Dewan tim HOPE berada di perpustakaan Astana.
Ruangan ini luas berdinding batu kelabu. Lemari setinggi atap berdiri di kedua sisi. Lemarinya dipenuhi buku bersampul kulit coklat. Sementara di satu sisi dinding, jendela berbaris dan terbuka lebar.
Matahari nampak belum terbit. Cahaya jingga menyeruak dari di balik pegunungan hijau, bersinar mendorong langit gelap di atasnya. Namun, dewan tim HOPE sudah berkumpul. Ini mungkin pertemuan terpenting dalam hidup mereka.
Di tengah ruangan Ardela, El, Disty, Sagita, Juna ditambah Kalista duduk mengelilingi meja batu bundar. Chandelier lilin menyala di atas, menyinari wajah mengantuk mereka.
"Kasur di sini empuk, aku enggak bisa tidur." El meregangkan pundaknya. "Kurasa badanku terbiasa susah."
"Ya, aku bahkan tidur di lantai," balas Juna. Lalu ia menatap Ardela, songong. "Eh, Anak Penjaga, pertemuannya harus banget sepagi ini? Yang lain masih tidur manja."
Kalista menyikut Juna sedikit. "Kau harus belajar bicara sopan, Jidat Gondrong."
"Aku enggak ngomong denganmu, Kribo."
Ardela mengangkat tangan. "Kalian bisa teruskan adu lolongan kalian atau berhenti dan kita mulai bicarakan masa depan kita di padang hijau." Dia diam sejenak, semua pun kembali kondusif. "Sip, makasih. Maaf pertemuannya sepagi ini, aku ingin segera dengar kabar dari kalian. Ditambah, cahaya matahari pagi bagus untuk tulang."
Tadi malam Ardela mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota tim HOPE. Dia menyampaikan semua yang Adikara bilang, soal klan dan soal Dirga. Mereka terkejut sekaligus senang mengenai pembentukan klan, tak ada yang keberatan karena ini soal hidup damai di padang hijau. Mereka juga bersedia ikut menjemput Dirga meski harus berhadapan dengan para pemberontak.
Mereka rela berjuang di padang salju dan di padang hijau.
Sesuai hukum Belantara, setelah pertemuan itu mereka diminta memilih kandidat pemimpin klan. Tenggat waktunya pagi ini, harus disampaikan ke perwakilan kelompok kecil. Kandidat dengan pemilih tertinggi akan diminta kesanggupannya, jika tidak sanggup, maka diadakan pertemuan lagi. Setelah kandidat pemimpin menyanggupi, ia harus memilih komander dan penasihat.
Ardela memang memimpin tim HOPE selama mengarungi padang salju, tapi tugas pemimpin klan di Belantara sangat berat. Dia pikir mungkin teman-temannya punya kandidat lain yang lebih... berpengalaman. Mungkin Sekala, dia berumur dua puluh lima—paling tua di tim—dan seorang Penjaga.
Juna diminta bicara pertama. "Kelompok kecil yang aku wakili tetap memilih Ardela untuk pemimpin klan. Kau emang bawel dan kadang nyebelin, tapi mereka mempercayaimu." Dia berdehem. "Aku juga memilihmu. Jangan kegeeran ya."
Elvan, Disty, Sagita dan Kalista menyampaikan bahwa kelompok yang mereka wakili juga tetap memilih Ardela. Mereka bilang, Ardela yang memberi mereka semangat dan dipimpin olehnya membuat mereka merasa berharga.
"Kalian memang kompak." Ardela tersenyum sejenak kemudian menghela napas. Dia merasa bangga dipercaya oleh teman-temannya sekaligus khawatir karena dunia yang besar menanti di depannya. Dunia yang belum ia mengerti. "Tapi jujur, aku sangat takut, apalagi aku bukan tipe... pemimpin."
El mengusap pundak Ardela. "Jangan khawatir," katanya, begitu hangat. "Kami semua bersamamu."
Disty tersenyum. "Lagipula kau sudah menjadi pemimpin kami bahkan sebelum kau menyadarinya."
Semangat menyala di hati Ardela. Rasanya luar biasa dipercaya oleh mereka. Dia pun mengangguk yakin dan menyanggupi ajuan dari teman-teman tim HOPE. Oke, klan para penjelajah sudah memiliki pemimpin yang sanggup. Masih ada dua pilihan besar lagi.
Ardela harus memilih penasihat dan komander.
"Aku memilih penasihatku sendiri, yang sudah lama aku percaya bisa berpikir jernih di kondisi apapun dan bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dia juga mampu menjaga rahasia serta menjadi pendengar yang baik." Dia menarik napas, mengontrol degup jantung. "Kalista."
Gadis keriting itu menegang saat semua mata menatap ke arahnya. Dia pun tersenyum. "Dengan senang hati. Kebetulan aku sebelas tahun jadi teman sekaligus penasihatmu, udah sering menyelamatkanmu dari keputusan bodoh."
"Kau yakin?" Juna mendengus. "Kau bakal menasihati Del soal... klan dan hal-hal gila lainnya."
Kalista mengangkat satu alis. "Aku akan belajar, Jun-jun."
Memilih penasihat tidak sesulit yang Ardela bayangkan. Namun, menyiapkan pilihan komander membuatnya sulit tidur. Penasihat Adikara bilang, seorang komander merupakan kepala prajurit klan yang mengabdi untuk menjaga seluruh warga dan menjamin keamanan pemimpin klan. Bahkan, ia harus rela mati demi pemimpin dan warga klannya.
Rela mati. Itu dua kata yang menghantui Ardela semalaman.
Komander serta prajurit akan dilatih oleh instruktur dari Gemasatria dan diberi tanda prajurit. Mereka boleh tetap tinggal di klan tapi harus terus berlatih sampai dinyatakan cukup. Penasihat Adikara juga bilang, dengan maraknya kembali pemberontakan, komander dan prajurit mungkin tak punya banyak waktu untuk berlatih. Maka, Ardela harus memilih komander yang berpengalaman dan dihormati oleh anggota tim.
Mereka memang pernah bertarung melawan kanibal tapi mereka bukan prajurit. Di Graha tidak ada yang mendapat latihan militer, kecuali Penjaga. Ada Sekala, tapi dia sangat baru lulus. Selain itu, menurut pantauan Ardela, El lebih berpengalaman soal bela diri dan menggunakan senjata, meski El belajar sendiri. Satu-satunya alasan Chief Bara tidak pernah merekrut El adalah karena dia bandel.
Syukurlah, dia sudah tidak bandel lagi, tapi Ardela tetap sulit memilih. Ardela tak mau memaksa El rela mati untuknya.
"Aku akan memilih komander," kata Ardela, tegang. "Setelah ada kandidat yang mengajukan diri padaku. Kita punya waktu sampai nanti malam. Jika sampai nanti tak ada yang mengajukan diri, baru aku ajukan pilihanku. Gimana?"
Semua dewan mengangguk kemudian terdiam sejenak. Semua melamuni meja batu, memikirkan akan seperti apa hidup mereka. Membangun klan, menjadi komander, menjadi prajurit dan melawan pemberontak. Semua itu tidak pernah diajarkan di Graha.
Semua itu terdengar sulit.
"Sekarang apa, Del?" tanya Kalista.
"Kalian bisa kembali ke kegiatan masing-masing. Makasih atas waktunya." Lalu Ardela tersenyum. "Dan nanti malam ada peresmian klan baru kita di balai Astana. Dandanlah yang cakep."
Setelah itu mereka bubar, keluar perpustakaan untuk menyampaikan hasil rapat ke kelompok kecil masing-masing. Namun, El belum meninggalkan ruangan. Masih duduk di sebelah Ardela yang melamun dengan mata berlingkaran hitamnya.
"Tidurmu tidak nyenyak?" El tersenyum. "Mungkin kau butuh pelukanku."
Ardela tertawa kecil. "Dasar ganjen." Kemudian ia berdiri dan mengecek pakaiannya. Tunik putih berlengan kembung, celana katun dan sepatu bot sebetis. Semuanya sudah rapih. "Aku duluan ya, harus bicara ke Adikara mengenai hasil pertemuan ini dan menayakan banyak hal."
"Oh." El juga berdiri. Dia mengangguk tapi ekspresinya datar. "Pasti menyenangkan ya ngobrol dengan dia. Kau selalu bersemangat."
Ardela tersenyum lalu mendekat sampai wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Cukup dekat untuk menghirup wangi kulit El. "Kau cemburu ya?"
"Cemburu?" Matanya berlari menghindar. "Eng... enggaklah. Aku laki-laki yang toleran."
"Kau memang menggemaskan saat cemburu." Ardela menggenggam wajah El, menepuk pipinya sedikit. "Sampai jumpa di acara nanti malam, Cakep."
---
Hi, my awesome readers!! Maaf ya updatenya malem hehe terimakasih sudah baca dan sudah vote. Semoga kalian selalu enjoy baca ceritaku ini. Silakan baca chapter selanjutnya :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Adventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...