Sampai Jumpa

14.4K 2.1K 140
                                    




Ardela berdiri di atas sepetak panggung kayu. Nampak dibalut gaun sutra putih.

Monumen Brajakelana berdiri di belakangnya, tiang tebal dan tinggi berujung patung elang perak membentangkan kedua sayap. Nampak berkilat disapu cahaya fajar. Sementara di sampingnya berdiri pohon kenangan, daun-daun bertuliskan nama warga yang gugur terlihat bergemerincing terkena angin.

Dia menghadap kerumunan warga, semua terpaksa dikumpulkan mendadak. Ditambah seratus tiga puluh dua prajurit berdiri memagari.

Warga termasuk prajurit menatap Ardela penuh kebingungan. Dia tetap menatap tenang saat lantang menyampaikan berita dari rapat tadi malam. Semua hal sampai mengenai evakuasi warga sipil Brajakelana ke Bahari.

Warga terkejut bukan main. Beberapa terdiam ketakutan, ada yang berbisik panik pada satu sama lain, ada yang memegangi kepala. Bahkan hampir semua prajurit juga terkejut, beberapa menatap El, tapi Komander itu hanya diam. Semuanya tak siap menghadapi perang.

Terasa berat bagi Ardela melihat pemandangan ini.

Disty menggeleng tak percaya. "Kumohon, jangan lagi. Tidak."

Wajah Dirga menyembunyikan kepanikan. "Tenanglah." Dia menggandeng Disty. "Ini tak akan terlalu buruk."

"Tidak. Perang selalu buruk."

Sementara Iren menembus kerumunan, melangkah pincang menuju El di pinggir. "Kak, kau enggak ikut, 'kan?!" Mata bulatnya memancarkan rasa takut. "Kau memimpin penjagaan warga kita, 'kan?!"

"Tentu aku ikut." El nyengir. "Enggak asik tanpa aku."

Iren mencengkram lengan El. "Kak, aku serius!"

Seketika cengirannya berubah menjadi senyum tipis dan matanya menatap lemah. Dia pun mengusap kepala Iren. "Jangan parno begitu, aku cuma pergi beberapa hari."

"Oke, aku juga ikut." Iren mengangguk yakin. "Aku perawat resmi. Aku bisa ikut dalam tim paramedik."

Wajah El langsung terbakar amarah, dia menatap tajam. "Tidak, kau ke Bahari. Di sana aman." Lalu ia kembali fokus ke depan. "Jangan ngawur lagi."

Sementara Ardela berdiri memandangi warganya yang ketakutan. Dia diam sejenak sampai suasana mereda dan semua kembali fokus padanya. Dia mengepalkan kedua tangan, menguatkan diri.

"Semuanya, misi belum berakhir," katanya, lantang. Para anggota HOPE seketika menoleh padanya. "Ini rumah kita. Kita harus berjuang sedikit lagi melawan mereka yang ingin merenggutnya. Anggota misi HOPE dan tim penyusul tidak menjelajahi padang salju hanya untuk kalah di sini. Warga Graha tidak bertahan di bawah reruntuhan dan terbang melintasi salju hanya untuk kalah di sini. Tidak, kita akan perjuangkan tempat ini."

"Para prajurit akan berjuang dengan cara bertarung melawan mereka yang hendak menjajah kita. Para warga sipil akan berjuang dengan cara berdoa serta percayakan kemenangan Belantara kepada para prajurit. Aku sudah membagi kelompok untuk evakuasi warga menuju Bahari, Kalista akan mengumumkannya. Kemasi barang yang bisa kalian bawa. Untuk para prajurit, berkumpul di lapangan tanah setelah ini untuk briefing dengan Komander."

Dia menarik napas, berusaha tenang. "Semuanya, kita lebih kuat dari rintangan di kedua padang. Kebersamaan adalah rumah kita dan kebaikan menghangatkan jiwa kita. Jangan putus harapan." Dia tersenyum tipis. "Selamat berjuang untuk padang hijau."

"Selamat berjuang untuk padang hijau," balas semuanya, pelan.

Ardela berdiri di pinggir lapangan melihat El bicara lantang dengan suara dalamnya. Dia mempersiapkan para prajurit dengan memberitau soal pembagian pos, mensortir senjata dan membagi tugas. Dia juga mengumumkan latihan gabungan di Lintaswana nanti siang sebelum dibagi dua tim.

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang