Ini adalah langkah awal menjadikan Belantara sebagai rumah.
Adikara bersama belasan prajurit Astana mengantar para penjelajah ke lahan baru mereka. Jaraknya dua jam jalan kaki dari gerbang Lintaswana.
Mereka melewati jalan tanah sejauh seratus meter yang diapit tebing batu tinggi. Terlihat sisa bangunan berupa beberapa gedung pendek yang mencuat di puncak tebing. Gedung-gedung itu berwarna coklat dan dikelilingi pepohonan. Ada pula barisan jendela yang sudah membatu di dinding tebing. Sisa bangunan itu seakan dimakan oleh tebing batunya.
"Selamat datang di lahan baru kalian, Brajakelana," kata Adikara yang naik kuda di paling depan. "Semua yang berada di dalam perbatasan adalah milik kalian."
Lahan ini luas dan asri.
Rerumputan membentang bagai permadani hijau sejauh mata memandang dengan pohon tumbuh berjauhan di atasnya. Hutan berpohon rapat nampak mengelilingi di kejauhan. Pegunungan meninggi di ujung pandang, bersentuhan dengan langit biru.
Cahaya matahari bersinar leluasa mengenai seluruh lahan, membuat embun di rumput berkilauan. Yang terbaik adalah terdengar samar-samar debur air, seperti suara air terjun, asalnya jauh di dalam hutan.
Di sini benar-benar bersih tanpa bangunan, sangat luas dan adem karena ditumbuhi pohon. Baru melihat sejenak saja ide berdatangan menyesakkan kepala Ardela. Anak-anak sektor pabrik bahkan sudah ribut menentukan apa yang akan mereka bangun.
Para penjelajah bersenang-senang sementara prajurit Astana menjaga di sekeliling. Iren menari berputar-putar di atas rumput, Kalista ikutan sambil berdendang. Beberapa orang main kejar-kejaran lalu sengaja menjatuhkan diri, merasakan rumput hangat di punggung mereka. Gelak tawa pun bercampur dengan derap lari.
Adikara dan rombongan prajurit Astana yang melihat mereka pun tertawa kecil. Beberapa sampai geleng-geleng.
"Hati-hati!" kata Ardela di tengah tawa. "Duh, kenapa sih kalian hobi lari-lari?"
"Makanya kau harus coba, Eaglet!"
Dirga menarik tangan Ardela. Mereka berdua ikut main kejar-kejaran di bawah cahaya matahari. Tertawa puas bersama yang lainnya sampai rahang pegal. Kemudian Dirga berhasil menangkap Ardela, mereka berdua pun jatuh telentang di rumput, bersebelahan. Meski bersimbah keringat dan kulit mulai perih, mereka tetap tertawa.
Setelah memberi peta dan dua ketera kuda berbagasi, rombongan Astana bersiap pulang. Ini adalah malam pertama Brajakelana tinggal di lahan sendiri. Adikara ingin memberi Ardela dan dewannya waktu untuk menyusun rencana.
Adikara menjabat tangan Ardela. "Hanya ini yang bisa kuberikan," katanya. "Semua barang kalian termasuk tenda dan peralatan ada di bagasi kereta kuda. Mulai besok bantuan akan datang dari klan lain. Bersiaplah menerima mereka, Maharani."
"Terimakasih banyak, Kev—Adikara." Ardela tersenyum. "Ini luar biasa. Aku tak tau cara membalas kebaikanmu."
"Kalian adalah tanggung jawabku. Membantu kalian adalah tugasku." Dia menatap Ardela sejenak. "Astana akan sepi mulai hari ini."
"Ya, aku akan rindu wangi Astana."
El berdiri tak jauh di samping Ardela dan Adikara. Dia melipat tangan di dada, menatap tajam mereka berdua seakan sedang marah-marah melalui matanya. Namun, ketika ia melihat selempang perak Adikara dan tiara yang dikenakan Ardela, dia perlahan merunduk, matanya menatap lemah.
Dia merasa tak punya apapun yang sebanding dengan Ardela.
"Kau dipersilakan berkunjung kapan pun, Maharani." Adikara mencium punggung tangan Ardela kemudian menatap rombongan di belakangnya. "Ingatlah, jagalah alam agar alam juga menjaga kalian. Apa yang kalian dapat adalah apa yang kalian berikan. Selamat membangun masa depan, Brajakelana."
Perlahan tapi pasti para penjelajah membangun desa mereka. Ardela bersama Kalista Juna dan sepuluh anak sektor pabrik duduk di atas rumput, menggambar denah bangunan-bangunan di desa ini.
Keesokan harinya belasan kereta kuda datang membawa bahan. Kereta-kereta merah dari Panorama membawa setumpuk kayu jati terbaik di Belantara. Tiga kereta kelabu membawa tumpukan batang besi, kaca serta lusinan genting. Satu kereta biru membawa baskom-baskom berisi berbagai ikan. Satu kereta hijau membawa keranjang-keranjang berisi bibit tanaman. Masih banyak lagi, Ardela sampai pegal menyalamai para pembawanya.
***
Dalam sepuluh hari desa Brajakelana mulai terbentuk. Pagi ini Ardela berkeliling untuk melihat-lihat.
Tangga tali dipasang ke kedua tebing sehingga prajurit bisa memanjat dan berjaga di atas. Pagi ini dua orang berjaga di atas masing-masing tebing, bersiaga dengan senapan sambil melihat sekeliling. Di bawah tebing berdiri satu tenda hitam besar berisi senjata. Tiga prajurit duduk di depannya, mengobrol sembari mengasah tombak.
"Pagi, Maharani!" sapa Sekala saat Ardela lewat. "Sudah sarapan? Butuh kuambilkan sesuatu?"
"Pagi, Kala. Sudah kok, makasih," balasnya. "Dan kumohon, panggil aku Ardela saja."
Di melewati dua puluh tenda besar yang berbaris di kiri dan kanan jalan. Semuanya berwarna abu-abu berhias swirl putih. Setiap tenda dialasi panggung kayu pendek. Tiang-tiang obor terpasang di depan tendanya sebagai pengganti lampu. Pohon nampak tumbuh di antara tenda-tenda tersebut, memayungi dari cahaya matahari.
Beberapa tenda memiliki tanda khusus. Ada tenda yang dipasangi papan bergambar palang merah, Disty nampak mondar-mandir di dalam mengurusi pasien. Adapula tenda besar yang dikelilingi pagar kayu pendek, itu disebut Markas, tempat Ardela dan para dewan rapat.
Orang-orang lalu lalang di jalan ini. Ada yang membawa keranjang berisi cucian. Ada yang mendorong gerobak berisi buah dan sayur. Ada juga yang sekedar main lari-larian. Mereka semua menyapa Ardela.
Tak jauh dari pemukiman terdapat kebun. Berupa tanah luas yang dibatasi pagar pendek. Kebun itu sedang disiangi oleh para ahli kebun—salah satunya Dirga. Di sebelah kebun ada dua kolam besar, beberapa orang sedang melemparkan makanan untuk ikan-ikan lele di dalamnya.
Belasan meter di samping kolam ada tempat kuda, besar dan berdinding kayu. Ardela pun masuk. Di kiri dan kanan berbaris belasan kotak kandang dengan kuda di dalamnya. Beberapa kuda nampak menjulurkan kepala keluar, meringkik pelan saat Ardela lewat.
"Selamat pagi, Cinta," sapa Gibran. Dia membawa kotak kayu berisi rumput. "Kau sewangi bunga aster di musim semi. Kau mencari sesuatu?"
Ardela tersenyum. "Aku mau menengok Daffodil."
Dia mengajak Ardela ke ujung dan keluar ke halaman belakang. Seekor kuda berdiri di atas rumput hijau, talinya nampak diikat ke tiang. Kuda itu begitu gagah dengan kulit seputih salju menyelimuti seluruh tubuh. Sementara rambut sewarna perak menjuntai di buntutnya.
"Hai, Daffodil." Ardela mengusap wajah kuda itu dan tertawa saat ia meringkik pelan. "Iya, kita akan jalan-jalan ke Astana nanti malam."
"Cantik, memang kau punya surat izin mengemudi... kuda?"
"Aku sudah berlatih. Lagipula Adikara memberiku Daffodil agar mudah ke Astana."
"Dia... sering memberimu hadiah ya, Sayang."
"Hanya sebagai rekan kerja kok."
"Tentu saja, Cantik." Gibran cengengesan. "Aku tau hatimu sudah nyangkut di Elvan."
Ardela hanya tertawa kecil dengan wajah semerah pantat bayi.
---
Hai, terimakasih sudah baca dan vote :) Dua chapter lagi akan kuupdate nanti malam.
Maaf juga yaa besok aku ga bisa update karena ada acara seharian. Jadi, hari ini aku update 4 chapter supaya kalian enggak ketinggalan cerita petualangan Ardela dan kawan-kawan. Thanks! :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Adventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...