Hari Baru

10.7K 2K 117
                                    

Ini pemandangan langka.

Matahari masih mengintip di ufuk timur, tapi Sagita sudah bertengger di atas pohon. Dia duduk di pertemuan cabang bersama radio di tangannya. Wajahnya yang sepucat salju itu dipenuhi rasa takut. Juna dan Sekala berjaga di bawah dengan tangan siap menangkap kalau Sagita jatuh.

"Santai saja." Sekala mengangkat kedua alis tebalnya. "Aku suka kok menangkap perempuan."

Juna mendengus. "Dasar Penjaga kesepian." Dia melotot saat Sekala menoleh. "Apa lihat-lihat, Alis Kasur?! Mau menyetrumku?!"

Sebenarnya Sagita tak sendirian. Ardela duduk satu dahan di bawah Sagita, berpegangan erat sampai kedua tangannya kapalan. Maklum, ini pengalaman pertama. Dia sempat sesak napas melihat kakinya begitu jauh dari daratan.

"Ya, benar tekanlah tombol itu," kata Sagita ke radio. "Dan pastikan antena setinggi mungkin di atas kalian. Sip, ini kuberikan ke bos."

Tangan Ardela gemetar saat memegang radio, antara gugup dan takut jatuh. Dia pun menghela napas panjang. "Di sini Ardela dari tim HOPE. Di sana siapa? Ganti."

Untuk sejenak hanya ada bunyi kerasak-kerusuk. "Ini Sheryl dari sektor seni. Hai, Ardela, kau terdengar sehat. Apa Aksa baik-baik saja? Ganti."

Juna cekikikan di bawah, Ardela pun memelototinya. Dari sekian banyak korban selamat, Ardela harus bicara dengan istri mantan pacarnya, tapi dia tetap tenang. "Hai, umm... Aksa masih tidur."

"Oh iya, Sagita sudah menjelaskan keadaan di sana. Aku agak iri." Dia berdehem. "Tapi... pemberontak terdengar mengerikan. Aku turut bersedih."

"Makasih." Gantian Ardela yang berdehem. "Umm... kau dan bayimu sehat? Gimana keadaan di sana?"

"Ya, dia setangguh ayahnya."

Oh.

Kemudian Sheryl mulai bercerita. Singkatnya, ada sekitar tiga ratus korban selamat. Sebagian terjebak di balai Graha, di kelilingi reruntuhan. Sebagian tersebar di sektor lain, terjebak reruntuhan juga. Ada pula belasan Penjaga di semua sektor. Mereka semua bisa berkomunikasi melalui HT Penjaga.

"Awalnya, ada lima ratus lebih yang selamat," katanya putus-putus. "Tapi dinding di beberapa sektor bolong parah hingga salju dan udara dingin masuk. Hampir setiap hari ada yang meninggal akibat hipotermia."

Ardela memejam sejenak. "Bagaimana kau dan yang lain bertahan selama ini?"

Sheryl bilang balai Graha dikelilingi reruntuhan sehingga tak ada salju masuk. Listrik kembali menyala dua jam setelah ledakan, jadi mereka bisa bernapas dan tidak kedinginan. Setelah dua hari, mereka mengangkut puing mencari jalan keluar. Beberapa orang berhasil keluar dari balai mencari makanan, air dan korban selamat di sektor lain.

Keadaan tetap buruk karena tak ada cukup persediaan untuk semua orang. Ada yang bertengkar berebut air sampai saling tinju. Beberapa kelaparan dan meninggal, tapi sulit untuk mengangkut jasad mereka keluar sehingga korban selamat harus tidur satu ruangan dengan kantung-kantung mayat.

Syukurlah, banyak yang mau bekerja mengangkut puing, jadi lebih mudah untuk keluar mencari persediaan. Meski tinggal di bawah reruntuhan, setidaknya bisa makan dan minum. Mereka juga memperluas pencarian ke pusat ledakan berharap menemukan dewan yang selamat.

"Kau tau, hampir semua gedung runtuh dan untuk ke sektor lain mereka harus menyebrangi salju." Dia terdiam sejenak. "Sektor depan seperti sektor pertahanan dan pemerintahan rata dengan salju. Tak ada yang selamat."

Untuk sejenak hati Ardela seakan runtuh dan rata dengan salju. Teman-teman yang menunggu di bawah menunduk ikut bersedih. Banyak keluarga anggota tim yang berasal dari dua sektor itu.

"Bagaimana dengan Direktur Argus?"

"Beliau berada di sektor pendidikan saat ledakan terjadi, meninggal karena serangan jantung."

Kemudian Sheryl bilang saat beberapa orang menyisir reruntuhan sektor depan, mereka mendengar teriakan bersahutan di kejauhan. Mereka juga melihat sekelompok orang mendekat, tapi saat dipanggil, orang-orang itu hanya berteriak. Semakin hari, suara teriakan itu mendekat ke Graha.

Seketika wajah Ardela menegang. Dia pun berbisik ke bawah. "Apa memungkinkan kanibal menemukan Graha?"

Sekala mengangguk. "Mereka ada dimana-mana, kurasa suara ledakan memancing mereka."

"Sheryl." Rasa takut memenuhi suara Ardela. "Apapun yang terjadi tetaplah di dalam. Kau ingat guru-guru kita sering menceritakan mitos soal penghuni padang salju? Mereka bukan mitos. Mereka nyata banget."

"Kau... kau serius?" balas Sheryl gemetar. "Para dewan bilang kanibal hidup jauh dari Graha."

Juna berteriak dari bawah. "Bumil, kebetulan dewan Graha bukan orang terjujur sedunia!"

Ardela pun menggeram ke Juna lalu bersandar ke batang pohon, berpikir. Dia tidak mungkin duduk enak di padang hijau sementara warga Graha hidup di tengah bahaya. Well, Belantara bukan tempat teraman sejagat, setidaknya di sini hangat dan banyak makanan.

Dia harus membawa warga Graha kemari, bukan hanya warga sipil tapi para Penjaga juga. Mereka bisa membantu pertahanan Brajakelana. Namun, setelah ditanya ke Sheryl, dia bilang garasi ambruk beserta pesawat di dalamnya. Dia juga tak yakin ada pilot yang selamat karena mereka tinggal di sektor pertahanan.

"Aku tau kami tak akan bisa menyusul ke padang hijau," kata Sheryl. "Tidak apa-apa, kalian berbahagialah untuk kami. Kalian beruntung dipilih oleh para dewan dan Direktur Argus."

Mendengar nama itu membuat Ardela teringat sesuatu. Binder. "Tidak, kami akan cari cara supaya kalian bisa kemari. Aku janji," balasnya. "Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sampai jumpa."

Radio pun dimatikan.

"Eh, kau jangan memberi harapan palsu gitu!" kata Juna. "Emang mereka tinggal salto ke sini?!"

"Pasti ada sesuatu di binder Direktur Argus yang bisa membantu." Ardela terdengar bersemangat. Lalu ia perlahan menuruni pohon, tangannya sampai lecet karena berpegangan, tapi ia berhasil. "Juna, bangunin para dewan. Kita bertemu di tenda meeting lima belas menit lagi."

Dia hendak melangkah penuh deru semangat, tapi Juna berdiri menghalangi. Wajah songongnya mendadak terlihat tegang. "Umm... kurasa El bakal bolos meeting."

"Kenapa?"

"Berjanjilah jangan heboh."

"KENAPA?!"

"El..." Juna menghela napas. "Dia berkuda sendirian ke Astana dini hari tadi saat kau masih tidur. Sebelum berangkat, dia sempat ngomel soal... Adikara dan Agra. Sampai sekarang belum balik."

"Kok bisa?!" teriak Ardela, sekujur tubuhnya seketika menegang. "Untuk apa di ke Astana sendirian?"

"Kurasa... mau bicara sama Adikara soal kekacauan semalam."

Ardela memegangi kepala. "Tapi kenapa belum kembali? Dari sini ke Astana 'kan dekat!"

"Umm.... tadi Neswa... ummm—"

"Tadi Neswa kenapa, Juna?!" Ardela melotot gemas. "Bicaralah dengan benar!"

"Ta... tadi Neswa nyusul, tapi El tak ada di Astana." Junaterlihat gelisah. "Kata Neswa, El berbuat onar di Astana dan... Adikara mengasingkannyake padang salju." 





---

Hi, my beloved readers!! Terimakasih sudah baca dan vote. Makasih juga setia menunggu update Para Penjelajah. Silakan scroll ke chapter selanjutnya :)

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang