Ardela melangkah mengikuti Aksa, berjalan cepat di belakang barisan tenda. Ardela tetap menyiagakan parang, mata dan telinganya juga fokus. Wajahnya mulai banjir keringat melewati tenda-tenda yang dinaungi api.
Selama berjalan, Aksa menghalangi Ardela dengan lengan. Sementara pedang ia siagakan di tangan satunya. Mata jernih itu juga sigap melihat kiri dan kanan.
"Aku hanya penasaran," kata Aksa. "Kau dan El sedang bertengkar ya?"
"Iya, ceritanya... panjang."
"Jangan khawatir, kalian pasti cepat baikan." Aksa tersenyum. "El tetap peduli dan bersikeras melindungimu meski sedang marah. Itu pertanda rasa sayangnya mengalahkan amarahnya."
Ardela tersenyum sedih. "Kuharap itu benar."
"Siapa yang mengacau sampai kalian bertengkar? Dia ganjen ke gadis lain?"
"Tidak, aku yang mengacau." Ardela melamun sejenak. "Aku melukai hatinya. Dia punya seribu alasan untuk membenciku."
"Tapi dia punya satu alasan untuk tidak membencimu, dia menyayangimu. Aku yakin itu mampu mengalahkan seribu alasan."
"Ucapanmu seperti puisi." Ardela tertawa kecil. "Pasti kau sering merayu Sheryl dengan puisi ya."
Aksa ikut tertawa. "Sayangnya, Sheryl sudah kebal dengan rayuanku."
Tiba-tiba Neswa datang dari balik pepohonan, tepat ke depan mereka berdua. Dia menggendong Iren yang tak sadarkan diri. Wajah Neswa pucat dan bibirnya gemetar. Dua panah masih menancap di bawah pundak, darah sampai membasahi seragamnya.
Dia jatuh berlutut lalu batuk memuncratkan darah. "Eir... Eirenne terluka, tapi aku menjaganya sesuai perintah Maharani."
Jantung Ardela seakan melompat. Dia memeriksa luka Neswa, panah menancap begitu dalam sekitar dua senti di atas jantungnya. Firasatnya pun tidak enak. Sementara Aksa hendak mengambil Iren, tapi Neswa menggeleng lalu memaksa berdiri meski kedua tangannya gemetar.
"Apa yang kau lakukan?! Biarkan Aksa membawa Iren. Kau kehilangan banyak darah."
"Tak apa, aku akan... membawa Eirenne ke... komander," katanya. "Raksa, tolong bawa Maharani... menjauh, masih ada... pemberontak di hutan. Mereka menuju... tenda medik."
Laporan El salah, ternyata masih ada pemberontak di hutan. Ardela merinding karena banyak warga yang sedang lemah di tenda medik. Sebelum dia sempat bicara, Neswa melangkah melewati tenda yang terbakar, menuju jalan desa. Langkahnya cepat tapi sempoyongan.
"Kita harus membantunya!"
Aksa menarik tangan Ardela. "Dia mantan prajurit Astana, dia kuat. Aku harus membawamu ke tempat lain kemudian melindungi tenda medik."
"Tidak!" Ardela memutar parang di tangannya. "Aku akan membantumu."
Mereka berdua pun berlari lurus menuju tenda medik. Keringat seakan diperas dari tubuh dan kaki sampai terasa nyeri di setiap langkah, tapi mereka tak memelan. Tenda besar berwarna putih itu nampak lima puluh meter di depan.
Namun, sekelompok orang berbaju cokelat datang dari pepohonan. Berlari begitu cepat dan seketika mengepung mereka berdua sambil membidikkan panah. Mereka pun berhenti, jantung langsung berpacu apalagi melihat ada Zema di sana. Dia membidikkan panah ke arah kepala Ardela.
Aksa melindungi Ardela di belakangnya sambil mengacungkan pedang ke depan. "Pergilah!"
Zema menembakkan panah dan menggores tangan Aksa sampai pedangnya terlepas. "Atau apa?" Dia mendengus. "Kau tidak bersenjata dan komandermu tak akan menolong. Dia sedang sibuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah (Book 2)
Pertualangan(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru Ardela dan kawan-kawan. Mereka akan dibawa memasuki dunia penduduk asli padang hijau. Melihat tempat...