Aliansi

16.9K 2.7K 118
                                    

Pintu kayu berdecit membuka di depan Ardela. Dua penjaga berbaju serba hitam yang mengantarnya pun mempersilakan masuk.

Untuk kesekian kalinya dia termenung. Ruangan ini luas berdinding kayu berhias ukiran berbentuk daun-daun kecil. Kotak-kotak kaca berisi lilin menempel di dinding, menyala jingga menerangi ruangan. Terlihat pula lukisan-lukisan pemandangan menghiasi dindingnya, semua diberi judul.

"Hujan Bintang." Dia menyentuh lukisan siluet seseorang yang duduk di bukit. Langit hitam nampak luas di atasnya dihiasi garis-garis cahaya yang berjatuhan.

Ketika dia masuk lebih dalam, terlihat sebuah kubah kaca di tengah atap. Tembus pandang sehingga ia bisa melihat langit di baliknya. Bulan sabit menyala di tengah hamparan langit hitam. Titik-titik bintang menghiasi di sekitarnya, bagai taburan berlian yang berkelap-kelip.

Di depan terdapat sebuah meja persegi. Peta timbul menghampar di atasnya, nampak terang terkena cahaya bulan. Dia pun meletakan kotak yang ia bawa dan melihat-lihat.

"Itu peta Belantara."

Dia mengejang kaget. Pria muda berjanggut tipis itu berdiri di kiri ruangan, di depan lemari yang dipenuhi buku-buku bersampul kulit. Dia melangkah ke Ardela sambil melipat tangan di dada, terlihat santai mengenakan blus tanpa selempang.

"Maaf membuatmu terkejut." Adikara tersenyum lalu melirik kotak di sebelah kaki Ardela. "Kau membawa sesuatu?"

Ardela mengambil kotak alumunium itu dan membukanya. Terlihat sebuah mantel hitam tebal berbahan kasmir yang dilipat rapih, di atasnya ada lencana tameng sewarna perak. Sekala baik sekali mau memberikannya—setelah Ardela capek memohon.

"Aku dan para penjelajah berterimakasih atas kebaikanmu. Kau menyelamatkan kami dan menyambut kami dengan baik. Itu sangat berarti bagi kami. Maaf, kami tidak bawa... oleh-oleh, tapi ada ini, mantel yang biasa dipakai Penjaga Graha saat bertugas keluar. Satu-satunya mantel Penjaga yang tersisa. Mungkin... bagus untuk dipajang."

Adikara tersenyum kagum saat menerimanya. "Terimakasih banyak, Ardela." Dia pun meletakannya perlahan di meja sebelah lemari buku. "Aku lihat kau memandangi lukisan tadi, kau boleh memilikinya jika mau."

Itu terdengar gila. Jangan-jangan orang ini akan memberikan semua barang yang Ardela pandangi. Untung tadi ia tak memandangi baju Adikara.

"Tidak, terimakasih. Lukisan itu... cocok di sini," balas Ardela. "Kalau boleh tau, siapa pelukisnya?"

"Seseorang dari generasi terdahulu. Suatu malam ia melihat titik cahaya di langit, banyak dan berjatuhan seperti hujan bintang. Dia pun melukisnya."

Ardela berpikir sampai keningnya mengkerut. Seketika ia ingat sesuatu dari buku sejarah kelas tujuh. "Satelit," katanya, Adikara pun bingung. "Itu bukan bintang. Itu satelit-satelit yang sudah tak beroperasi dan berjatuhan ke atmosfir bumi, tapi itu terjadi tahun... 2044, sembilan tahun setelah badai salju pertama. Belantara sudah ada sejak itu?"

Adikara mengangguk. "Di buku sejarah aku baca... para generasi terdahulu hidup di bangunan-bangunan bawah tanah selama lima tahun. Ratusan orang itu tak sanggup pergi ke satu-satunya benteng yang berhasil bertahan di atas salju yaitu Graha, jadi mereka bertahan di sana, tanpa cahaya matahari sedikit pun. Suatu hari beberapa orang pergi berburu ke padang salju. Mereka mencoba pergi tiga kilometer lebih jauh dari biasanya. Di balik perbukitan mereka menemukan sebuah hutan yang sudah pulih dari salju. Daun dan rumput sudah kembali tumbuh, bahkan ada sedikit langit cerah."

Mata Ardela membuka terkejut sampai tak berkedip. "Itu luar biasa."

"Generasi terdahulu pindah dan membangun kehidupan di sini." Dia terdiam sejenak, mengingat. "Mereka tak punya teknologi untuk menghubungi Graha jadi mereka meluncurkan suar, berharap ada yang melihat."

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang