

Ardela tertawa kecil. "Kau mencurinya dari taman Astana?"

"Enggak, aku minta ke Sera si tukang kebun baik hati." Dia menyodorkannya, ditambah senyuman. "Spesial untuk gadis terbawel sedunia."

Ardela menerimanya sambil sebisa mungkin mengendalikan degup jantungnya yang bagai genderang mau perang. Dia belum pernah mendapat hadiah dari laki-laki—bahkan dari Aksa—apalagi ini bunga. Bunga sungguhan!

Dia tersenyum. "Waw, bunga pertamaku."

"Sera juga memberi tau tempat-tempat bagus di Astana. Mungkin kita bisa jalan-jalan nanti malam, tapi enggak boleh ketauan prajurit."

"Kau mengajakku mengendap-endap di istana orang?"

El mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. Dia tersenyum tipis. "Asik, 'kan? Kau anak baik pasti belum pernah melanggar peraturan."

"Dasar bandel." Dia meninju pundak El sedikit lalu memicingkan mata. "Kau dan Sera terdengar sudah akrab. Kau cepat ya dapat teman."

"Enggak secepat dirimu, Nona. Teman barumu bahkan seorang raja."

"Adikara." Suara nge-bass itu muncul di belakang. "Sebutan raja terlalu... bagus. Aku bukan bangsawan."

Ardela dan El  terkejut, mereka pun mengangguk bingung. Kemudian El masuk balai bersama sisa rombongan. Sementara Ardela masih diam, menyembunyikan mawar itu di belakang punggungnya.

"Silakan masuk, Ardela," ujar Adikara. "Ada kursi untukmu dan Visandra di sebelahku."

Jantung Ardela seakan beradu mercon saat Adikara menarik kursi untuknya. Dia pun duduk bersebrangan dengan Visandra sementara Adikara duduk di sebelah mereka, di ujung meja.

"Halo, Ardela," sapa gadis berkepang itu, tenang dan formal. Kedua matanya digarisi eyeliner tebal, membuatnya terlihat semakin mengintimidasi. "Bagaimana kabar para penjelajah?"

"Sangat baik, Visandra, terimakasih."

Kemudian dia melamun melihat mangkuk-mangkuk makanan di depannya. Ada piring berisi daging panggang berbumbu kecoklatan, potongan kentang dan mangkuk yang dipenuhi apel merah. Dia belum pernah melihat makanan sebanyak itu.

Adikara berdiri, semua orang pun diam. "Aku bangga bisa menjamu kalian, Para Penjelajah. Semoga semua ini cukup dan nikmat. Selamat makan."

Semua tangan bergerak mengambil makanan. Mangkuk bergilir ke samping sampai isinya habis. Tangan menyendok makanan ke mulut lagi dan lagi. Semuanya diam dan lahap, menikmati makan siang pertama di padang hijau.

Ardela tersenyum melihat anggota tim makan. Tak perlu berburu di hutan penuh kanibal lagi, tak perlu memotong daging rusa sampai tangan kapalan lagi. Untuk sejenak ia melamun, berharap ayah, ibu dan Dirga berada di sini makan bersamanya. Dia pun senyam-senyum.

"Apa rasanya makan dekat raja?" bisik Disty yang duduk di sebelah Ardela.

Dia baru mau jawab, Kalista di sebelah Disty langsung mencondongkan tubuh. "Dia menarik kursi untukmu, Del," bisiknya, tersenyum penuh arti. "Seorang raja loh!"

"Ssh!" Ardela membekap mulut Kalista. "Dan berhenti tersenyum seperti itu!"

"Jika kau menikahi raja, apakah aku akan jadi tuan putri?"

Dia memegangi kepala. "Aku tak percaya punya teman sepertimu."

Kemudian mereka melanjutkan makan. Sekarang menikmati apel merah yang renyah saat digigit. Rasanya lebih manis dan segar ketimbang apel di Graha. Ardela sampai melamuni apel di tangannya sambil mengunyah.

"Semua ini sangat indah," bisik Disty. "Tapi apakah kau yakin dengan semua ini? Adikara menerima kita begitu saja bahkan memanjakan kita."

Dia berpikir sejenak, masih melamui apel di tangannya. Tak tau kenapa ucapan Disty selalu membuatnya berpikir. "Tidak sepenuhnya yakin sih. Aku punya firasat ia menginginkan sesuatu."

"Menurutmu apa?"

"Akan kucari tau." Dia merangkul Disty. "Kau enggak usah pusing, biar aku yang pikirkan soal Adikara."

"Ya." Disty nyengir. "Kau juga harus pikirkan cowok di sana yang bolak-balik menatapmu. Kurasa dia tak tahan sepuluh menit saja jauh darimu."

Ardela melihat ke meja sebrang. El duduk menghadap kemari, raut wajahnya serius tapi ia mengedipkan sebelah mata.



---

Hai, semoga kalian tetap enjoy bacanya. Silakan scroll ke chapter selanjutnya :D

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang