Ardela mengejang saat kereta kuda berguncang.
Mereka melewati barisan tiang obor di kiri dan kanan, kemudian melewati gapura. Terbuat dari batu-batu hitam yang disusun setinggi belasan meter, di atasnya terdapat patung tameng besar sewarna perak.
Sejauh mata memandang hanya ada padang rumput beratap langit biru. Tenda hitam berbaris di kiri kanan jalan. Prajurit yang membawa pedang nampak lalu lalang.
Kereta melewati sebuah lapangan tanah luas. Hampir seratus prajurit sedang berlatih di sana, meninju dan menendang angin, mengikuti instruktur di paling depan. Saat melihat kereta hijau tua milik Lintaswana, para prajurit itu menoleh dan nunduk sedikit memberi hormat. Mereka juga sempat melamuni senapan yang dibawa prajurit Brajakelana.
"Selamat pagi!" sapa Jendral Guntur yang mengendarai kuda di sebelah kereta. "Silakan lanjutkan!"
Sekitar seratus meter kemudian kereta melewati sebuah bangunan. Berbentuk persegi panjang berdinding hitam dengan gerbang terbuat dari besi. Prajurit berbaris di depannya, berjaga.
"Itu gudang senjata," kata Adikara di sebelah Ardela. "Isinya hanya tombak, pedang, panah, berbagai pisau dan pembuat api. Tidak ada pelontar peluru."
Kereta berhenti di depan gedung berdinding hitam setinggi tiga lantai. Di atapnya berdiri patung tameng perak mengkilap. Sementara pagar berujung duri besi mengelilingi gedungnya.
Sekala membukakan pintu dan memegangi tangan Ardela ketika turun. Jubah satin putih yang terpasang ke pundaknya berkibar sedikit terkena angin. Lalu dia dan Adikara melangkah melewati pagar bersama Sekala dan Neswa di belakang.
"Selamat datang di Gemasatria."
Pradana menyambut di depan pintu gedungnya. Dia pria paruh baya, berambut ikal beruban dengan satu mata ditutupi kain—seperti kapten bajak laut. Tubuh atletisnya dibalut setelan prajurit ditambah jubah hitam menjuntai menutupi punggungnya. Dia menyalami Adikara lalu mencium punggung tangannya. Ardela pun tersenyum bingung.
"Biarkan saya mengantar Adikara dan Maharani berkeliling dan melihat pelatihan prajurit di sini," katanya dengan suara serak, mirip rocker. "Apakah komander Anda ikut, Maharani?"
"Tidak." Ardela tersenyum, berbicara se-ala-pemimpin mungkin. "Komander Elvandra kutugaskan untuk tetap di Brajakelana."
Kemudian seorang wanita keluar dari gedung itu, berdiri di sebelah Pradana. Dia terlihat jauh lebih muda, mungkin tiga puluh tahun. Berkulit sawo matang dengan rambut panjang yang dikepang melewati pundak. Dia pun cipika-cipiki dengan Ardela.
"Ini hadiah selamat datang dari kami." Dia menyerahkan kotak kayu berisi jubah hitam berhias bordir swril sewarna mutiara. "Jubah perang untuk Maharani."
"Terimakasih." Ardela pun memberi kotak putih berisi lima selongsong peluru keemasan. "Selongsong peluru. Tidak bisa digunakan tapi bagus untuk pajangan."
Pradana dan istrinya termenung kagum melihat lima selongsong itu. Dua prajurit di belakang mereka sampai ikut melamuninya.
Kunjungan di Gemasatria tidak lama. Mereka berdua ditemani Pradana dan beberapa prajurit hanya berkeliling, melihat koleksi pedang di gudang senjata dan menonton latihan rutin. Pradana bilang prajurit dan komander Brajakelana diperbolehkan latihan di sini kapan pun.
Saat matahari berada lurus di atas kepala, kereta kuda meninggalkan Gemasatria. Sekitar satu jam kemudian mereka melewati desa Lintaswana, melihat warga lalu lalang di jalan membawa belanjaan. Kemudian melewati hutan Lintaswana hingga sampai di klan selanjutnya.
Tebing tinggi menjulang di kiri dan kanan jalan. Dari puncak keduanya, air terjun mengalir deras. Airnya mengalir dan bertemu di sebuah danau. Kereta kuda melewati jembatan kayu di atasnya. Ardela tak henti menatap keluar, menatap air tejun yang mengapit di kiri dan kanan.
Kereta melewati gapura bertiang besi berwarna khaki. Di atasnya berdiri patung angsa putih yang sedang melebarkan sayap. Kali ini sungai mengapit kedua sisi jalan, airnya begitu bening sampai Ardela bisa melihat bebatuan di dasarnya.
Rumah Pradana berupa gedung tiga lantai berdinding warna khaki yang beratap kubah perunggu. Yang menarik adalah rumah itu mengapung di tengah danau. Untuk ke sana, mereka melewati jembatan kayu sejauh seratus meter yang membtang di atas danau.
"Selamat datang di Alirbening."
Pradana dan istrinya mengenakan jubah warna khaki yang terpasang menutupi punggung baju mereka. Pradana itu mungkin empat puluh tahun. Dia kurus berkulit kecoklatan, berjalan dibantu tongkat yang ujungnya berhias angsa sewarna perunggu.
Istri Pradana menyerahkan kotak sewarna emas. Isinya lukisan kecil bergambar air terjun. "Ini dibuat oleh pelukis terbaik Alirbening," katanya di tengah senyuman. "Untuk dipasang di dinding kamarmu dan Elvandra."
Seketika Ardela nyengir bingung. "Aku dan Elvan, kami tidak..." Dia berdehem. "Umm... Elvan hanya komanderku. Terimakasih banyak lukisannya."
Setelah itu dia dan Adikara diajak melihat air tejun raksasa. Mereka berdiri di tepi tebing yang dibatasi pagar besi. Di bawah mereka adalah jurang. Di sebrang berdiri tebing yang mengalirkan air ke danau jauh di bawah sana.
Air terjunnya sepanjang lima puluh meter, alirannya begitu deras sampai menimbulkan deru yang memekakkan telinga. Sisa-sisa gedung mencuat di tepi air terjunnya, sudah lapuk dan ditutupi tanaman rambat.
Neswa berdiri di belakang Ardela, memegangi payung untuk melindungi tiaranya dari cipratan air. Sementara Sekala membawa kado-kado dari Pradana. Dia sudah menolak tapi mereka tetap melakukannya.
"Luar biasa!" teriak Ardela di tengah suara debur air. "Airnya selalu sebanyak ini?"
"Tentu saja, Maharani," balas Pradana. "Namanya juga air terjun."
Sebelum sore datang, mereka berdua melanjutkan tur ke klan selanjutnya. Klan yang membuat Ardela duduk gelisah karena tidak sabar.
---
Hi, thank you so much for reading and voting!!
Kira-kira selanjutnya klan apa ya yang akan dikunjungi Ardela dan Adikara? Apakah perjalanan mereka akan mulus tanpa gangguan? Tunggu jawabannya di chapter selanjutnya Jumat depan. See you :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Adventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...