Menuju Dunia Baru

16.6K 2.9K 94
                                    

Ardela dikelilingi warna hijau.

Matanya seakan dipeluk oleh pemandangan di sekitarnya, membuatnya merasa tenang. Pepohonan berbatang gemuk berdiri menjulang dengan daun hijau tumbuh rimbun di atasnya. Dedaunan di atas sana nampak menari saat terkena semilir angin, menimbulkan suara lembut yang memanjakan telinga.

Dia merasa seakan sedang berjalan di bawah atap hijau. Cahaya keemasan mengintip dari celah di antara dedaunan di atas sana. Terasa hangat dan menyenangkan saat mengusap kulit.

Berjalan di bawah kanopi terasa lebih baik ketimbang terpapar cahaya matahari. Memang sangat menyenangkan bermandi cahaya hangat itu. Namun, setelah tiga jam kulit anggota tim HOPE mulai perih dan kemerahan. Disty bilang itu sunburn, mereka belum biasa terpapar cahaya matahari terlalu lama.

Pipi Ardela juga bersemu merah, terasa perih saat disentuh. Meski begitu, ia tetap menikmati perjalannya. Dia merunduk sedikit, menyentuh rumput hijau yang tumbuh setinggi pahanya. Dia tertawa kecil saat ujung rumput-rumput itu menggelitik tangannya.

"Makasih mau mengajak kami lewat sini," kata Ardela ke Visandra yang berjalan di sebelahnya sambil membawa busur. "Maaf merepotkan."

"Tak apa. Aku tidak mau tamu kami melepuh."

Ardela mati-matian menahan mulutnya untuk bertanya, tapi gagal. "Kenapa kalian menyebut kami tamu? Seakan kalian tau kami akan datang."

"Kami memang tau kalian akan datang," balasnya, dingin. "Generasi terdahulu bilang ada koloni manusia yang berhasil bertahan hidup di padang salju, manusia berteknologi. Suatu saat mereka akan datang ke Belantara."

"Dan kalian menyukai kedatangan kami?"

"Tentu." Dia menoleh sampai kepangan rambutnya berayun. "Setiap Adikara yang memimpin padang hijau menunggu kalian. Berharap bisa melihat manusia-manusia berteknologi dan bergaya layaknya dua ratus tahun lalu, sebelum badai. Saat kubilang Adikara aku melihat kalian berlarian masuk padang hijau dua hari lalu, dia hampir menangis haru."

"Umm... tapi kau sendiri terdengar tidak senang. Kenapa?"

"Kalian mungkin tidaklah jahat." Dia menatap judes. "Tapi aku belum mempercayai kalian."

Ardela mengangguk, memilih mencari topik lain. "Ngomong-ngomong, Adikara terdengar hebat dan... toleran."

"Ya, maka sejak lama para pemberontak melawannya." Visandra memicingkan mata sipitnya, sebal. "Pemberontak mengutuk orang asing, bahkan membuat tanda di perbatasan untuk menjauhkannya."

Ardela teringat tanda di pohon-pohon itu. "Mereka yang mengukir tanda silang merah itu?"

"Ya, itu pun sudah lebih baik," balasnya. "Beberapa tahun lalu para pemberontak biasa membunuh kanibal yang melewati pohon kembar lalu menggantung mayat mereka di pohon kembar. Sebagai petanda. Adikara meminta mereka menghentikan itu karena tidak... etis."

Seketika Ardela mual. Dia pun memilih diam.

Kali ini anggota tim HOPE bisa jalan-jalan dengan aman. Beberapa orang main kejar-kejaran di antara pepohonan, Kalista ikut di sana, berlari sambil tertawa menggelegar. Sekala tak mau kalah, laki-laki beralis tebal itu berlarian sambil agak merunduk, menyentuh rumput dengan kedua tangan. Tawa terdengar di sekeliling Ardela, membuatnya merasa lega.

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di jalanan yang lebih bersih. Tak ada garis-garis akar, tak ada daun kering berceceran, hanya jalanan tanah lurus sampai jauh. Pepohonan tumbuh tak begitu rapat sehingga langit biru terbuka lebar di atas mereka, rasanya bagai melihat lukisan raksasa.

Semak-semak tumbuh seperti gumpalan hijau yang tersebar di mana-mana. Gibran dan beberapa laki-laki bersembunyi di baliknya, saat yang lain lewat, keduanya melompat sambil berteriak. Mereka pun tertawa sampai rahang pegal.

Visandra mengangkat alis. "Kalian memang kurang hiburan."

Sementara Ardela asik sendiri memandangi semak-semak hijau itu, hingga sesuatu menarik perhatiannya. Dia pun berlutut untuk melihat sesuatu yang tumbuh di dekat semak-semak. Dia pernah melihatnya di buku Biologi, tak percaya sekarang bisa melihat langsung.

"Bunga!" Matanya sampai berkaca-kaca. "Dandelion."

Dia memetik bunga yang mirip gumpalan bulu putih itu kemudian membawanya. Ia tak henti menatapnya sambil tersenyum. Tiba-tiba Kalista melompat ke samping Ardela dan meniup dandelionnya, kuntum-kuntum putih pun berterbangan, menari terbawa angin. Seketika ia merengut sementara Kalista tertawa.

"Banyak dandelion di Lintaswana," ujar Visandra. "Kita hampir sampai."

Benar saja, tak lama kemudian mereka mendekati tempat yang Visandra sebut Lintaswana.

Tim HOPE termenung kagum melihat sisa bangunan berbaris memanjang di depan mereka, memagari jalan. Berupa gedung-gedung setinggi belasan meter yang sudah kecoklatan dan dindingnya sudah runtuh di beberapa bagian.

Tanaman berwarna hijau tua seakan memakan gedung-gedung itu, tumbuh merambat menutupi hampir seluruh dinding luarnya. Tanaman juga merambat keluar dari lubang di seluruh jendela, bahkan ada akar menggantung dari atap gedungnya. Sebagian badan gedung-gedung itu sudah ditelan tanah. Pohon tumbuh di sekitarnya dan akar-akar tebal nampak bersilangan di tanah.

Bukan hanya gedung. Ada pula sisa kerangka helikopter yang sudah menghitam tergeletak di atas tanah. Pohon dan semak tumbuh menembus bagian tengahnya.

Lalu tak jauh di sebelah kiri, Ardela melihat sebuah jembatan raksasa yang kedua ujungnya menurun dan sudah tenggelam ke tanah. Kaki-kaki jembatannya juga sudah ditelan tanah dan tanaman rambat menutupi seluruh pagarnya. Dia pun melamun, kagum melihat tanaman mampu mendominasi semua bangunan itu.

Mata Ardela berpindah ke gerbang besi yang berdiri di tengah barisan gedung. Tingginya lima meter, berwarna kelabu dengan noda karat di mana-mana. Tergambar sebuah lambang di tengah gerbangnya. Berbentuk kepala singa jantan berwarna hitam yang menghadap ke samping. Sepertinya itu lambang Lintaswana.

Di depan gerbangnya ada dua laki-laki berdiri tegap dengan tombak di tangan. Mereka melamuni tim HOPE yang mendekat.

Visandra melambai ke mereka. "Tolong buka gerbangnya, aku bersama para penjelajah." Dia menghela napas. "Aku tak percaya bisa mengatakan itu."

"Gila!" teriak Juna di belakang Visandra. "Kalian bikin gerbang menembus sisa bangunan. Itu kerennya kebangetan!"

Dua penjaga itu mengetuk gerbangnya kemudian melipir ke samping. Jantung Ardela berpacu ketika terdengar suara dentuman dan gerbang besi itu perlahan membelah terbuka.

Tim HOPE pun melangkah melewati gerbang. Mereka termenung kagum saat berjalan di lorong berdinding besi yang menembus sisa gedung. Sangat luas sampai tujuh puluh lebih anggota tim bisa masuk.

Lorong berdinding besi kelabu ini sepanjang dua puluh meter. Orang berbaju serba hitam berjaga di setiap lima meter, memegang tombak. Tungku-tungku kecil berisi api nampak menggantung di atap lorong, menyala redup menerangi lorong.

Tak lama kemudian mereka sampai di ujung lorong. Ardela mencengkram tangannya sendiri, menahan ledakan berbagai perasaan di hatinya—senang, penasaran, grogi.

"Selamat datang di Lintaswana atau klan hutan," kata Visandra. "Klan terbesar yang meliputi hampir seluruh hutan di Belantara."




---

Hai, awesome readers! Terimakasih sudah baca dan vote. Silakan langsung scroll ke bawah untuk baca chapter selanjutnya :)

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang