Pagar kayu Astana terbuka.
Kastil batu kelabu setinggi lima lantai berdiri tak jauh di depan. Patung kepala singa itu terpampang gagah di puncak atapnya. Obor-obor menggantung di dinding kastil, membuat kastil terang di tengah kegelapan malam. Halaman rumput hijau membentang di depan kastil. Danau di tengahnya nampak berhias lilin-lilin yang mengambang di permukaan air.
Beberapa kereta kuda berbaris di depan gerbang Astana. Satu persatu pasangan berpakaian mewah serta berselempang turun dan memasuki gedung. Prajurit Astana nampak mengkawal di kiri dan kanan mereka.
Sementara rombongan Brajakelana semuanya naik kuda. Ardela mengendarai kuda seputih salju itu bersebelahan dengan Kalsita. Enam prajurit mengendarai kuda di sekeliling mereka. Elvan memimpin di paling depan mengendarai kuda sehitam malam, nampak gagah mengenakan setelan prajurit ditambah jubah hitam.
"Selamat datang, Brajakelana," sapa seorang prajurit Astana. "Selamat datang, Maharani."
Ardela hendak turun dari punggung Daffodil. Seketika prajurit beralis tebal dan prajurit kurus berkulit sawo matang itu datang bersamaan, menyodorkan tangan. Mereka berdua pun menatap bingung satu sama lain. Prajurit lain, termasuk El, tak tahan cengengesan.
"Tak apa, Sekala, Neswa," kata Ardela. "Aku bisa turun sendiri."
Setelah turun, Neswa langsung mengambil tali Daffodil dan menariknya untuk parkir. Sementara Sekala membantu Ardela membuka jubah kelabu yang ia kenakan dan membawanya.
Ardela nampak mengenakan dress putih selutut dengan lengan berbentuk terompet. Diteruskan celana kulit serta sepatu bot hitam sebetis. Tak lupa dengan swirl putih di tulang pipinya dan tentu saja, tiara menghiasi rambut hitamnya yang dicepol rapih.
El menyodorkan lengan, Ardela pun menggandeng lengan berotot itu. Kemudian mereka berdua menaiki tangga teras dan masuk Astana. Disambut ruangan luas berlantai kayu mengkilap dan chandelier lilin yang bersinar di atap.
Di sini ramai. Prajurit berdiri di mana-mana, sepertinya berasal dari berbagai klan. Mereka mengobrol tapi segera memusatkan pandangan pada rombongan Brajakelana yang lewat di tengah. Beberapa melamuni wajah mereka, ada pula yang melihat dari kepala hingga kaki.
Ardela dan El terus melangkah. Sementara Kalista, Juna, Aksa, Sekala dan Sagita tetap di ruang depan bersama prajurit dan penasihat klan lainnya. Mereka pun terdiam grogi di tengah hujan tatapan.
"Maharani Ardela dan Komander Elvandra dari Brajakelana!"
Perlahan mereka melangkah masuk balai Astana. Di ujung terdapat meja bundar besar berlapis keramik, nampak berpendar di bawah chandelier. Ada tiga belas kursi bersandaran tinggi mengitari meja. Di atasnya terdapat mangkuk-mangkuk berisi makanan dan berbagai buah.
Lima Pradana bersama pasangan berdiri di belakang kursi. Mereka mengenakan pakaian warna klan masing-masing. Semua mata mengikuti Ardela dan El sampai mereka berdiri di belakang kursi. Lutut Ardela pun melemas dimakan rasa gugup.
"Adikara Kevan dari Lintaswana!"
Pria tinggi berjanggut tipis itu memasuki balai. Melangkah tegap mengenakan pakaian serba hijau gelap berhias selempang perak. Rambut gondrongnya nampak dikucir kuda. Dia pun duduk dan semuanya ikut duduk.
Setelah mengucapkan kalimat pembuka, Adikara memperkenalkan para pemimpin klan beserta pasangan mereka. Ardela sulit menghapal nama mereka, tapi ia tetap tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Aventure(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...