Bincang Petinggi

13.7K 2.4K 157
                                    


Ardela melangkah menuju gazebo kayu beratap kubah yang terletak di tengah taman. Semak mawar putih nampak tumbuh di sekitarnya.

Adikara duduk di sana, seperti biasa mengenakan selempang peraknya. Dia sedang menikmati secangkir teh sambil menonton prajurit Brajakelana berlatih. Ketika Ardela mendekat, dia termenung.

"Selamat pagi, Adikara." Ardela tersenyum. "Maaf, apa aku mengganggu?"

Perlahan dia berdiri dan tersenyum. "Maharani, kau nampak begitu... sehat." Dia menyilakan Ardela duduk di seberangnya. "Kau sama sekali tidak mengganggu. Aku senang melihatmu. Apa dokter Radisty tau kau kemari?"

"Tidak." Ardela duduk, masih tersenyum. "Ngomong-ngomong, terimakasih hadiahnya."

Adikara mengangguk. Untuk sejenak ia terpaku melihat Ardela tersenyum. Dia pun mengerjap. "Apa yang kau rasakan sekarang?"

"Enggak kesakitan lagi," balasnya. "Aku ingin membicarakan sesuatu. Boleh?"

"Tentu saja, Maharani, mengenai apa?"

Ardela menegakkan tubuh dan menumpuk kedua tangan di atas meja. Senyumnya perlahan luntur, berganti menjadi wajah datar menahan amarah. Api seakan berkobar di matanya. Adikara menghela napas lalu mengangguk pelan, seakan mengerti bahasa tubuh Ardela.

Lima belas menit berikutnya mereka habiskan untuk membahas perjanjian damai yang telah rusak. Adikara pernah beberapa kali membuat janji dengan Agra dan tidak terjadi hal buruk, makanya ia yakin mengenai misi kemarin.

Dengan dirusaknya perjanjian damai maka para pemberontak terlepas dari toleransi Adikara. Ditambah, Agra mengirim pesan kepada semua Pradana bahwa para pemberontak akan merebut Belantara dari para pemimpin lemah. Mereka juga akan menghabisi para penjelajah beserta orang asing manapun yang masuk Belantara. Pesan tersebut diikuti pembakaran dan penjarahan di beberapa klan.

Adikara membentuk pasukan khusus untuk mengejar dan menghukum para pemberontak, terutama Agra dan Zema, sebelum jumlah mereka semakin banyak dan menyemai peperangan. Sejauh ini belum banyak yang tertangkap. Belantara sangat luas dan masih banyak hutan yang belum tersentuh manusia sama sekali.

Ardela mendadak migrain. "Saat lolos misi HOPE tak terpikirkan olehku bakal duduk di sini, ngobrol soal klan dan... pemberontakan."

Lalu Adikara menambahkan bahwa golongan pemberontak telah meninggalkan klan masing-masing dan bergabung bersama Agra. Golongan pemberontak itu sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu, diam-diam jumlah mereka terus bertambah. Karena sekarang sudah merasa cukup kuat, mereka tak butuh perjanjian damai lagi.

Adikara juga berkali-kali meminta maaf ke Ardela. Seharusnya ia menyusun kembali strategi karena misi kemarin melibatkan para penjelajah—sasaran utama pemberontak.

"Elvandra sudah menyampaikan pikirannya dan dia benar."

"Oke, dia benar tapi tetap ditonjok jendralmu?"

"Yang ia sampaikan benar, Maharani, tapi cara menyampaikannya kurang tepat."

Ardela mengangguk. "Kurasa dia belum bisa membedakan sikap sebagai komanderku dan sebagai... temanku," balasnya. "Kadang hati bertindak lebih kuat dari pikiran."

"Kalian masih baru. Semua membutuhkan proses." Lalu Adikara menatap Ardela, seperti melamuninya. "Sekali lagi aku minta maaf. Jika kemarin pemberontak melukaimu, aku tak akan memaafkan diriku sendiri."

"Ya." Ardela menghela napas. "Memang bukan pemberontak kok yang melukaiku."

Kemudian mereka membicarakan pelatihan prajurit Brajakelana. Adikara terkesimah karena mereka cepat belajar, beberapa bahkan memang sudah lihai menggunakan pisau dan kampak. Mereka juga kuat diberi segala latihan fisik meski kulit mengelupas terbakar matahari. Elvan memang tak salah pilih.

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang