Akhirnya Ardela bisa kabur dari rombongan prajurit Brajakelana.
Dia berada di pedesaan Panorama, melangkah di bawah cahaya bulan. Di kiri dan kanan berbaris bangunan kayu—ada salon, toko buah dan lain-lain. Tiang obor berbaris di sepanjang jalan, ikut menerangi malam. Orang-orang nampak lalu lalang, ada pula yang naik kereta kuda.
Tanpa mengenakan tiara dan jubah putihnya ditambah tanpa dikawal, Ardela bisa melebur bersama warga. Dia melihat gerobak penjual lilin warna-warni di pinggir jalan lalu membeli segulung gulali di toko permen.
Tak lama kemudian ia melihat sebuah kedai. Ketika masuk, udara hangat perapian seketika memeluknya. Meja berkursi kayu nampak menyebar di depannya, ditambah chandelier lilin menggantung dari atap. Yang terbaik adalah ia menghirup wangi cokelat.
Dia hendak melangkah ke konter, tapi seseorang berdiri menghalanginya. Pria berkulit sawo matang. Bermata besar sebelah dan di sepanjang pipinya terdapat bekas luka bakar. Dia memandang Ardela dari kepala hingga kaki.
"Ada gadis baru di desa ini." Dia mengambil sedikit rambut Ardela, memuntirnya. "Tersesat, Nona Cantik?"
Ardela menepis tangan pria itu. "Jangan sentuh aku."
Dia tertawa kecil, mendekat lagi dan hendak merangkul. Ardela pun menangkis tangan pria itu kemudian dug! menghantamkan keningnya ke hidung pesek itu. Seketika pria itu mundur sempoyongan sambil memegangi hidungnya yang mimisan.
Untuk sejenak kepala Ardela nyut-nyutan, tapi dia stay cool. "Sudah kubilang jangan sentuh aku."
"Bagaimana kau bisa melakukan itu?!"
"Diajari komanderku."
"Komander?" Seketika pria itu melotot. "Anda... Ma... Maharani dari klan pen... penjelajah?!" Lalu ia merunduk sedikit. "Sa... saya mohon maaf, Maharani. Saya tidak mengenali wajah Anda."
Baru saja Ardela mau marah-marah, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Terdengar derap langkah lari bercampur teriakan melengking. Kemudian disusul suara jendela-jendela yang dipecahkan. Ketika Ardela keluar, terlihat sekelompok pria berbaju coklat berlarian di jalan, menyerbu dalam jumlah puluhan.
Mereka membabi buta memecahkan kaca bangunan dengan batu dan menembaki panah ke segala arah. Warga Panorama pun berlarian, beberapa nampak tumbang dengan panah menancap di punggung mereka.
"Pemberontak," bisik Ardela ngeri. Dia melihat sekeliling tapi tak ada prajurit Brajakelana.
Wush! Para pemberontak melempari semua bangunan dengan bola api, seketika dinding kayu dilahap api jingga. Hanya dalam hitungan beberapa detik saja, beberapa bangunan di sebelah kedai ini terbakar. Para pemberontak tertawa melihat api itu kemudian menerobos masuk kedai dan toko, terdengar teriakan di dalam sana.
Bola-bola berapi meluncur ke arah kepala Ardela, dia pun merunduk. Seketika api menjilati lantai kedai, mengejar orang-orang di dalamnya yang berteriak. Si jago merah juga naik ke dinding hingga menaungi atap. Membuat batang-batang kayu berjatuhan ke Ardela.
Dia hendak lari tapi... "Awas!" Pria tadi menariknya, panah berbuntut hitam pun lewat di depan Ardela, hampir mengenai perutnya. Lalu pria itu menarik pisau dari saku. "Ikutilah jalan ini Anda akan sampai di kediaman Pradana! Sekali lagi saya minta maaf telah kurang ajar."
Meski bingung, Ardela segera berlari sambil merunduk. Dia melewati bangunan kayu terbakar di kedua sisi jalan. Panah datang dari belakang, terdengar bergantian melesat di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Aventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...