Bersejarah

12.2K 2.1K 163
                                    




Pendaratan manusia pertama di bulan merupakan salah satu momen besar dalam sejarah. Kebanggaan seakan menggema dari penjuru dunia kala Apollo 11 mendarat di bulan pada 20 Juli 1969.

Untuk pertama kalinya, manusia menginjakkan kaki di tempat yang selama ini mereka anggap mustahil untuk dikunjungi.

Hal serupa saat ini dialami oleh para manusia yang telah lama hidup di padang salju. Kini mereka memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki dan bahkan tinggal di padang hijau.

Di tempat yang selama ini mereka anggap mustahil untuk ditemukan.


         Warga Brajakelana berikut seratus lebih warga dari klan lain berkumpul tak jauh di luar pagar landasan, dipayungi langit cerah berawan. Mereka semua menatap langit, tepatnya ke benda kecil yang terbang di kejauhan dan perlahan mendekat kemari. Rasa penasaran sekaligus rasa takut berkecamuk di mata mereka.

         Termasuk Ardela. Dia sampai mencengkram tangannya sendiri sangking gemetarnya.

         Ketika gemuruh mesin berderu mendekat, puluhan orang berlari menjauhi landasan sambil menutup telinga. Termasuk beberapa warga Brajakelana. Namun, Ardela tetap di posisi sambil menutup telinganya rapat-rapat.

         Tiba-tiba seseorang memakaikan headphone ke telinganya. Berwarna hitam dengan sisa kabel di bawahnya. Ketika dia berbalik, El berdiri di belakang, meringis keberisikan.

         "Untukmu, Maharani!" teriak El. "Juna membawanya dari kokpit HOPE I!"

         Ardela mengangguk lalu kembali menatap langit. Jantungnya berpacu menyaksikan pesawat berwarna hijau tentara mendekat kemari. Kedua sayap kokohnya membentang lebar di langit biru.

         Semakin lama burung besi itu semakin dekat sampai menutupi langit di atas Ardela, menghalangi cahaya matahari dengan tubuh besi besarnya. Gemuruh mesinnya yang memekakkan telinga sampai membuat semua warga berlari pergi.

         Ardela malah tersenyum, bangga bisa menyaksikan pendaratan bersejarah. Dia berbisik, "Bu, kami berhasil membawa mereka pulang ke padang hijau."

         Sementara Sagita berdiri di tengah landasan raksasa, rambut pendeknya nampak berkibar terkena angin. Dia mengenakan headphone merah muda milik Iren sambil mengangkat kedua tongkat kayu ke atas. Cermin yang terpasang di ujung tongkatnya memantulkan cahaya ke kejauhan. Dia melambaikan tongkatnya beberapa kali, memberi tanda.

         Pesawat besar bersayap lancip itu melayang di atas landasan. Baling-baling di sayapnya menembakkan udara ke bawah seiring pesawat bergerak turun perlahan. Sagita pun mundur perlahan. Burung besi itu terus bergerak turun, angin bertiup kencang sampai menerbangkan rerumputan.

         Ardela menutupi sebagian wajah, matanya memicing melihat keempat roda pesawat yang perlahan menyentuh rerumputan. Tak lama kemudian angin kencang berhenti dan gemuruh mesin memelan hingga berhenti.

         Sagita mengangkat jempol ke Ardela. Pesawat pertama, yaitu pesawat kargo, resmi mendarat di padang hijau.

         "Lihat, itu ada lagi!" teriak Gibran, cempreng, tak jauh di belakang. "Ada dua!"

         Dua helikopter terbang rendah di langit biru. Badan berwarna hijau tentaranya nampak berkilat terkena cahaya matahari. Deru mesinnya semakin kencang seiring keduanya mendekat kemari. Sagita pun melambaikan tongkatnya lagi.

         Satu helikopter perlahan mendarat di sebelah pesawat kargo, meniupkan angin yang tak kalah heboh. Setelah mendarat, baling-baling di atasnya memelan hingga akhirnya berhenti. Namun, satu helikopter lagi belum mendarat. Terbangnya memelan lalu tiba-tiba bergerak turun tepat ke arah desa.

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang