Pertama Kali

13K 2.4K 88
                                    

Setelah itu Ardela meninggalkan tempat kuda. Masih banyak tempat yang ingin dia lihat, namun perhatiannya dicuri oleh sekelompok prajurit Brajakelana yang sedang berlatih di lapangan rumput luas. 

Semua gagah mengenakan seragam prajurit serba hitam, ditambah tiga titik hitam di kedua tulang pipi mereka—tanda prajurit.

Mereka nampak berpasangan dan berlatih adu pedang, bunyi desing pedang terdengar bersahutan. Beberapa prajurit Astana ikut di sana, memantau latihan.

Ardela duduk di bebatuan di pinggir lapangan. Memperhatikan para prajurit—terutama si komander. Iren pun datang dan duduk di sebelah Ardela, leg brace miliknya nampak sudah bagus.

"Kau selalu kemari setiap pagi," kata suara imut itu. "Pemandangannya bagus ya?"

Ardela tertawa kecil. "Banget."

Di lapangan Elvan nampak gagah mengenakan baju serba hitam berlapis rompi kevlar hitam. Jubah hitam memanjang menutupi punggung sampai pahanya. Kedua kaki proposionalnya ditutupi sepatu bot kulit. Ditambah holster pedang di pinggangnya.

Dia berpasangan dengan Visandra. Gadis berkepang itu maju menyerang berkali-kali sementara El menangkis dengan pedang berkilapnya. Kedua matanya menatap tajam, fokus melihat gerakan pedang Visandra. El maju menyelengkat kaki Visandra hingga ia jatuh terlentang lalu menodongkan pedang ke lehernya.

Visandra menatap datar tapi kemudian mengangguk. "Kau semakin baik, Elvandra."

El menyodorkan tangan dan membantu Visandra berdiri. "Soalnya guruku hebat."

Keringat membasahi wajah dan leher El. Dia pun memejam sejenak, menikmati hembusan angin mengusap kulitnya. Mata Ardela seakan terperangkap di momen itu.

Tak lama kemudian Neswa datang. Di wajah sawo matangnya tergambar lambang prajurit. Dia menyapa Ardela kemudian berdiri di sebelah Iren. Mereka pun mengobrol sambil senyam-senyum. Sebisa mungkin Ardela menahan senyuman mendengar obrolan malu-malu mereka.

El di tengah lapangan langsung mengerutkan kening melihat mereka. "Neswa!" Suara lantang itu menembus ramai desing pedang. "Kemari sekarang juga!"

Neswa melotot kaget. Dia mendadahi Iren lalu berlari ke El dan berdiri tegak di depannya. "Ada apa, Komander?"

"Kau ngapain?"

"Umm..." Dia menelan ludah. "Hanya bicara dengan nona imut itu, Komander."

El mengangguk dengan wajah datar. "Kebetulan nona imut itu adikku," katanya. "Kau menembak gadis kesayanganku lalu sekarang naksir adikku. Kau gila ya?"

"Iya, umm... maksud saya tidak." Wajah Neswa menegang. "Kejiwaan saya sehat, Komander."

El menghela napas, terdengar berat. "Kembalilah ke lapangan."

Tak lama kemudian Iren datang. Dia melangkah cepat meski pincang. Kedua matanya menatap tajam. "Kak, kau akan judes ke semua cowok yang mengajakku ngobrol?!"

"Iyalah," balas El. "Itu tugasku sebagai kakak laki-laki."

"Kau lebay! Jika begitu terus, orang-orang tak akan menyukaimu."

El tersenyum. "Dik, aku komander bukan personil boyband. Aku enggak butuh disukai yang penting prajuritku disiplin dan berhasil."

"Ih, kau bicara seperti pria tua." Iren berbalik dan melangkah pergi. "Akan kuadukan kau ke Del!"

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang