HOPE

13.4K 2.1K 191
                                    

"Kerahkan senjata, kuatkan jiwa raga," kata Ardela ke semua HT. "Jangan putus harapan, selamat berjuang untuk padang hijau, untuk rumah kita semua."


Pagi ini keheningan terasa berbeda.

Tim Panorama yang dipimpin Adikara siap di hutan pegunungan. Seratus prajurit bersembunyi di atas pohon, membidik panah atau senapan ke depan. Sementara enam ratus lebih menyebar di balik gelap hutan.

Semua mengenakan setelah hitam berikut rompi, pelindung lengan dan kaki dari besi, tak lupa membawa perisai di punggung.

Satu helikopter bersiaga di balik pepohonan, lelaki beralis tebal itu duduk di kokpit.

Terlihat Visandra duduk di dahan pohon, siap dengan busur. Juna mengucir kuda rambutnya, ia berlutut di balik semak, mata fokus ke scope night mode. Adikara bersembunyi di semak paling depan, cahaya fajar menyinari wajah tegas sawo matangnya.

Semuanya diam, siaga.

Tim Lintaswana yang dipimpin Erlangga siap di padang salju, tepat di luar hutan.

Tiga ratus prajurit, berbaris memanjang memagari hutan. Baris paling depan nampak mengendarai kuda. Lima puluh pemanah berada di atas pepohonan tak berdaun, berselimut kain kamuflase. Sementara satu heli berpilot bersiaga di dalam hutan, siap terbang.

Semua prajurit mengenakan mantel yang melapisi setelan prajurit. Ditambah perisai di punggung.

Mereka memiliki tugas utama yaitu, mencegah musuh mendekati hutan hijau.

Andaikan musuh kemari.

Elvan berada di baris depan, menaiki kuda hitam bersepatu tebal. Lencana putih terpasang di mantelnya. Dia menyelempangkan senapan, membawa pedang dan pistol di holster pinggang.

Wajah tegas semulus porselen itu nampak tegang. Mata coklat cerahnya menyisir padang salju yang menghampar luas.

"Fajar sudah datang," kata Erlangga, mata birunya menyapu padang salju. "Kanibal tak kunjung datang."

"Jika benar kanibal datang lewat sini," balas El. "Percayalah, kau akan tau."

Srrk! HT Erlangga dan Adikara berbunyi bersamaan. "Bagaimana?" tanya suara serak Ardela. "Ada pergerakan?"

"Nihil," balas keduanya bersamaan.

Srrk! Sekarang HT El saja. "El, kau disana? Aku takut pikiranku salah soal ini."

"Maharani," balasnya. "Tak apa, semua akan baik-baik saja."

Keadaan kembali hening. Di Panorama, di Lintaswana maupun di radio Ardela.

Tiba-tiba...

Di Panorama, terdengar suara terompet dari arah depan. Dua kali. Disusul teriakan semangat yang ramai bersahutan. Suara itu semakin keras, bahkan memenuhi hutan.

Pasukan di balik semak menyiagakan senjata ke depan dan pemanah siap melepas tembakan.

"Mereka datang!" kata Adikara. "Semuanya pada posisi!"

"Oke." Juna menarik napas dalam, siap menekan pelatuk. "Seenggaknya aku sudah menyatakan cinta."

Dia menoleh ke Visandra di atas pohon. Gadis berkepang itu mengangguk padanya lalu membidik panah ke depan.

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang