Setelah menempuh satu jam perjalanan menembus hutan, Ardela mulai menghirup aroma berbeda di udara. Seperti perpaduan aroma garam dan sedikit amis ikan. Dia pun menarik napas panjang, menikmati aroma yang baru dan menarik itu.
"Wangi pantai, Maharani." Adikara terawa kecil. "Kita sudah dekat."
Ketika pintu kereta kuda dibuka, aroma pantai menyeruak masuk diikuti semilir angin yang mengibarkan rambut Ardela. Dia membuka sepatu botnya lalu turun dari kereta, memijakkan kaki di atas pasir putih. Dia tertawa merasakan pasir di bawah telapak kakinya, terasa hangat sekaligus menggelitik.
Lahan pasir bersentuhan dengan ombak biru yang bergulung lembut menyapu pesisir. Dia pun mendekat ke pantai, merasakan kedua kakinya dibasuh air laut yang datang dan pergi. Lalu ia memejam, merasakan angin sewangi garam mengusap wajahnya.
Ketika membuka mata ia melihat laut biru menghampar sejauh mata memandang, ombaknya seakan tak henti menari. Cahaya matahari membuat airnya seakan berkelap-kelip. Saat memandang jauh, di ujung sana permukaan laut nampak bersentuhan dengan langit biru.
"Indah sekali." Kedua mata Ardela nampak berat oleh air mata. "Kuharap kalian ada di sini melihat ini bersamaku, Ayah, Ibu."
Kemudian ia kembali ke kenyataan.
Adikara mengajaknya ke kediaman Pradana. Mata Ardela membuka lebar melihat gedung tiga lantai berdinding biru tua yang berdiri di atas sebuah pulau kecil. Gedung itu mirip kastil berkat menara di keempat sisinya. Terlihat patung berbentuk jangkar di atapnya, mengkilap di bawah cahaya matahari. Air laut nampak berdebur menabrak dinding karang yang mengelilingi pulaunya.
Letak pulau kecil itu tak jauh dari bibir pantai, mereka pun naik perahu menyebrangi laut. Ardela tak henti melihat ke air yang sebening kaca. Dia menonton sekelompok ikan kecil berenang di antara karang warna-warni. Kemudian ia menyentuh permukaan air dengan jemarinya dan tertawa sendiri.
Setelah melewati hampir enam puluh anak tangga untuk mendaki tebing karang, mereka sampai di kediaman sewangi pantai ini. Mereka disambut pria muda berbadan atletis dan berkulit gelap. Dia mengenakan baju serba hitam serta jubah biru tua berhias mutiara.
Yang menarik adalah pria muda itu memiliki sepasang mata sebiru batu safir.
"Maharani, selamat datang di Bahari, klan yang menjaga Laut Safir." Pradana mencium punggung tangan Ardela. "Kevan benar, kecantikanmu mampu menghangatkan nurani. Tidak hanya jelita, kau pula berhati rupawan. Aku sudah dengar mengenai Neswa."
"Terimakasih." Ardela tersenyum bingung. "Kau sangat... puitis."
Lalu bukannya berjabat tangan, Pradana Bahari dan Adikara berpelukan seperti dua kawan akrab bahkan bertosan juga sambil tertawa.
"Maharani, ini Erlangga, kawanku sejak kecil," kata Adikara. "Berhati-hatilah, dia memiliki ucapan dan mata terindah di Belantara."
***
Hari semakin senja, matahari telah bersembunyi di balik garis air laut di kejauhan.
Mereka berdua menginap di Bahari karena Adikara yakin Ardela akan menyukainya. Dia mendapat kamar dengan kasur berkelambu, bak mandi bertabur kuntum bunga mawar dan beranda yang menghadap ke laut lepas.
"Saya sudah sampaikan ke pelayan di sini agar Anda dapat kamar tamu terbagus." Neswa kerepotan membopong dua tas punggung. "Dan biarkan saya susun barang Anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Aventura(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...