Perubahan

13.3K 2.1K 145
                                    

Perlahan El membuka mata. Dia pun tersenyum melihat pemandangan yang berbeda pagi ini. Ardela masih terlelap di sampingnya, menghadap kemari. El mendekat sedikit, mendengar irama napas Ardela, memadangi kulit putih langsatnya yang disapu cahaya pagi dan matanya yang memejam tenang.

Untuk beberapa menit, El hanya berbaring di sana memandangi Ardela tidur. Sesekali iseng mencolek bibir Ardela dengan telunjuk, membuatnya mengerutkan kening.

"Ternyata Maharani bisa tidur seperti kerbau," bisik El. "Tapi wajahnya sama sekali tak mirip kerbau kok."

Ardela tersenyum tipis. "Aku dengar itu." Dia bergeser dan bersandar di dada El, masih memejam, merasakan wajahnya menyentuh kulit hangat El. "Sudah lama aku tidak tidur nyenyak."

"Ya, aku memang membuat gadis-gadis nyaman." El mengejang saat Ardela mencubit pinggangnya lalu cengengesan. "Santai, masih pagi."

Dia menarik jubah komander yang ia gunakan untuk Ardela, menyelimutinya sampai pundak. Dia merangkul Ardela lalu menyandarkan wajah ke kepalanya sambil memandangi ruangan. Melihat lembutnya cahaya keemasan pagi mengisi rumah kayu ini dan mendengar kicau burung di kejauhan. Saat menarik napas, udara pagi sewangi dedaunan mengisi pikirannya.

Jika boleh, ia ingin berada di momen ini selamanya. Dia hendak memejam lagi, namun...

Srrk! Terdengar seseorang memanjat tangga rumah pohon dengan cepat. Kemudian gadis berambut keriting sepunggung dan berpipi gembil itu muncul di pintu rumah pohon. Dia nampak mengenakan seragam perawat berwarna abu-abu.

"Wah!" teriaknya dengan suara cempereng, perlahan ia nyengir. "Aku tau ini akan terjadi!"

Seketika El mengejang dan bangkit duduk, membuat Ardela terbangun kebingungan. Mata coklat terang itu melotot. "Iren!" Dia segera mengambil kaos dan menutupi dadanya. "Kok tau aku di sini?!"

"Kau tak ada di rumah, Del tak ada di rumah. Tak mungkin sekedar kebetulan. Aku coba ke sini deh." Iren melipat tangan di dada, masih nyengir. "Kalian habis ngapain?"

"Main karambol," balas El, datar, sambil mengenakan kaosnya. Dia melirik Ardela yang tertawa kecil. "Maaf, Del, dia emang berisik."

"Dia ketularan dirimu, Komander."

"Eh, berhetilah nyengir seperti itu," kata El ke Iren. "Bukankah kau ada shift pagi?"

Iren semakin nyengir. "Ya, tapi Disty menyuruhku mencari kalian, terutama Del."

Wajah Ardela menegang. "Memangnya ada apa?"

"Dia ingin meminta saranmu untuk acara minggu depan dan... kau harus dengar kata pertama Arion!"

Kebahagiaan seketika tumbuh di wajah Ardela. "Kau serius?! Aku akan segera ke sana!"

Iren melambai lalu pergi, Ardela pun segera bangkit, tak berhenti tersenyum lebar. Dengan cepat ia mengenakan gaun sutra itu di atas tank top dan celana pendeknya. Sementara El kebingungan, apalagi melihat Ardela mendadak segirang itu.

"Aku tak percaya pagiku seindah ini." Ardela berbalik dan menarik rambutnya ke depan, menunjukkan resleting gaunnya yang terbuka.

"Acara apa sih yang kalian bicarakan?" El memasangkan resleting belakang gaun Ardela. "Apa yang tak kuketahui?"

"Akan ada gadis Brajakelana yang melepas masa lajang."

El mengerutkan kening. "Tapi 'kan kau—"

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang