Malam Panjang

12.4K 2.1K 249
                                    

Malam di Brajakelana tak pernah setenang sekaligus setegang ini.

Jalanan desa kosong lompong. Para warga sudah terlelap di dalam tenda masing-masing. Obor yang berbaris di pinggir jalan berkobar menyapukan cahaya jingga ke jalan. Angin berhembus pelan, menimbulkan bisik desir di antara dedaunan. Sementara langit hitam memayungi jauh di atas sana, bersama bintang yang bertaburan seperti ratusan kunang-kunang.

Ardela melangkah sambil memandangi tenda di sekelilingnya, memastikan semua sudah tidur. Mereka yang bertugas subuh nanti ia larang bergadang, termasuk Sagita, Disty dan Iren. Dia lega melihat tali pintu tenda mereka sudah diikat.

Dia sendiri tidak bisa tidur sampai dini hari karena tegang menghadapi subuh nanti. Brajakelana akan mengukir sejarah atau mengalami kehilangan besar. Dia berharap jalan-jalan sambil menghirup wangi rerumputan akan membuatnya rileks.

Dia terus melangkah hingga berdiri di hadapan simbol Brajakelana. Dia mendongak, menatap patung elang yang berkilat tersentuh cahaya bulan.

Di kejauhan, di atas kedua tebing yang mengapit gerbang Brajakelana, nampak dua prajurit berjaga membawa senapan. Dua prajurit juga menjaga gerbang di bawah. Mereka pun melambai melihat Ardela. Kebetulan ia masih mengenakan gaun putih, jadi mudah terlihat.

Ketika sampai di depan tenda senjata, Ardela mendengar seseorang melangkah di dalam, bolak-balik. Terdengar pula suara pintu rak berdecit dibuka. Dia pun mendekat sambil mengerutkan kening. Setaunya semua orang sudah tidur kecuali tim jaga. Lalu dengan cepat ia membuka pintu tenda.

Di dalam ada Elvan.

Kedua mata cokelat terangnya menatap Ardela, terkejut. Wajah bertulang pipi tegas semulus porselen itu nampak hangat diusap cahaya lilin yang menerangi tenda. Dia sedang berdiri di depan rak senjata. Terlihat begitu sempurna berkat tubuh atletis dan pundak tegapnya. Rambut upper cut-nya agak berantakan, tapi itu malah membuatnya terlihat semakin... menarik.

Mereka berdua hanya melamuni satu sama lain di tengah keheningan. Hingga El berdehem lalu kembali menyusun senapan di rak.

"Maharani," kata El, suaranya begitu dalam dan hangat. "Kau perlu sesuatu?"

Ardela tersenyum. Ketika ia mendekat, El malah menghindar dan melangkah ke meja, membereskan tumpukan perkamen. Ekspresinya begitu dingin.

"Kau kenapa belum tidur, El?"

"Sedang beres-beres," balasnya, masih sibuk menyusun perkamen. "Agar Penjaga yang datang besok tidak repot kalau mau lihat-lihat senjata."

Ardela mengangguk. Dia meletakkan tangan di atas meja, hanya beberapa senti dari tangan El. Hatinya berteriak ingin menyentuh El, mengungkapkan suara hatinya dan memeluknya sampai pagi. Namun, Ardela menarik tangannya menjauh. Akhirnya, dia hanya melamuni El dari samping, melihat matanya bergerak-gerak.

"Kau sebaiknya tidur, aku banyak kerjaan." El melirik tangan Ardela sedetik. "Kau tidak memakai cincinmu?"

Ardela tersenyum tipis. "Tidak, rasanya agak aneh karena—" Dia mendadak membeku. Lalu jantungnya berdegup tak karuan. Teringat dia belum memberitau siapapun soal pertunangannya. "El, da... darimana kau tau?"

El memasukkan perkamen ke dalam rak lalu diam, memunggungi Ardela. "Adikara kesayanganmu itu memberitauku." Terasa tekanan di suaranya, seakan menahan teriakan.

Seakan semua kata hilang dari otak Ardela. Pikirannya kosong. "Aku... aku—"

"Kenapa?" tanya El, tajam. Lalu ia berbalik, wajahnya menegang dipenuhi amarah. "Adikara memaksamu menikahinya agar aku bisa bebas dari hukuman? Jika iya, aku akan kembali ke padang salju sekarang juga."

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang