Sebuah Keputusan

12K 2K 265
                                    

Sejak tengah hari, Ardela bersama Sagita sudah duduk anteng di depan tendanya. Radio berada di atas meja, menyerukan perkembangan di Graha. Mereka berdua agak was-was karena baterai cadangan tinggal dua batang sementara proses masih panjang.

"Sekarang cari pesawat kargo dan dua helikopter," kata Sagita sambil mengunyah roti. "Kurasa bahan bakar yang kalian temukan bisa cukup."

"Ini luar biasa, Kak!" sahut suara laki-laki. "Kau pasti girang melihat jet-jet ini. Kami tak bisa membawanya juga? Mereka sangat cepat."

"Bisa sih tapi cuma setengah jalan, kecuali kalian menemukan bensin tambahan." Dia berpikir sejenak. "Di sana ada mekanik aviasi? Tolong suruh cek fungsi kokpit, sistem navigasi, mesin dan perlengkapan keamanan."

Ardela melotot. "Waktumu tinggal tiga menit."

"Aku kurang mengerti heli," tambah Sagita. "Tapi pastikan baling-balingnya tidak macet."

"Siap, Kak!" balasnya. "Lusa kau akan membimbing kami terbang, 'kan?"

"Iya, Gibran akan membuat radio ini terhubung ke radio pesawat." Dia melirik Gibran yang sedang memasang antena buatannya di atas pohon. "Oh iya, para pilot harus tidur cukup, makan enak dan rileks. Kalian akan terbang mengarungi padang salju."

Setelah Sagita memberi perkiraan koordinat Belantara, Sheryl mengambil alih radio. Dia menyampaikan daftar barang yang berhasil tim Graha temukan. Senjata, perlengkapan medis, bensin, alat listrik dan lain-lain.

"Lalu gimana keadaan warga di sana?"

"Masih lengkap meski kedinginan dan makanan mulai menipis. Mereka tak sabar ingin melihat padang hijau." Sheryl tertawa kecil. "Dan melihat Brajakelana."

Ardela ikut tertawa. "Kami juga tak sabar bertemu kalian. Sudah ada tenda dan makanan hangat menanti di sini," balasnya. "Kuhubungi lagi besok dan lusa subuh Sagita akan membimbing penerbangan."

Kemudian radio dimatikan. Sagita pergi untuk latihan pagi bersama pelatih dari Gemasatria. Sementara Ardela kembali tidur cantik. Tidaklah, dia harus berkeliling Brajakelana untuk membantu pembangunan dan memantau latihan prajurit. Dia juga ada rapat dengan sektor pertanian nanti siang. Lalu menemui Sekala untuk melihat pembuatan granat.

Ditambah, dia harus cari cara untuk membebaskan Elvan.

"Tidak apa-apa, kesibukan ini membuatku tetap langsing."

Dia hendak melangkah, tapi terdengar derap kaki kuda mendekat ke arahnya. Itu Kalista datang dari arah gerbang Brajakelana, mengendarai kuda sewarna tanah. Rambut keritingnya nampak berkibar terkena cepatnya angin.

Perlahan kuda itu memelan hingga berhenti di depan tenda Ardela. Kalista turun, dengan cepat mengikatkan tali kudanya ke tiang. Lalu ia melangkah ke Ardela, wajahnya datar, tak penuh cengiran seperti biasa.

"Kau kembali lebih awal," kata Ardela.

Kalista mengangguk. "Aku udah dapet cukup informasi dari penasihatnya Adikara. Aku juga enggak tahan dengan bau minyak nyong-nyong di rumahnya, jadi aku pulang sepagi mungkin."

"Oke." Ardela tersenyum penuh semangat. "Jadi?"

"Konflik yang terjadi antara mereka tuh masalah... pribadi. Kevan sebagai Adikara merasa enggak dihormati oleh El." Dia menghela napas. "El cuma bisa bebas kalau Kevan memaafkanya dan mencabut gugatan. Sejauh apapun kau mengajukan belaan, kau tetap enggak punya kuasa meski dia komandermu."

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang