Teror

11.9K 2.1K 49
                                    




Ardela berlari menyusuri pepohonan tak berdaun.

         Salju terasa membekukan telapak kakinya yang telanjang. Sekelilingnya begitu gelap tapi ia bisa mendengar langkah kaki, berlari mendekat. Terdengar pula jerit kesakitan yang bersahutan di balik kegelapan. Beberapa memanggil namanya.

         Mereka akan datang, Eaglet.

         Bisikan suara ayah dan ibunya terdengar berulang-ulang. Semakin lama semakin keras. Asalnya dari sekeliling Ardela, tapi tak ada siapapun.

         Lari Ardela melambat karena gaunnya berkali-kali tersangkut di dahan semak berdaun hijau. Dar! Dia mengejang mendengar suara ledakan di langit. Saat mendongak, terlihat pesawat meluncur jatuh dengan sayap yang diselimuti api. Dia pun berlari lebih cepat.

         Tiba-tiba El muncul di depan, mengenakan setelan prajurit yang robek-robek. Dia terdiam dengan luka sayatan di kening. Darah nampak membasahi sebagian wajah sampai rompinya.

         "Lawan, Del." Mata El membuka lemah. "Atau mereka akan merenggut segalanya darimu."

         Dia mengerang saat pedang menembus dadanya. Dia berusaha mengatakan sesuatu tapi darah muncrat dari mulutnya. Seketika ia jatuh ke salju, di atas kubangan darahnya sendiri.

         Seseorang berdiri tak jauh di depan Ardela, pria kekar dengan ikat kepala coklat mengitari keningnya. Agra. Dia memegang pedang yang berlumur darah.

         Ardela berbalik hendak lari namun belasan kanibal berbaju hitam compang-camping berlari ke arahnya. Menganga menunjukkan gigi tajam dan berteriak begitu nyaring sampai memekakkan telinga. Kanibal-kanibal itu mengurung Ardela, menggigit kedua tangannya dan mencabik kulitnya dengan taring mereka sampai darah terciprat kemana-mana. Dia pun menjerit nyaring.

         Seketika dia mengejang bangun.

         "Del, tak apa, tenanglah." El duduk di pinggir kasur, memegang kedua pundak Ardela. "Tidak apa, itu hanya mimpi buruk. Kau sudah bangun. Tak apa."

         Napas Ardela berderu cepat dan keningnya dibasahi keringat dingin. Dia melotot melihat sekeliling. Dia berada di dalam tenda kelabu, cahaya matahari nampak mengintip dari jendela di sampingnya. Perlahan napasnya tenang saat sadar ia duduk di kasur, masih mengenakan gaun tidur selutut.

         Dia melamuni El yang duduk di sisi tempat tidur, begitu dekat dengannya. El mengenakan seragam prajurit dan membawa pedang di holster.

         Perlahan tangan Ardela menyentuh dada El. "Kau... tidak terluka?"

         El nampak bingung. "Tidak, aku cuma dari latihan pagi."

         "Syukurlah." Ardela menyambar memeluk El, bahkan sampai naik ke pangkuannya. "Tadi terasa sangat nyata."

         "Pelan-pelan, Nona." El pun balas memeluk. "Kau beberapa hari ini mimpi buruk terus. Mau menceritakannya?"

         Ardela memendam wajah di pundak El. "Aku mau memelukmu saja."

Rasanya lebih baik saat mendekap tubuh hangat itu, tapi pikiran Ardela masih tersangkut di mimpi tadi. Terutama gambaran ketika Agra menghunuskan pedang menembus dada El. Dia pun memeluk lebih erat, menghirup wangi mint bercampur aroma matahari di tubuh El.

Ini kenyataan, semua baik-baik saja.

Ardela melepas pelukan, tapi masih duduk di pangkuan El. Dia memandangi wajah El yang kemerahan terbakar cahaya matahari. Lalu ia menenggelamkan dirinya di kedua mata cokelat terang itu yang juga sedang menatap padanya.

Untuk sejenak mereka hanya bertatap dalam diam. Kemudian El mendekatkan wajahnya sedikit hingga hidung mereka bersentuhan. Dia pun tersenyum tipis.

"Aku bersedia kok kalau kau mau curhat," katanya dengan suara hangat itu. "Atau kau mau sesuatu? Biar kuambilkan."

Ardela menggeleng lalu menlingkarkan kedua tangannya di leher El. "Yang aku mau sudah di sini."

El mengangkat alis. "Sekarang kau jago merayu ya. Bagus, itu kemajuan."

         Tiba-tiba seseorang membuka pintu tenda, menyelonong masuk bersama rambut keriting sepundaknya. Seketika ia berhenti dan menganga melihat Ardela duduk di pangkuan El, ditambah wajah mereka bersentuhan.

         "Waw!" teriak suara alto itu. "Masih pagi kalian sudah lengket saja nih."

         Ardela langsung melepas pelukan sementara El melompat berdiri seperti bulu kesetrum. Keduanya celingak-celinguk menghindari mata satu sama lain. Tanpa menatap Ardela, El melambai lalu bergegas keluar tenda melewati Kalista yang nyengir padanya.

         "Kalista!" Ardela nampak merona. "Kenapa tidak mengetuk dulu?"

         "Ini tenda, apanya yang mau diketuk?" Dia masih nyengir. "Sekarang aku ngerti kenapa hampir tiap pagi pacarmu itu kemari."

         "Kami... enggak pacaran." Ardela berdehem. "Belum."

         Kalista tertawa lalu duduk di pinggir kasur. "Aku kemari hanya mau mengingatkan, hari ini kau ada janji dengan penggemar rahasiamu."

         "Siapa? Kevan? Janji apa?"

         "Eh, kau lupa?! Kalian berdua mau tur keliling Belantara!"


---

Hi, my awesome readers!! Terimakasih sudah baca dan vote ceritaku, semoga kalian tetap enjoy bacanya :D Silakan scroll ke chapter selanjutnya

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang