DUG!
Dengan sepatu botnya Ardela menendang dada El, lelaki itu pun jatuh terduduk. Tsing! El menangkis serangan dan dengan gesit melompat berdiri, maju menebas pedang.
Ardela tetap tenang, dia berputar sampai rambut berkibar dan merunduk saat El hendak menerjang. Dug! Dia menyikut punggung El, tertawa sedikit. El pun hampir terjerembak.
"Ayolah, jangan mengalah untukku." Ardela memutar-mutar pedang. Keringat nampak membasahi tunik sampai wajahnya. "Kau membosankan."
El nyengir, memutar pedang sekali lalu maju menebas. "Percayalah, dari tadi aku enggak mengalah."
Keringat mengalir di dada seputih porselen El melewati bentukan ototnya, tapi ia tak memelan. Dia berusaha menusuk tapi Ardela menangkis kemudian merunduk dan meninju perut El sedikit, seketika ia meringis.
Ardela menatap sejenak danau yang meluas tak jauh di depannya. Melihat air bersentuhan dengan hutan di sebrang sana. Langit cerah pagi nampak terpantul di permukaan air. Ya, sebulan terakhir mereka sering latihan pagi di dekat rumah pohon.
Lalu ia berputar, menatap rumah kayu itu bernaung di atas pohon, terlihat adem dipayungi kanopi hijau. Dia selalu tersenyum melihat rumah itu, apalagi mengingat yang ia dan El sering lakukan di sana.
Tiduran, ngemil dan tertawa.
"Kau capek ya?" El menelusurkan jemari ke rambutnya. "Kita bisa berhenti."
Ardela mengangkat alis. "Enak saja, aku belum mengalahkanmu."
El tersenyum nakal dan maju menebas, dia menyandung kaki Ardela saat gadis itu sedang sibuk menangkis. Seketika Ardela jatuh terduduk, tanpa berkedip ia berguling ke samping dan melompat berdiri, mengibaskan rambut sedikit.
"Waw, kau lawan terseksi yang pernah kuhadapi." El malah tersenyum saat Ardela menebas sambil menatap tajam. "Ya! Aku suka tatapan itu!"
Ardela nyengir. "Senyuman itu tidak akan mengecohku."
"Oh, kau suka senyumanku? Makasih loh." El menghindar ke samping lalu menghantam pundak Ardela. "Aku juga suka senyumanmu."
Tsing! Ardela berhasil menebas pedang El lalu menendang dadanya lagi. Dengan cepat ia menendang tangan El hingga pedangnya menghantam rumput. Belum sempat El melirik pedangnya, Ardela mengacungkan pedang berkilap itu ke dada El yang kembang-kempis cepat, El pun mengangkat kedua tangan.
"Kau baru saja mengalahkan Komandermu, Nona, ampun deh kau—"
Ardela melepas pedang lalu melompat ke gendongan El, El segera menangkapnya dan mendekapnya dekat. Dia mendongak melihat Ardela yang tertawa sampai memejam.
Ardela menaruh tangan di kedua lengan El yang sehangat matahari pagi, merasakan lekuk ototnya. Lalu ia merunduk, menempelkan wajahnya ke wajah El. Mereka pun bertatap dari dekat, di tengah deru angin lembut.
"Aku kalah terus." El tersenyum. "Kau membuatku enggak fokus."
Ardela tertawa. "Dasar banyak alasan."
"Aku serius loh." Dia berputar beberapa kali membuat Ardela berpegangan erat sambil tertawa nyaring. Lalu ia melirik danau. "Gimana kalau kita berenang?"
"Hah?! Sekarang?"
"Ya, kita sapa hiu-hiu di sana." El memicingkan mata. "Akan kulempar kau ke air."
Ardela tertawa. "Jangan! El, aku harus rapat dewan lima belas menit lagi!"
Srrk! HT Ardela di atas rumput tiba-tiba berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Adventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...