Epilog

18.9K 2.6K 552
                                    


Tujuh tahun kemudian...


"Aku akan menangkap kalian!"

Seorang remaja laki-laki melangkah perlahan di antara pepohonan, mata bulatnya bersiaga. Kulit sawo matangnya dilapisi pakaian serba hitam, terdapat bordiran kecil di dadanya bertuliskan RILO.

Di wajahnya terlihat dua garis bekas jahitan, satu tertutupi tiga titik hitam itu—tanda prajurit. Sementara rambut gondrongnya dikucir kuda.

Srrk! Terdengar derap lari di kiri dan kanan. Wajah tirusnya pun menegang.

Dia diam, memfokuskan telinga. "Kalian tak bisa sembunyi!" Terdengar derap lari lagi. "Aku akan datang dan—"

"HIYAA!" teriak suara anak kecil.

Anak perempuan itu meluncur dari atas pohon dan naik ke punggung Rilo, berpegangan erat. Kemudian dua anak laki-laki melompat dari semak, menerjang Rilo sampai oleng. Datang lagi anak perempuan berlesung pipi, menembak Rilo dengan pistol air.

Mereka tertawa keasikan, apalagi yang naik di punggung Rilo. Rilo malah kualahan dinaiki dan ditarik-tarik segerombolan balita ini.

"Iya, kalian sudah menangkapku! Ampun!" katanya sambil merem. "Gladis, berhenti membasahi seragamku!"

Anak perempuan berambut keriting di punggung Rilo itu tertawa, cempreng sekaligus imut. "Orangtuaku tak akan ngomel, kau 'kan sedang libur untuk menjaga kami."

"Tetap saja aku mau seragamku oke jika ketemu Jendral dan Adikirana," balas Rilo. "Delvira, turun dari punggungku!"

"Tidak mau," balasnya masih tertawa. "Ayo, main lagi!"

"Dik, ayo turun." Anak laki-laki berambut ikal yang mengalungkan harmonika itu menurunkan Delvira. "Kau membuat Rilo encok."

"Terimakasih, Arion." Rilo masih ngos-ngosan. "Ini hampir siang, ibu kalian pasti mencari."

Gladis menggeleng. "Ibuku sedang jaga di rumah sakit dan ayahku di ladang, mereka membolehkanku main sampai siang."

Anak laki-laki gondrong itu menarik-narik baju Rilo. "Ayo, main kejar-kejaran lagi!"

"Hira, kita sudah main satu jam lebih."

Delvira melompat, mengambil HT yang terpasang di pundak Rilo lalu berlari. "Kejar aku kalau bisa!" teriaknya sambil tertawa.

Rilo melotot. "HT milikku!"

Hira dan Gladis menyusul Vira, berlari di antara pepohonan sambil tertawa nyaring. Sementara Arion menyusul belakangan.

"Vira, pelan-pelan!" teriaknya. "Awas rambutmu tersangkut di ranting!"

Di depan sana Delvira berhenti sejenak. Ia mengangkat HT sambil nyengir ke Rilo lalu berlari lagi bersama yang lainnya.

Sementara Rilo pasrah, menghela napas. "Ya ampun, energi anak itu tak pernah habis."

Anak-anak itu berlari terus, keluar dari hutan memasuki padang rumput sampai menemukan monumen perjuangan. Berupa tiang beton tebal berwarna putih, setinggi sepuluh meter. Di puncaknya terdapat patung keramik hitam berbentuk tameng.

Abdimu abadi dalam kenangan.

Itu terukir mengitari tiang monumen. Di dinding bawah, tertulis nama-nama prajurit yang gugur di perlawanan besar.

"Di sini kalian rupanya." Rilo mendekat, ngos-ngosan. "Jauh juga ya."

Delvira menyentuh nama Penasihat Kalista Haruni. "Ibuku sering bercerita soal bibi Kalista."

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang