BRAK!
Pintu kayu membanting terbuka di depan Ardela. Dia melangkah cepat sampai jubah putihnya berkibar sedikit. Langkahnya berderap kuat dan matanya menatap tajam. Di belakangnya, nampak Jendral Guntur mengikuti, ekspresinya tak kalah kesal.
Ardela berhenti di depan meja kayu mengkilap. Adikara duduk di baliknya, sedang meneguk secangkir teh. Dia pun terdiam mengerutkan kening menatap Ardela. Ketika ia tersenyum, Ardela masih menatap kesal.
"Aku sudah melarang Maharani kemari," kata Jendral Guntur. "Tapi dia menerobos begitu saja."
"Tidak apa, Jendral," balas Adikara. "Kau bisa tinggalkan kami. Terimakasih."
Mata Ardela masih menatap tajam, jika ia punya tatapan laser mungkin wajah Adikara sudah meledak. Setelah pintu ditutup, Adikara berdiri dan mendekat. Dia hendak mengambil tangan Ardela tapi Ardela menjauhkan tangannya.
Adikara tersenyum. "Ada apa, Maharani?"
Prak! Ardela menamparnya. Untuk sejenak, pria itu terdiam dengan kening berkerut dan mulut agak menganga. Ketika ia hendak bicara, Ardela mendekat bersama tatapan tajam, membuatnya mundur selangkah.
"Maharani, kau mengetahui sanksi ketidaksopanan terhadap seorang Adikara, 'kan?" katanya, terdengar dalam, menahan kesal. "Tapi aku tau kau tidak bermaksud melakukannya."
"Aku sangat bermaksud melakukannya." Ardela mengepalkan kedua tangan. "Kau mengasingkan Elvan ke padang salju!"
"Kau marah sebagai siapa?"
"Sebagai siapapun!" teriak Ardela. "Maharani, bos, teman, pacar! Siapa sajalah!"
Adikara terdiam sejenak. "Dini hari tadi Elvandra menerobos ke kamarku, membangunkanku dan berteriak di depan wajahku. Dia bilang aku dan prajuritku tidak becus dalam pengawasan sehingga Agra mampu mengikutimu. Itu pencemaran nama baik terhadapku dan prajurit Astana. Lalu dia mendorongku, itu adalah pelanggaran yang sangat besar, apalagi mengingat jabatannya sebagai komander."
"Tapi—"
"Dulu setelah kau operasi Elvandra menerobos ke ruanganku, berteriak murka mengenai rusaknya perjanjian damai. Dia pula memarahi Jendral Guntur sampai mendapat tinjuan," kata Adikara, penuh intimidasi. "Kemudian ia meninju Neswa di hadapan para prajurit Astana, padahal sudah kusampaikan hanya kau yang berhak menghukum Neswa."
"Tapi sanksi untuk El harusnya cuma larangan masuk Lintaswana!"
Kedua mata coklat gelap itu membuka lebar. "Dia mengulangi kesalahan, dia mengatai prajurit Astana dan yang terparah adalah dia tidak menghormatiku. Hukuman untuknya adalah diasingkan," balasnya, tegas. "Dia berpotensi menjadi seorang pemberontak."
Jantung Ardela seakan membeku. "Ka... kau gila?!"
"Aku menjatuhkan sanksi sesuai Hukum Belantara."
Kebetulan Ardela sudah tamat membaca buku itu. "Kau menghukum komander klan yang mengabdi padamu seperti menghukum seorang pemberontak, bahkan kau menuduhnya sebagai pemberontak, padahal dia bukan pemberontak!" Kedua matanya memanas. "Kau tidak berhak."
"Aku sangat berhak."
Kedua tangan Ardela mengepal dan matanya digenangi air mata. Dia tak tau harus melakukan apa. Dia tak punya kuasa di sini karena berhadapan dengan pemimpin Belantara.
"Kumohon..." Ardela memejam sejenak, menahan gemetar marah di suaranya. "Kumohon, maafkan Elvan. Aku... aku berjanji akan mengajarinya supaya lebih sopan padamu. Dia komander sekaligus temanku. Di luar sana banyak yang memburu penjelajah, nyawanya terancam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Adventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...