Semakin Dekat

12.4K 2K 111
                                    

            

Ardela bersama Komander Gemasatria memasuki bangunan penjara.

         Bangunan itu berupa gedung satu lantai berbentuk persegi, berdinding batu sehitam malam dan membentang luas di tengah padang rumput. Gerbang jeruji besi raksasa membuka di depan Ardela, dia melangkah di dalam lorong dengan barisan sel berdinding batu di kiri dan kanan. Prajurit yang berbaris di sepanjang jalan berdiri tegak menyambut Ardela.

         Terdengar suara-suara memanggilnya dari balik jeruji di kiri dan kanan, tapi dia tak menoleh, tetap menatap lurus ke depan.

         Mereka berdua sampai di ruangan bundar luas. Cahaya matahari nampak menyinari lantai dari jendela di atap, membuat ukiran nama-nama tahanan di lantai hitam itu terlihat. Kemudian mereka masuk ruang elevator, berupa ruang sempit berdinding pagar besi.

         Ngik! Besi berdecit seiring elevator bergerang turun. Komander pun menghidupkan obor sementara Ardela mengeluarkan senter dari saku.

            "Saya penasaran, Maharani," kata pria paruh baya berambut gondrong beruban itu. "Apakah benar pijar milik Brajakelana dibuat dari... sihir? Aku mendengar itu di antara para prajurit sini."

         Ardela tersenyum tipis. "Tidak, Komander Rahja, itu murni teknologi. Kami membuat dan memperbaharuinya."

         "Apakah mungkin jika pijar digandakan?"

         "Mungkin saja." Saat elevator berhenti, Ardela menyalakan senternya. "Ahli listrik Brajakelana sedang mencari cara agar pijar bisa dipergunakan secara luas."

         Tak lama kemudian mereka sampai di depan pintu besi ganda. Ardela masuk sendirian setelah pintu jeruji terbuka. Di ini luas berdinding kelabu, penerangan hanya dari obor di keempat sisi ruangan. Tercium bau samar darah bercampur apek, membuat Ardela tak nyaman.

         Pria bertubuh besar duduk di tengah ruangan. Kedua tangannya diborgol dan dipasangi rantai yang memanjang dari dinding di belakang. Saat Ardela mendekat, pria itu sontak berdiri hendak menerjang, tapi rantai menahannya. Dia pun berdiri satu meter di hadapan Ardela, wajahnya dipenuhi lebam.

         Sebisa mungkin Ardela memasang wajah tenang, meski tubuhnya melemas ketakutan.

         "Kau boleh berlagak tenang," kata suara dalam dan agak serak itu. "Tapi aku tau kau ketakutan."

         "Pak Bara, aku tak akan lama." Ardela menyembunyikan kedua tangan gemetarnya di belakang punggung. "Hanya ingin... bertanya sedikit sebelum kau dihukum."

         "Oh, ingin bertanya soal ayahmu yang mati sia-sia itu?"

         Tulang wajah Ardela ngilu menahan amarah, tapi ia tetap tenang. "Ayahku tak mati sia-sia, dia berhasil menahanmu sehingga tim Sekala bisa mengudara. Berkat radio dari Sekala warga Graha bisa di Belantara sekarang." Dia mengangkat dagu sedikit. "Kau yang akan mati sia-sia."

         Bara malah menyeringai. "Aku mampu bertahan, bahkan di tengah suku barbar."

         "Ya, tapi tidak di tengah para kanibal padang salju. Tak semua kanibal beraliansi dengan pemberontak." Ardela mendengus melihat Bara terdiam. Lalu ia berkeliling ruangan. "Kenapa? Kenapa kau meledakkan Graha?"

         Bara menoleh, membuat rantai di lantai bergemerincing. "Aku tak meledakkan Graha," balasnya. "Aku dan timku hanya... ingin meledakkan beberapa titik. Graha sudah terlalu tua, jika tak ada mesin serta warga yang dihilangkan, Graha akan kehabisan daya."

         "Kau terdengar tak merasa bersalah."

         "Aku melakukannya demi kelangsungan umat manusia. Tak apa mengorbankan beberapa puluh orang demi ribuan lainnya."

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang